OMG !

1866 Words
“Morning, Dad, Mom.” Emily terjaga ketika jam wekernya berdering tepat di angka tujuh. Seperti pada hari sebelumnya, Emily membersihkan diri, mengenakan baju lalu menuju dapur untuk meneguk segelas orange juice, setelah itu ia berangkat menuju kampus. Tetapi kali ini paginya berbeda. Setelah bersiap akan berangkat, pintu rumah Emily diketuk seseorang. “Anda cari siapa? Ada yang bisa kubantu?” sapa Emily pada pria kurus berkacamata dan berpenampilan rapi setelah membukakan pintu. Di samping pria itu berdiri dua pria tinggi berbadan tegap dan terlihat garang. Seperti bodyguard, mengenakan bush jacket berwarna hitam serupa dengan warna kacamata mereka . “Emily Wilson?” Pria kurus itu memastikan namanya. Melihatnya tajam dengan bola matanya yang biru cerah. Emily terdiam sebentar sambil menduga-duga ketiga pria yang ada di depannya. “Y--ya, itu aku.” Ia tergagap dan sedikit takut melihat dua pria berbadan tegap itu melangkah maju. "Aku Perrie Weslet." Pria kurus itu memperkenalkan diri lalu mengangguk memberi kode ke arah dua pria di kedua sisinya. “Ada apa mencariku?” Emily melangkah mundur, tetapi dua pria itu secepat kilat mengapit dan menggiring lengannya membawa keluar. “Lepaskan aku! Ada apa ini?!” Emily meronta tetapi mereka terus menggiring menuju mobil hitam model SUV yang terparkir di halaman depan rumahnya. “Kalian pasti salah orang! Aku tidak mengenal kalian, sebaiknya lepaskan aku!” Ia terus meronta walau langkahnya mengikuti mereka. "Lepaskan aku!" “Emily!” Marge, tetangga sekaligus kawannya, berteriak memanggil Emily. Ia terkejut melihat Emily digiring pria asing berpenampilan rapi dan yang ia bisa hanya bisa berdiri terdiam. “Marge, hubungi 911 segera. Aku diculik!” Emily berteriak sambil melangkah menaiki mobil. "Ba--baik." Wajah Marge pucat, sepucat bibirnya yang tidak pernah mengolesinya dengan lipstik. Ia bergegas mengambil ponsel dari dalam tas dengan tangan bergetar tetapi terhenti ketika pria bernama Perrie itu mendekat. “Sebaiknya kau tidak ikut campur, Nona,” Perrie mewanti-wanti dengan mata membulat menatap Marge. “Kami bukan penculik, tapi menagih hutang dan dia harus membayarnya. Kau paham?!” Marge mengangguk berkali-kali dengan wajah gemetar. “Ba--Baik, Sir.” sangat terpaksa ia menaruh ponsel ke dalam tasnya lagi. “A--aku tidak akan melaporkan kalian. Aku janji.” Mengembangkan dua jarinya, menyakinkan Perrie. “Good. Jika tidak, aku akan memberimu pelajaran!” ancam Perrie lalu berlari kecil menuju mobil. Perrie duduk di depan samping sopir yang bergegas melajukan mobil meninggalkan area rumah Emily. Ia menoleh ke belakang melihat Emily duduk diapit dua pria garang tersebut dengan kedua tangan nya sudah terikat kain putih. “Siapa kalian?! Aku pastikan kalian salah sasaran. Jika kalian menculik dan mengharapkan tebusan, aku pastikan kalian tidak mendapatkan sepeser pun. Karena aku bukan anak orang kaya!” Emily melanjutkan ucapannya lagi dengan wajah geram. Perrie melambaikan tangan dan tidak lama pria di samping Emily menutup mulutnya dengan lakban. “Emmp--emmpp.” Emily mencoba berteriak sayangnya mereka tidak menghiraukan dan membawa dirinya menuju sebuah tempat yang tidak ia ketahui tujuannya. ❤❤❤ Tom terkejut setelah Marge menelponnya pagi ini. Mendengar berita tentang Emily, membuatnya gelisah. Bagaimana tidak, Emily yang yatim piatu dijemput oleh tiga orang asing berpenampilan rapi. Ia bisa memastikan itu bukan ayah Chloe yang datang untuk memotong gajinya hanya karena Emily sudah memecahkan enam gelas saat bekerja selama seminggu ini. Begitu juga dengan pria dari perusahan Strong Electronic Corp yang tidak sabar meminta Emily untuk bekerja sebagai asisten sekretaris. Tom tidak bisa berpikir jernih sekarang, yang ia lakukan adalah menelepon Emily dan berharap gadis itu mengangkat panggilannya. “Come on, Emily.” Ia melangkah ke kanan dan kiri sambil terus berharap Emily memberinya kabar, setidaknya tidak membuat mengkhawatirkannya lagi. “Tom Harris, kau tidak masuk kelas?” tanya wanita bertubuh tambun memakai kacamata dari arah belakang, menghentikan langkah Tom di depan pintu. Tom tidak bisa mengelak di saat jam pelajaran akan dimulai lima menit lagi. “Ya, Mrs.Brown.” Tom memasukan ponsel ke dalam saku celana lalu membuka pintu kelas diikuti dosennya dari belakang. ❤❤❤ Emily turun dari mobil dan tercengang melihat di depannya berdiri sebuah rumah model klasik dengan dua lantai. Rumah besar, mewah dan indah seperti rumah artis yang biasa ia lihat di situs properti. Tidak hanya model rumah itu yang membuatnya terperangah, tepat di belakangnya terdapat air mancur yang besarnya hampir dua kali lipat dari halaman depan rumahnya. Begitu juga dengan dua pria yang berpakaian rapi dan diduga bodyguard, sama seperti dua pria yang mengapitnya sekarang, berdiri tegap menyambut kedatangan mereka di beranda. “Ayo.” Perrie menarik kasar lengan Emily setelah salah satu bodyguard membisikkan sesuatu. “Dia sudah menunggumu sejak tadi,” katanya lugas. Dengan kasar Emily menepis tangan Perrie, langkahnya terhenti di dalam. “Menungguku? Siapa? Bos kalian itu?” Menebak sosok pria dibalik penculikannya sekarang. Perrie yang memiliki tinggi 185 sentimeter itu mengangguk. “Ya. Kau harus menemuinya sekarang, Nona.” Menarik dan menggenggam tangan Emily lagi. “Lepaskan!” Untuk kesekian kalinya Emily meronta walau langkah kakinya tidak bisa berhenti mengikuti Perrie menyusuri rumah mewah dan besar yang layak disebut dengan mansion. “Wow ....” Kata itu spontan terlontar dari mulut Emily lalu berdecak kagum melihat perabot mewah dan lukisan yang terpajang di dinding. Beberapa lukisan adalah lukisan wanita cantik memakai gaun seksi, wanita yang usianya mungkin tidak jauh berbeda dari dirinya memasang pose tersenyum menggoda. “Siapa wanita-wanita yang ada dalam lukisan itu, Sir?” tanya Emily yang penasaran. Ia sama sekali tidak mengenal wanita-wanita itu, dan bisa dipastikan mereka bukan selebritis. Di dinding itu hanya terpajang enam lukisan wanita dan selebihnya lukisan pemandangan. Kecuali pada sisi dinding yang berada di seberang, terdapat lukisan seorang pria, tetapi Emily tidak dapat melihat jelas, terlalu jauh. Perrie terus berjalan menuju tangga yang bermodel setengah lingkaran atau memiliki dua sisi yang saling berhubungan. “Sebaiknya kau tanyakan pada ‘dia’.” Jawaban yang menggantung dan Emily tidak menyukainya. Semakin membuatnya penasaran. “Dia?” Dahi Emily berkerut, merendahkan nada bicaranya. “Bos kalian itu? Orang yang sudah memerintahkan kalian untuk menculikku? Huh. Dia pasti sudah tua dan berpenampilan kuno. Aku yakin kau akan mempertemukanku pada seorang pria tua yang akan kupanggil ‘Grandpa’,” cibir Emily, menurutnya tidak akan mungkin seorang pria muda mempunyai Mansion kecuali Mark Zuckerberg atau anak orang kaya. Sepengetahuan Emily, seorang pengusaha sukses pastilah pria yang sudah tua, seperti yang ia tuduhkan tadi. Pria yang pasti layak ia panggil dengan sebutan ‘Grandpa’. “Sebaiknya kau berhati-hati dengan ucapanmu, Nona.” Perrie mengingatkan, menoleh menatapnya serius, tanpa tersenyum sedikit pun. “Bersikaplah yang sopan, lebih sopan daripada kau menghargai dosenmu. Jika tidak ....” “Dia akan membunuhku?” sela Emily setengah berteriak dan langkahnya terhenti di depan sebuah kamar yang pintunya terbuat dari kayu purple heart. “Ssstt ....” Perrie menaruh telunjuk di tengah bibir. “Aku sudah mengatakan padamu, kau harus bersikap sopan selama berada di rumah ini.” Ia membalas setengah berbisik dan membulatkan matanya hingga terlihat jelas bola matanya yang berwarna biru terang. Emily menepis genggaman Perrie sambil mengembuskan napas kesal dan membuang wajah. “Baiklah jika itu maumu. Aku akan bersikap sopan dengan pria tua itu asalkan dia memperbolehkan aku pergi dari sini.” Mengangkat sebelah sudut bibirnya seakan membuat penawaran untuk bisa secepatnya meninggalkan rumah yang membuatnya lelah melangkah. Entah karena terbiasa dengan rumah yang kecil, Emily merasa lelah menyusuri sedikit dari luasnya rumah itu. Seperti berjalan mengitari Disneyland, membuat napasnya terengah-engah dan jengkel. Pria itu tersentak kaget. “Pergi dari sini?” Memastikan ucapan Emily. Dengan gamblang Emily mengangguk. “Tentu. Anda sudah membuatku kesulitan, Sir. Hari ini aku harus menghadiri kelas Miss.Liz dan aku harus mengumpulkan tugas. Tapi anda menculik dan membawaku menemui orang yang tak kukenal, yang tak ada hubungannya denganku dan tentu saja pria itu sudah tua.” Emily menghela nafas kecewa, terlihat dari tatapan matanya yang tak bersemangat. “Dan besok aku pasti dalam masalah besar. Tidak bisa kubayangkan jika aku harus mengumpulkan tugas dua kali lipat banyaknya dari tugas sebelumnya. Oh Tuhan..ampuni aku,” keluhnya, pasrah dan terus bicara seperti burung beo yang kelaparan. Dari ucapannya sangat jelas Emily takut untuk menghadapi hari esok. Menemui Miss. Liz. Bukan pria yang akan ia temui tak lama lagi, pria yang tak ia kenal dan menjadi dalang penculikan dirinya sekarang. Perrie setengah tertawa. “Itu masalahmu, Nona.” Ia tersenyum puas lalu mengetuk pintu. Emily mengepalkan tangan dengan wajah kesal. “Aku akan mengadukanmu pada Miss.Liz,” ancamnya dengan nada kesal. Ia benar-benar bertekad akan mengadukan pada dosennya jika ketidak hadirannya hari ini karena ulah pria yang berdiri di sampingnya yang menatapnya tanpa senyum. “Silakan, itupun jika kau berhasil melarikan diri dari sini.” “Apa?!” “Ini aku, Sir.” Perrie setengah berteriak lalu membuka pintu setelah mendengar sahutan yang memintanya untuk masuk. “Masuklah.” Melirik Emily. “Seperti yang aku katakan tadi, kau harus sopan dengannya. Bersikaplah lembut jika kau ingin cepat pergi dari sini. Kau paham?” Ia mengecilkan suaranya dan berharap Emily mengiyakan pintanya kali ini. Emily mendengus. “Kau tidak perlu mengingatkan aku dua kali, Sir.” Membulatkan matanya kesal dengan tatapan sinis. “Ayo.” Perrie menarik tangan Emily lagi memasuki ruangan. Merasakan tarikan tangan Perrie yang terlalu kencang, Emily kembali mengikuti langkah pria itu memasuki ruangan mewah dan luas. Sebuah ruangan yang isinya meja kerja, sofa dan sebuah ranjang besar yang terlihat mahal dan memiliki tiang di setiap sudut, begitu juga dengan kain mewah berwarna putih yang menjuntai di bagian kanopi dan terikat di keempat tiang. “Aww.” Langkah Emily terhenti tepat di depan meja kerja dan melihat jelas seorang pria berdiri memunggunginya menatap ke arah jendela kaca. “Aku sudah membawanya, Sir,” kata Perrie penuh hormat sambil menundukkan kepala. Emily menggeser langkahnya, mendekati Perrie. “Apa dia orang yang menyuruh kalian?” bisiknya. Tiba-tiba nyalinya ciut melihat lebar punggung pria itu karena tidak terlihat seperti pria tua yang sejak tadi ada di pikirannya, melainkan pria yang masih terlihat muda dan kuat. Dengan tubuh setinggi 186 sentimeter dan berbadan tegap, Emily yakin jika pria itu masih muda. Ya, kali ini ia yakin dugaannya benar. Perrie terdiam, kali ini ia mengabaikan Emily. “Kau bisa meninggalkan kami, Perrie,” kata pria yang masih berdiri memunggungi mereka menatap pemandangan taman belakang. Perrie mengangguk. “Baik, Sir.” Ia pamit dan bermaksud melangkah menuju pintu tapi langkahnya tertahan. “Hei, kau mau kemana?” Emily berdesis sambil menarik lengan Perrie, menghentikan langkah pria bermata biru terang itu. Perrie menepis tangan Emily lalu berbisik. “Tugasku sudah selesai, Nona. Sebaiknya bersikaplah yang sopan dan ....” Ia tersenyum sinis. “Semoga kau beruntung.” Lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu walau sempat mendengar umpatan Emily. “Dasar penjahat!” Umpat Emily, melihat Perrie sudah menghilang dari balik pintu dan meninggalkan dirinya bersama pria yang tidak ia kenal. “Siapa yang jahat?” tanya pria di depannya, masih dengan posisi seperti tadi, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan pandangannya lurus menatap ke depan jendela. Emily mendengus sambil membuang wajah. “Anda,” balasnya santai. Ia tidak bisa bersikap sopan seperti yang Perrie pinta sejak tadi. Jika Perrie mengetahuinya mungkin pria memiliki bola mata biru cerah itu akan menepuk jidatnya sendiri karena kesal. "Oh ya?" Pria itu berbalik dan tersenyum. Emily terkejut lalu berkata, “Oh My God.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD