Chapter 3 - Apakah Tempat Ini?

1446 Words
“Kenapa kau tidak bekerja kemarin?” tanya Bai Ping Ting, pemilik toko bunga tempat Jinxia bekerja. Gadis berkulit putih itu sedang menyiram mawar putih yang tumbuh subur, lalu menoleh ke samping kanan. “Itu Bi, kemarin ada sedikit masalah di kampus,” jelasnya. “Masalahnya sudah selesai?” tanya Bai Ping Ting sambil merangkai bunga lily pesanan pelanggan. Jinxia mengangguk pelan. "Kali ini Bibi maafkan. Tapi lain kali jika kamu bolos lagi, gajimu akan dipotong seperempat!" ancam Bai Ping Ting dengan nada tegas. “Iya, Bi. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” jawab Jinxia mengangguk patuh. "Bagus. Ini pesanan bunganya segera lakukan, jangan buat pelanggan menunggu." Bai Ping Ting menyodorkan secarik kertas pada Jinxia. Total pesanan ada sepuluh rangkai bunga. Bai Ping Ting berbalik melangkah pergi, meninggalkan Jinxia yang berkutat merangkai bunga-bunga pesanan pelanggan. Satu jam kemudian, sembilan rangkai bunga sudah selesai dirangkai. “Pesanan bunga terakhir gabungan dari dua macam bunga mawar merah dan mawar putih.” Jinxia mengambil lima tangkai mawar putih dan lima tangkai mawar merah mulai merangkainya. Terakhir dibungkus dengan kantong bening. Aroma harum mawar menggelitik indra penciuman Jinxia. “Kapan seorang pria berkuda putih memberiku bunga?” ucap nya sembari meletakkan rangkaian bunga di wadah khusus. “Suatu saat nanti mungkin akan terjadi.” Dia mengambil posisi duduk di kursi yang ada, menyenderkan punggung. “Surat dari pihak kampus belum aku serahkan. Aku tidak mau menambah beban orang tuaku yang bebannya sudah sangat banyak seperti sewa rumah dan kredit motor.” “Kalau aku bayar sendiri, pastinya tidak akan cukup gaji di sini cuma tiga ratus ribu sebulan, sedangkan waktu tersisa tujuh bulan lagi mana cukup ditambah juga untuk membeli buku dan perlengkapan lainnya. Aku harus bagaimana?” Jin Xia berpikir keras, hingga kepala sedikit berdenyut pusing. Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi. "Aku punya solusi atas masalahmu itu, Gadis Kecil." Jinxia menoleh dan menemukan seorang kakek tua duduk di sampingnya tengah menatapnya dengan ekspresi tersenyum. “Kakek, kenapa bisa tahu jika aku ada masalah?” tanya Jin Xia berekspresi polos. Kakek tua itu tertawa. “Bukankah kau mengatakannya dengan jelas tadi?” Bukannya menjawab pria tua itu balik bertanya. . Apakah itu benar? batin Jinxia menatap bingung sang kakek. “Sudahlah jangan pikirkan itu. Nama Kakek Lu Ren. Bagaimana dengan tawaran Kakek, apa kau setuju Gadis Kecil?” tanya Kakek Lu. “Solusi apa yang Kakek punya untuk membantu masalahku?” Jinxia menatap Kakek Lu Ren dengan raut wajah penasaran. Kakek tua berkulit putih itu tersenyum, kemudian menjawab. “Kakek akan membayar semua tagihan pihak kampusmu." Netra Jinxia berbinar cerah. "Benarkah?" Kakek mengangguk pasti. "Tapi tunggu dulu. Kakek punya syarat." “Syaratnya apa, Kek?" Lin Jin Xia menatap Kakek Lu penuh minat. Apa pun akan gadis itu lakukan demi membantu kedua orang tuanya. "Kamu harus membantu cucu Kakek namanya Lu Yi. Tugas ini bukan di dunia ini, tapi di dunia lain,” jelas kakek serius. “Aku mau, Kek.” Tanpa berpikir panjang, Jin Xia mengiyakan permintaan syarat kakek asing yang tiba-tiba muncul. “Sudah yakin, Gadis Kecil?” tanya kakek tua. “Iya, Kek, Jin Xia yakin.” Jin Xia menatap kakek lurus mengangguk mantap. “Bagus, Gadis Kecil. Aku suka keinginan kuatmu untuk membantu kedua orang tuamu. Mereka beruntung memiliki putri seperti dirimu.” Kakek tersenyum, raut wajah tuanya menunjukkan rasa kebanggaan. “Terima kasih Kek, atas pujiannya,” ujar Jin Xia malu-malu. “Sama-sama, Gadis Kecil.” Kakek tua tersenyum lembut. “Malam ini Kakek akan memberikan uang yang kau butuhkan. Besok pagi bisa langsung membayarnya di pihak kampus.” “Iya, Kek.” *** Dewi Bulan terbit menggantikan Raja Siang yang ingin beristirahat. Bintang-bintang juga turut menghiasi langit. Seorang gadis duduk bersila di kasurnya, menatap langit sambil memakan biskuit cokelat pemberian Xie Xiao beberapa hari yang lalu. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. “Jinxia, ini Ibu apa boleh masuk?” tanya Lin Ling di depan pintu kamar putri tunggalnya. “Masuk saja, Bu pintunya tidak dikunci,” sahut Jin Xia dari dalam menoleh ke arah pintu berukiran bintang. Lin Ling mendorong pintu pelan, melangkah masuk. “Belum tidur?” Lin Ling ikut mendudukkan diri di samping Jin Xia. Gadis berusia delapan belas tahun itu masih sibuk menghitung jumlah bintang di langit sambil memakan biskuit cokelat kesukaannya. Jin Xia menatap mamanya lembut. “Belum, Ma. Jin Xia belum mengantuk.” “Oh, belum mengantuk ya? Sini duduk di pangkuan Mama sudah lama sekali putriku tercinta ini tidak dimanjakan oleh Mama.” Jin Xia meletakkan toples biskuit di nakas kecil. Lin Jin Xia menurut meletakkan kepalanya di pangkuan sang mama. Lin Ling tersenyum lembut, tatapan penuh kasih sayang khas seorang ibu. Ling mengelus rambut hitam panjang Jin Xia yang terurai bebas. “Bagaimana kuliahmu Jin Xia? Apakah berjalan dengan baik?” tanya Lin Ling. “Semuanya berjalan dengan baik, Ma hanya saja ....” ucapan Jin Xia terpotong, menimbang-nimbang akan mengatakannya atau tidak. “Hanya saja apa Jin Xia?” Lin Ling khawatir menatap putri tunggalnya itu. Tidak, aku tidak mungkin mengatakannya kepada Mama. Aku tak yakin dia akan setuju dengan perjanjianku dengan Kakek Lu, batin Jin Xia. “Jin Xia, kenapa melamun? Apakah ada seseorang yang menganggumu? Kalau begitu katakan pada Mama, Mama akan menghukumnya karena telah berani menganggu putri kesayanganku ini.” Lin Jin Xia tertawa terpingkal-pingkal sembari bangkit dari pangkuan Lin Ling, menggeleng pelan. “Hahaha, Mama mana mungkin ada yang berani menganggu putri kesayanganmu ini,” ujar Lin Jin Xia bangga. “Ya, mungkin saja.” “Mama terlalu khawatir kepadaku,” sahut Jin Xia tersenyum geli. “Baguslah kalau begitu, Mama hanya khawatir takutnya kamu tidak nyaman belajar di kampus.” Lin Ling mengusap puncak kepala Lin Jin Xia, lalu mengecup keningnya sayang. “Selamat malam, Jin Xia. Mama akan kembali ke kamar mama.” Lin Ling beranjak bangkit, melangkah keluar kamar Jin Xia. “Selamat malam juga, Ma,” balas Jin Xia. ****************************************** Malam sudah semakin larut saat nyanyian hewan malam terdengar merdu di indra pendengaran bersama embusan angin menerbangkan daun-daun kering yang berjatuhan. “Apa aku harus percaya pada Kakek Lu? Apakah dia benar-benar akan membantuku?” Jin Xia bermonolog sendiri, duduk melamun di meja belajar menatap selembar kertas yang dibagikan pihak kampus berisi sisa uang yang harus dibayarkan cicilan di setiap bulannya. “Tapi bagaimana jika dia membohongiku? Kemunculan Kakek Lu juga kalau dipikir-pikir misterius juga.” Lin Jin Xia memasang pose berpikir. “Percaya atau tidak? Percaya atau tidak? Percaya atau tidak?” Lin Jin Xia menggoyangkan kepalanya ke kanan dan kiri. “Lima puluh persen percaya dan lima puluh persen tidak percaya,” ujar Jin Xia bermonolog sendiri. “Tidak kusangka Kakek bertemu dengan seorang gadis kecil yang suka berbicara sendiri dan menggoyang-goyangkan kepalanya seperti jarum jam.” Kakek Lu muncul secara tiba-tiba di kamar Lin Jin Xia. Spontan gadis cantik itu hampir saja menjerit. Lin Jin Xia bangkit dari duduknya menatap Kakek Lu garang. “Kakek Lu kenapa suka sekali muncul tiba-tiba. Tahukah Kakek tindakan Kakek ini sangat mengagetkan aku untung saja aku tadi tidak menjerit,” omel Jin Xia. Kakek Lu tertawa keras menurutnya tingkah gadis kecil yang saat ini sedang marah lucu sekali. “Baik, baik, di masa depan Kakek akan berusaha tidak mengagetkan kamu, Gadis Kecil.” “Itu lebih baik,” sahut Jin Xia. Kakek Lu mengambil kertas dari balik hanfu cokelat tua yang dikenakannya memberikan kepada Jin Xia. “Apa ini, Kek?” “Buka saja.” Lin Jin Xia membuka kertas putih tersebut. “Tanda lunas administrasi dan praktek kerja lapangan atas nama Lin Jin Xia.” Lin Jin Xia membaca kalimat yang tertera di kertas putih. Lin Jin Xia seakan tak percaya. “Kakek Lu apa ini sungguhan?” Jin Xia menatap Kakek Lu yang tersenyum. Kakek Lu mengangguk. “Tentu saja, Gadis Kecil, ini nyata. Kakek sudah membereskan masalah keuangan sekolah kamu. Sekarang giliranmu melakukan tugas yang Kakek berikan,” ucapnya serius. “Kakek juga sudah melunasi biaya spp sekolahmu sampai semester enam. Kwitansinya masih di pihak kampus.” Lin Jin Xia tentu saja kaget. “Terima kasih banyak, Kakek Lu,” ujar Lin Jin Xia menangis terharu. Orang tuanya kedepannya tidak akan pusing lagi memikirkan masalah keuangan sekolah. “Gadis Kecil, kau terlalu sungkan.” “Kakek Lu, kenapa memakai pakaian seperti ini?” Gadis itu baru menyadari jika pakaian yang dikenakan Kakek Lu sedikit berbeda dari pakaian yang dipakai masyarakat. “Ini pakaian zaman kerajaan, Gadis Kecil,” jelas Kakek Lu. “Oh, ya, Gadis Kecil tepat sekali malam ini bulan purnama kamu bisa memulai tugas yang Kakek berikan. Kunci masuk ke dunia itu adalah ayam geprek dan kunci keluarnya adalah tahu.” “Jadi, setiap kali kamu memakan ayam geprek kamu akan tertarik ke dunia itu dan begitu juga sebaliknya,” jelas Kakek Lu panjang lebar, Lin Jin Xia mengangguk mengerti. “Kakek sudah mempersiapkan semuanya kamu tinggal memakannya saja.” “Terima kasih, Kakek.” Lin Jin Xia mengambil dan mengunyah perlahan paha ayam geprek yang sudah disiapkan Kakek Lu di meja belajarnya. “Semoga berhasil, Jin Xia!” ucap Kakek Lu memberikan semangat. “Semoga!” balas Jin Xia berharap penuh. Beberapa detik kemudian, tanpa orang lain ketahui, Jinxia dan Kakek Lu bersamaan menghilang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD