Chapter 2 - Tagihan Uang Membara

1568 Words
Lin Jinxia sedang menyumpitkan sepotong tahu ke dalam mulut, mengunyahnya pelan. Dia makan ditemani oleh seorang wanita yang berstatus sebagai mamanya. Siapa seseorang yang melintas di perpustakaan tadi, ya? Apa dia manusia atau roh gentayangan? batin gadis itu melamun. Dahinya mengerut bingung. "Jinxia! Jinxia! Jinxia!" panggil Lin Ling berulang kali, tapi belum ada sahutan. Jinxia tersentak dari lamunannya ketika Lin Ling menyentuh tangannya. Gadis itu mengalihkan pandangan ke arah wanita yang duduk di hadapannya yang juga balik menatapnya. "Eh, iya. Ada apa, Ma?" "Sudah Mama katakan jangan melamun saat makan itu tidak baik. Kata orang zaman dahulu kalau sedang makan, makanlah dengan baik jangan memikirkan hal yang lain," ujar Lin Ling menasehati. Putri tunggalnya mengangguk patuh sebagai jawaban. Lin Jinxia dan Lin Ling menghabiskan makan malam dalam keadaan suasana yang sunyi. Dari luar terdengar dengan jelas suara hewan-hewan malam bernyanyi dan angin malam yang terus berembus. "Jangan lupa belajar supaya nanti jadi anak yang sukses." Lin Ling memberikan nasehat ketika Jinxia sudah menyelesaikan makan malamnya. Gadis itu hanya mengangguk pelan sebelum melangkah masuk ke kamar. Dia mengambil posisi duduk di meja belajar mencatat materi yang dikirimkan Pak Shou Shan lewat group w******p di smartphone-nya. Mengirimkan pesan kepada Naka supaya jangan lupa mencatat catatan Pak Shou Shan. Tak lupa mengerjakan soal latihan mata kuliah konsep dasar rekam medis. Sementara itu, Lin Ling sedang membereskan peralatan makan. *** Keesokan harinya setelah semua mata kuliah habis, Lin Jin Xia, Haruka Nakagawa, Masayu, dan Xie Xiao berkumpul di kantin makan siang sekaligus membahas tugas yang diberikan Miss Felly tiga hari yang lalu. "Bagaimana jadi 'kan?" tanya Jin Xia kepada teman satu kelompoknya. Bando motif bunga cocok sekali di rambut hitam legam sepinggangnya. "Aku hari ini ada kerjaan. Aku tidak bisa datang," ucap Masayu. Masayu adalah teman satu kelas. "Ada kerjaan apa sampai kamu tidak bisa menundanya?" tanya Xie Xiao menatap tajam Masayu. Tatapan tajamnya seolah menembus. Masayu bergerak gelisah merasa tak nyaman tatapan Xie Xiao. "Xie Xiao, tatapanmu menakutinya," ujar Naka menyenggol Xie Xiao tepat di sebelahnya. Pria itu merubah ekspresi wajahnya menjadi lebih bersahabat. "Aku ingin menjaga ayahku yang sakit di rumah sakit," sahut Masayu akhirnya. "Oke, tidak apa-apa jika kau tidak bisa datang. Kami doakan semoga ayahmu cepat sembuh." Lin Jin Xia tersenyum manis. "Terima kasih, aku pergi ya," sahut Masayu mengambil tasnya melangkah pergi. "Hati-hati ya!" ucap Lin Jin Xia dan Haruka Nakagawa kompak dibalas anggukan Masayu. ****************************************** Sesuai yang direncanakan di kampus mereka akan mengerjakan tugas bahasa inggris di rumah Xie Xiao. Pelayan di rumah Xie Xiao melayani dengan sangat baik dan ramah. Bibi Chao Ying menyiapkan makanan ringan seperti biskuit, chiki, dan minuman dingin. Lin Jin Xia, Haruka Nakagawa, dan Xie Xiao duduk melingkar di ruang belajar Xie Xiao. Ruang belajar Xie Xiao luas sekali, di sisi kanan ada perpustakaan kecil. Cat dinding berwarna cokelat muda dihiasi foto-foto Xie Xiao dan keluarganya. Xie Xiao membuka laptopnya, menatap teman satu kelompoknya. "Jin Xia materi kelompok kita apa?" tanyanya. "Tentang past perfect continous," sahut Jin Xia cepat. "Past perfect continuous." Xie Xiao mengetik di laptop asus miliknya. Tanpa perlu menunggu lama deretan halaman muncul. Xie Xiao mengklik salah satu artikel yang menurutnya lengkap. Lin Jin Xia dan Haruka Nakagawa duduk di sisi kanan dan kiri Xie Xiao ikut membaca halaman yang diklik tadi. "Yang ini lengkap kita ambil yang ini saja," ujar Jin Xia yang dituruti Xie Xiao. "Sebagian lagi kita tambahkan dengan materi yang ada di buku cetak," sahut Naka. "Oke, siap!" balas Xie Xiao. Satu jam kemudian tugas kelompok mereka selesai. Xie Xiao, Jin Xia, dan Naka membantu membereskan barang-barang yang berserakan ke tempat semula. Jin Xia meminum air dinginnya nikmat. "Segar sekali," ucapnya. "Jin Xia biskuitnya juga enak, ayo coba mumpung kita di rumah Xie Xiao." Ucapan Naka sukses membuat Lin Jin Xia tertawa geli hingga lesung pipitnya kelihatan menambah kecantikan alaminya. "Baik, aku akan mencobanya. Jangan marah, ya, Xie Xiao kalau biskuitmu habis dimakan oleh kami berdua," sahut Jin Xia masih tersenyum. Mulai mengambil satu biskuit, memakannya. "Hahaha, tak masalah jika kalian mau, aku akan memberikan kalian masing-masing dua bungkus biskuit," balas Xie Xiao ikut tersenyum. Bola mata Lin Jin Xia dan Naka berbinar cerah. "Benarkah itu, Xie Xiao?" tanya keduanya kompak. Xie Xiao mengangguk pasti. "Tentu saja." "Terima kasih, Xie Xiao," sahut Jin Xia dan Naka kompak. "Sama-sama." "Oh, ya Xie Xiao setiap kali kita mengerjakan tugas. Kami tak pernah melihat orang tuamu apa orang tuamu sibuk bekerja?" tanya Naka ingin tahu. "Iya, itu memang benar Naka, Jin Xia orang tuaku sangat sibuk bekerja sampai-sampai aku sedikit sekali merasakan kasih sayang mereka untukku. Aku sebenarnya selalu kesepian di rumah besar ini." Xie Xiao berkata jujur apa yang dirasakannya. "Xie Xiao, jika kami ada waktu akan datang ke rumahmu," sahut Jin Xia spontan. Jin Xia merasa kasihan dengan teman laki-lakinya itu. "Aku akan menunggu kalian datang ke rumahku, pintu rumahku terbuka lebar untuk kalian," balas Xie Xiao semangat. *** Pagi hari yang sedikit mendung. Awan-awan kelabu menghiasi setiap sudut langit. Matahari tak terlihat, dia bersembunyi. Burung-burung tidak berkicau. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Seorang dosen wanita bagian keuangan melangkah masuk ke kelas Mutiara yang berada di lantai empat. Napasnya masih tidak beraturan dan detakan jantung yang berdetak kencang seakan terdengar jelas di indra pendengarannya. Begitu dosen wanita itu duduk di kursi khusus dosen, kelas yang semula ribut bagaikan pasar berubah senyap seakan tak ada orang sama sekali. Mahasiswa dan mahasiswi saling berpandangan memikirkan kalimat yang sama yaitu uang. “Pasti Ibu itu membahas masalah keuangan,” bisik mahasiswa kepada teman di sebelahnya. “Uang, uang, uang lagi,” balas teman di sebelahnya yang juga berbisik. Ibu Liu Nang tertawa geli, menggeleng pelan. “Tampaknya kalian jika Ibu masuk ke kelas ini berasa jadi rentenir.” “Tapi kalian sepertinya sudah sadar diri jika belum bayaran,” sambung Ibu bagian keuangan itu. Seperempat dari total mahasiswa dan mahasiswi mengangguk pelan, mengiakan. “Aku belum bayaran,” ucap Lin Jin Xia pelan yang hanya didengar oleh Naka saja. “Sama, aku juga, tapi kata ayahku sisa dua juta lagi,” sahut Naka. “Enak kamu tinggal dua juta lagi, lah aku masih banyak,” keluh Jin Xia dengan raut wajah murung. “Berapa lagi sisa yang belum?” tanya Naka menatap Jin Xia yang menghela napas kasar. “Kalau administrasi sisa sebelas juta lagi dan untuk praktek kerja lapangan sisa enam juta lagi. Jadi, totalnya tujuh belas juta.” Lin Jin Xia menunduk bingung, dia cari dimana uang sebanyak itu. “Ketua tingkat mana?” tanya Ibu Liu Nang menatap satu per satu mahasiswa. Tanpa menunggu lama, ketua tingkat, Ji Gong Nie menunjuk tangan. “Saya, Bu.” “Kertas ini tolong dibagikan,” perintah Ibu Liu Nang. Ketua tingkat, Ji Gong Nie melangkah maju ke depan, mengambil tumpukan kertas membagikannya kepada mahasiswa dan mahasiswi satu orang satu. “Anak-anak, Ibu bagikan kertas ini tolong berikan kepada orang tua kalian masing-masing.” Wanita yang masih kelihatan cantik itu mengambil napas sebelum melanjutkan. "Jangan sampai tidak diserahkan kepada orang tua kalian.” Ibu Liu Nang memberi jeda sebelum melanjutkan. “Satu lagi, kalau orang tua sudah memberi uang, jangan disalahgunakan" ujarnya dengan kalimat penekanan yang dibalas anggukan singkat mahasiswa dan mahasiswi kompak. Bu, uang yang diberikan oleh orang tuaku. Tidak pernah, aku pakai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Uangnya selalu aku bayarkan, batin Jinxia menyahut. “Ibu sarankan lebih baik kalian mulai dari sekarang mencicil tiap bulan, daripada di ujungnya nanti malah memberatkan,” ujarnya dengan nada perintah. Ibu Liu mengambil napas, kemudian melanjutkan. “Sekarang sudah bulan November sisa tujuh bulan lagi untuk kalian melunasinya. Pada tanggal sepuluh bulan April semuanya harus lunas. Ibu tidak mau lagi seperti kakak tingkat kalian tahun lalu. Mereka menghadap Ibu meminta tambahan waktu dan akhirnya malah tidak bayar.” “Nah, di tahun kalian Ibu minta pada tanggal sepuluh bulan April nanti harus lunas! Ibu tidak mau tahu, pokoknya harus lunas!” tegas Ibu Liu Nang. Wanita itu menatap satu per satu anak didiknya. "Ada yang mau bertanya?" Seorang mahasiswi berambut keriting cokelat sebahu, menunjuk tangan. “Bagaimana Bu, jika nanti di tanggal sepuluh April nanti belum lunas?” Pertanyaan itu mewakili sebagian pertanyaan dari mahasiswa yang lain. Ibu Liu Nang menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. “Itulah yang Ibu katakan tadi jika kalian tidak sanggup membayar lunas. Kalian nyicil dari sekarang misalnya tiap satu minggu dua ratus ribu, tiga ratus ribu atau tiap bulan satu juta, dua juta.” “Supaya kalian nantinya tidak keberatan di akhirnya. Kalau kalian dari sekarang nyicil, di bulan April nanti misalnya sisa satu juta lagi 'kan tidak berat,” jelas Ibu Liu Nang panjang lebar. “Bagaimana yang lain apa sudah mengerti?” tanya Ibu Liu Nang memastikan lagi. Jangan sampai ada mahasiswa yang salah informasi atau belum mengerti. Tidak ada satupun mahasiswa yang menunjuk tangan. “Oke, baiklah. Jika kalian semuanya sudah mengerti jangan lupa cicilannya!” seru Liu Nang yang dijawab anggukan mahasiswa. “Apa mata kuliah pagi ini ?” tanya dosen bagian keuangan mengalihkan topik. “Pengantar psikologi dan komunikasi, Bu,” jawab sekelas kompak. “Baiklah, kalian tetaplah berada di kelas. Kalau begitu, selamat pagi.” Ibu Liu Nang pamit, kemudian berlalu keluar kelas. Tidak beberapa lama, Pak Novdaly Fillamenta masuk ke kelas Mutiara mengajar mata kuliah pengantar psikologi dan komunikasi. Pria itu adalah orang Indonesia yang kuliah di negara Xinxian, bekerja sebagai dosen. Dia menikah dengan orang pribumi. Pria berkulit putih, berusia tigapuluh empat tahun itu memiliki satu orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD