bc

Dua Cincin

book_age18+
116
FOLLOW
1K
READ
HE
heir/heiress
drama
loser
office/work place
harem
like
intro-logo
Blurb

"Sudah pulang, Mas?" Miranda mendekati suaminya, meraih bawaan yang Bumi pegang.

Embun melihat Bumi sedang mencium wanita cantik dengan penuh kelembutan. Wanita itu belum melihat ke arah Embun karena terhalang tubuh tinggi Bumi.

Embun merasakan tubuhnya sedikit gugup dan gemetar, ia takut jika istri Bumi marah kepadanya seperti yang Embun lihat di televisi milik tetangganya.

Saat Bumi bergeser dan duduk di sofa yang empuk karena Embun bisa melihatnya sofa itu begitu tebal dan tampak lembut, wanita yang menghadap Bumi tadi memandang Embun dengan dahi berkerut. Wanita itu menatap seorang gadis yang berada di belakang Bumi. Miranda memandang Embun dengan tatapan yang tidak bisa Embun jabarkan—memandang Embun dari atas hingga ke bawah, begitu seterusnya.

"Loh, kamu bawa pembantu baru buat aku, Mas?" tanya Miranda sambil menilai penampilan gadis yang terlihat kampungan. Miranda menoleh memandang suaminya yang tampak kelelahan. Bumi menatap Embun dan Miranda bergantian.

"Bukan, dia Embun. Aku sudah menikahinya! Embun, ini Miranda, istriku!" Miranda menatap terkejut, ke arah gadis kampung bernama Embun, yang Bumi kenalkan padanya sebagai madunya. Ia beralih memandang suaminya dengan tatapan berubah menjadi marah.

chap-preview
Free preview
1.Embun
"Saya terima nikahnya Embun Sari binti Nardi dengan mas kawin uang sebesar sepuluh juta rupiah, tunai." semua orang yang menyaksikan akad tersebut mengucapkan sah. Embun dan Bumi kini sah menjadi pasangan suami istri. Embun memandang pria yang baru saja mengucap ijab kabul kepadanya—pria bertubuh atletis, tampan, serta gagah. Meskipun usianya sudah menginjak usia 38 tahun, tetapi Bumi masih terlihat muda. Pria berwajah manis itu terlihat tenang menyelesaikan masalahnya—menikahi Embun karena kecelakaan kerja yang menghilangkan nyawa orang tua Embun. Acara akad sederhana sudah selesai, kini Embun sudah berubah status menjadi istri. Embun yang masih dalam keadaan berduka akibat kepergian sang ayah terduduk lesu di nisan yang masih basah. Embun mengusap nisan itu dengan hati hampa. Sang ayah sudah benar benar tenang di sana sesaat setelah menyelesaikan kewajibannya yang terakhir kali. Bumi memandang gadis yang menggunakan baju lusuh khas seperti orang desa yang tinggal di pedalaman. Ia menunggu Embun menumpahkan kesedihannya pada makam orang tuanya. Bumi menghela napas karena merasa lelah dengan masalah yang baru ia hadapi. Bumi mendekati Embun, mereka sudah hampir kesiangan untuk kembali ke Jakarta. "Embun, ayo, ini sudah hampir siang!" Bumi memandang gadis yang tengah menangis di pusara orang tuanya. Embun mendongak, menatap Bumi—suami yang baru beberapa jam menikahinya. Embun meninggalkan makam ayahnya mengikuti Bumi yang berjalan mendekati mobil. Mereka masuk ke mobil dan bersiap untuk meninggalkan kampung kelahiran Embun. Bumi menghela napas saat melihat kearah Embun, gadis itu benar benar terlihat kampungan karena warna baju yang ia gunakan sudah memudar. "Kamu tahu saya sudah memiliki istri?" Embun mengangguk mendengar ucapan Bumi. "Saya hanya melakukan apa yang orang tuamu minta, memenuhi kebutuhanmu, menjagamu, tapi tidak sebagai suamimu! Saya mencintai istri saya, dan kamu harus tahu itu, ini hanya sebagai bentuk tanggung jawab. Kamu mengerti?" Embun mengangguk mendengar ucapan Bumi. Ia menunduk sambil meremas jemarinya, mobil melaju membawa Embun pergi bersama Bumi. Bisakah ia menjalani kehidupan tanpa seseorang yang ia kenal, meskipun ia hidup bersama suami yang menikahinya? Bumi memasuki rumah bergaya moderen dengan cat putih gading dipadupadankan warna hitam dan abu-abu. Rumah berlantai dua itu terlihat besar, Embun tidak bisa memalingkan tatapannya dari rumah besar tersebut. Mereka baru tiba sore hari di Jakarta. Bumi keluar dari mobilnya membuat Embun mengikuti langkah pria yang sudah menjadi suaminya tersebut. Embun mengeratkan pegangannya pada tas yang berisi pakaian yang ia bawa dari kampung. Embun melangkah di belakang Bumi memberi jarak cukup jauh. Ia gugup ingin masuk ke rumah tersebut, ia takut mendapatkan perlakuan kasar dari istri Bumi. Ia sadar, jika Bumi menikahinya semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab saja. Jadi, Embun hanya berharap ia di perlakukan layak di tempat ini. Embun tidak berharap menjadi nyonya. Ia hanya menjalankan amanat terakhir sang ayah. Untuk ikut bersama Bumi. Bumi berjalan masuk dengan langkah lebar. Embun hanya mengikuti sambil menunduk membawa tas yang ia gunakan untuk membawa perlengkapannya. Saat masuk kedalam rumah itu, Embun lagi-lagi terpana melihat interior rumah yang sangat menakjubkan. Maklumlah, Embun tidak pernah pergi dari kampung di mana ia dilahirkan. Ia tinggal di sebuah rumah kecil dan masih menggunakan kayu sebagai dindingnya. Atapnya pun masih menggunakan daun kelapa yang dijalin. Embun masih memperhatikan rumah itu dengan saksama. Hingga tatapannya jatuh pada Bumi saat suara lembut seorang wanita mengagetkannya. "Sudah pulang, Mas?" Miranda mendekati suaminya, meraih bawaan yang Bumi pegang. Embun melihat Bumi sedang mencium wanita cantik dengan penuh kelembutan. Wanita itu belum melihat ke arah Embun karena terhalang tubuh tinggi Bumi. Embun merasakan tubuhnya sedikit gugup dan gemetar, ia takut jika istri Bumi marah kepadanya seperti yang Embun lihat di televisi milik tetangganya. Saat Bumi bergeser dan duduk di sofa yang empuk karena Embun bisa melihatnya sofa itu begitu tebal dan tampak lembut, wanita yang menghadap Bumi tadi memandang Embun dengan dahi berkerut. Wanita itu menatap seorang gadis yang berada di belakang Bumi. Miranda memandang Embun dengan tatapan yang tidak bisa Embun jabarkan—memandang Embun dari atas hingga ke bawah, begitu seterusnya. "Loh, kamu bawa pembantu baru buat aku, Mas?" tanya Miranda sambil menilai penampilan gadis yang terlihat kampungan. Miranda menoleh memandang suaminya yang tampak kelelahan. Bumi menatap Embun dan Miranda bergantian. "Bukan, dia Embun. Aku sudah menikahinya! Embun, ini Miranda, istriku!" Miranda menatap terkejut, ke arah gadis kampung bernama Embun, yang Bumi kenalkan padanya sebagai madunya. Ia beralih memandang suaminya dengan tatapan berubah menjadi marah. "Mas, apa apaan ini? Kamu bilang, dia istrimu? Begitu?" Mata Miranda sudah berkaca-kaca memandang suaminya. Embun sendiri hanya bisa menunduk tanpa bersuara. Ini yang ia takutkan, pertengkaran antara suami dan istri tersebut. "Sussst, dengerin dulu penjelasan Mas!" Bumi menarik tangan istrinya lalu membawa wanita itu ke atas, kamar mereka. Embun masih terpaku di tempatnya, ia bingung harus berbuat apa. Embun memandang sekeliling rumah itu: tidak ada orang, terasa sepi. Embun berjalan ke dalam lalu duduk di sofa yang tadi Bumi duduki. Ia kembali berdiri melihat ke sofa, takut mengotori sofa berwarna cream tersebut. Ia mengusap bokoongnya karena takut ada kotoran, baru Embun duduk kembali. Ia menghembuskan napas kasar. Baru beberapa jam ia meninggalkan kampung halaman, sekarang ia merindukan kampungnya. Ia merasa asing dan bingung berada di tempat orang seperti ini. *** Suasana kamar itu hening setelah Bumi menjelaskan kronologi ia menikahi Embun. Miranda menghela napas sambil memijit dahi. "Meskipun kamu tidak menganggapnya sebagai istri, tapi aku tetap tidak rela, Mas. Kamu membuatku dimadu!" Miranda tetap marah karena kelakuan Bumi. Meskipun niat suaminya baik, tetapi Embun tetaplah wanita yang bisa saja membuat suaminya jatuh cinta kepada Embun. "Sudahlah, jangan membahasnya lagi. Mas memasrahkan segalanya kepadamu, Randa. Kamu urus Embun, terserah kamu mau bagaimana. Mas tidak mungkin menolak permintaan orang yang sedang meregang nyawa. Sudahlah, cukup berikan dia kamar, dan pekerjaan. Mas akan memberikannya uang bulanan. Kamu yang akan urus semuanya." Miranda terdiam, memikirkan apa yang harus ia lakukan pada wanita kampung itu. "Kalau aku suruh dia buat jagain Ayah kamu gimana Mas? Boleh?" Bumi yang tengah membuka kancing kemejanya tampak berpikir mendengar saran istrinya. "Bisa juga, kamu bahas saja bersama Embun, apakah ia bisa mengurus orang sakit." Miranda masih memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan madu dadakan yang dibawa oleh suaminya. "Di sini tidak ada kamar kosong selain kamar tamu, Mas. Kalau aku beri dia kamar yang di dekat gudang gimana? Gak apa-apa, kan?" Bumi tampak mengerutkan dahinya mendengar ucapan Miranda, ia tampak berpikir lama. "Terserah kamu, yang penting masih layak ditempati," ucap Bumi seolah-olah memberi saran kepada istrinya. "Nanti aku suruh yang lain beresin kamar itu biar bersih dan gak berdebu." Bumi mengangguk dan melepas bajunya lalu meletakkannya di keranjang kotor, ia mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi. "Mas mandi dulu, kamu siapkan makan malam, Mas sudah lapar sekali!" Miranda tersenyum sambil mengangguk. Miranda turun melihat Embun tengah duduk sendiri di sofa yang biasa ia duduki. Miranda berdehem membuat Embun langsung berdiri dan menghadap ke arah Miranda. Embun tampak gugup menatap Miranda, lalu menunduk takut. Jika dilihat, Embun lebih cocok jadi pembantu dibanding madunya. Bagaimana tidak, Embun terlihat seperti gembel dengan baju lusuh dan celana panjang. Bagaimana bisa suaminya menikahi wanita seperti ini, melihatnya saja mungkin Bumi tidak selera. "Siapa nama kamu?" Embun mendongak sesaat mendengar Miranda bertanya padanya. "Embun, Mbak." Miranda menarik sudut bibirnya. "Ikut aku, akan aku tunjukin kamar kamu." Embun mengangguk lalu berjalan di belakang Miranda.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.6K
bc

Dilamar Janda

read
319.5K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Sang Pewaris

read
53.1K
bc

JANUARI

read
37.3K
bc

Terjerat Cinta Mahasiswa Abadi

read
2.7M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook