3. Aku Adalah Kucing Liar

2106 Words
YANG Irish yakini sebagai kunci keberhasilan dalam tahap wawancara adalah tingkat kepercayaan dirinya. Alih-alih dibuat tegang dengan suasana dari hari pertama bertemu Chakra, Irish malah dapat menguasai alam karena mampu untuk bersikap tenang. Dia tidak pernah kelupaan untuk memberikan senyuman terbaiknya. Agar sosok laki-laki bersetelan rapi dengan nuansa serba hitam keabuan-abuan di balik meja di depan sana bisa terjerat ke dalam pesonanya. Ketika kedua tangan dibiarkan untuk saling bertautan selama bernaung di atas meja, Chakra cukup berani untuk menyertakan seulas senyuman bersamanya. Dia memang bermaksud untuk menunjukkan kepuasannya terhadap setiap balasan dari lawan bicaranya. "Apa alasanmu sehingga memutuskan untuk menjadi salah satu model di sini?" Irish menarik napas dengan lembut. Atas dasar persiapan sebelumnya, bibirnya terlihat bergerak dengan lancar selama menuturkan, "Mode-In adalah bentuk penghargaan kepada model-model kecil dan awam seperti saya. Di sini, setiap model akan diberikan bimbingan khusus dari mentor-mentor profesional dan berpengalaman." Yang bisa ditemukan Chakra, Irish tidak hanya tersenyum dengan menggunakan bibir, tetapi melibatkan mata sekalian. Dari segi paras, Chakra tidak mungkin untuk tidak tertarik kepada makhluk indah di seberang sana, bahkan bisa dikatakan sosok tersebut sudah sangat melampaui kriterianya. Irish masih sempat untuk menambahkan, "Yang terpenting, di sini tidak ada perbedaan perlakuan kepada model baru maupun model lama." "Jadi, haruskah saya memilih agensi lain sebagai wadah untuk menggapai mimpi saya?" Tidaklah. Chakra tidak akan pernah bisa merelakan kalau Irish sampai tergabung dalam agensi lain. Jika boleh mengaku sekarang, Chakra benar-benar sudah mendapatkan kesimpulan hingga tidak memerlukan tambahan pertanyaan untuk menguji keseriusan dari calon modelnya. Lalu, tidak sampai berselang lama, Chakra bangkit dari kursinya dan langsung menyusun langkah setengah mengitari meja sebelum menghampiri Irish dengan ekspresi bergaya cerah sudah merekah di wajahnya. "Baiklah," katanya, kira-kira beberapa detik sebelum tangan kanannya diulurkan. Dia tersenyum ramah dan menatap sepasang mata berlensa bening di hadapannya untuk mengatakan, "Irish, selamat bergabung di Mode-In." "... dan untuk proyek pertamamu, kau akan menjadi brand ambassador di Lexora." "Bapak serius?" Irish bertanya dengan nada terdengar antusias. Dia berusaha untuk terlihat senang tanpa memberikan kesan dibuat-buat. Chakra langsung terpancing hingga membalas, "Aku tidak pernah bercanda kalau menyangkut pekerjaan." Irish benar-benar mendapatkan tempat spesial di hati Chakra hingga bisa memperoleh perlakuan khusus. Dia tidak harus repot-repot berjuang dengan melewati masa percobaan, melainkan tahu-tahu sudah disuguhkan dengan kesepakatan bernilai fantastis. "Besok, aku akan mempertemukanmu dengan pemiliknya." Awal mula menambahkan kalimat barusan, Chakra tidak mengira kalau kedua lensa matanya akan terkunci selama menatap kedua manik mata milik bidadari berwujud manusia di hadapannya. "Manis sekali." Air liurnya hampir tumpah. Jika tidak diingatkan oleh udara dingin dari Air Conditioner (AC) di sisi ruangan berjendela, maka kesadarannya tidak akan pernah bisa terpanggil lagi. Dia terlalu terperdaya sampai-sampai tidak kuat untuk mendesah di dalam hatinya. "Tuhan, selamatkanlah diriku dari keindahannya." "Baik, Pak." Irish sudah melontarkan sahutan secara lugas. Jurang pemisah antara mereka berdua terpampang dengan begitu nyata. Dari lubuk hati terdalam, Chakra sungguh-sungguh tidak mengharapkan adanya keterasingan sehingga lantas berkata, "Tidak usah terlalu formal kepadaku." Dia sendiri tidak membutuhkan waktu lama untuk mengimbuhkan, "Kau bisa menganggapku seperti kakakmu sendiri." "Yah ... kau tahu, bukan?" "Aku dan Kafka bersahabat." Ada senyum pertanda puas, tetapi tidak kasat mata. Irish merasa bangga karena sudah membuat salah satu targetnya sampai bersusah payah untuk menciptakan sebuah ruang bernama keakraban. "Iya, Kak," sahutnya kemudian. Melihat betapa manis muka dari sosok cantik di depannya, Chakra tiba-tiba kepikiran Kafka. Dia bersikeras untuk menahan gejolak panas di dalam dadanya. "Sialan." "Mungkin, aku harus membujuknya untuk bersaing secara sehat." Dari tatapan Chakra, Irish sudah cukup mengerti hingga berpikir kalau habis menorehkan prestasi hebat. Irish segera berpamitan setelah memastikan kalau urusan mereka bisa dicukupkan mengingat masih dapat disambung di hari esok. Dia sudah berada di dalam lift untuk menuju lantai dasar. Agak lama waktu tunggunya. Dia harus membuang beberapa detik untuk bisa mendengar suara berdenting. Irish melangkah lurus setelah pintu lift sudah dalam keadaan terbuka. Akan melewati kawasan resepsionis di daerah belokan untuk menuju jalan masuk utama, Irish malah bertabrakan dengan seseorang secara tidak sengaja. Bruk! "Apa kau tidak memiliki ma–?" Suara maskulin berirama kasar terdengar dengan lantang hingga membelah kesibukan dari orang-orang sekitar dan membuat mereka sama-sama menanggalkan urusan masing-masing demi bisa memusatkan perhatian ke tempat dimana kegaduhan tengah berlangsung. "Maaf, Pak," ucap Irish, tahu benar sedang berhadapan dengan siapa, "saya tidak sengaja." Reaksi Darren amatlah berlebihan. Dia hanya disenggol sedikit, bahkan tidak sampai dibuat terjatuh. Akan tetapi, sikapnya berubah drastis sesudah memandang rupa dari sosok biang kerok barusan, entah mengapa bisa membuat dirinya kesulitan berkedip, entah sampai kapan. Akibat terpana dengan kecantikan Irish, Darren menjadi beranggapan kalau sudah berbuat keliru. "Eh, tidak apa-apa, kok," ucapnya. Dia tidak setengah-setengah dalam meluruskan kesalahpahaman berubah ke mode super lembut selama mengimbuhkan, "Bukan salahmu sepenuhnya." Darren memeriksa keutuhan tubuh Irish dengan menggunakan kedua manik matanya, serba dibisiki embusan angin untuk menyajikan perhatian. "Kau tidak terluka, bukan?" tanyanya kemudian. "Wah. Wah. Wah." "Kau mudah sekali untuk mencemaskan orang baru?" Irish mana berani berkata-kata dalam bentuk suara sehingga kalimat tersebut hanya bisa meluncur di dalam benaknya semata. Dia memilih untuk bergegas tersenyum tipis dan menggeleng pelan sebelum mempertegas, "Tidak, Kak." Agak terlihat kikuk, Irish menggunakan jemari tangan kanannya untuk menyelipkan sebagian anak rambutnya ke belakang telinga kanannya. Di dalam pikatan kepalsuan, mulutnya terbuka untuk melantunkan, "Mn ... sekali lagi, saya minta maaf, Kak." "Lupakanlah," ucap Darren, "bukan masalah besar untukku." Di dunia, sikap baik terkadang memang memandang fisik. Begitulah. Yang dilakukan Darren sudah cukup umum. Irish diam-diam mencemooh tanpa suara. Akan tetapi, waktunya ternyata tidak tersisa banyak. Dia sudah diingatkan logika untuk meladeni antrean tindakan. "Jadi, saya boleh pergi sekarang?" tanyanya dengan santun. "Tentu saja. Silakan." Darren mendadak salah tingkah. Dia tidak berniat untuk menahan. Tapi, kenapa malah terkesan demikian? Agresif sekali. "Wanita itu benar-benar cantik alami." Meski Irish telah selesai berpamitan dan mulai menyusun langkah untuk meninggalkan area dalam gedung, Darren masih belum melupakan setiap detail dari wajah Irish karena dinilai mendekati kesempurnaan, bahkan ... barangkali sosok penciptanya tengah berbunga-bunga ketika memahatnya. Dia tidak bisa mengabaikan keagungan dari kesenian demikian. Di sisi lain, Irish melangkah konstan dengan segenap keanggunan seraya tersenyum ambigu, campuran antara nuansa manis dan licik. Pada waktu menembus teras, tiba-tiba sesuatu di dalam pikirannya mencuat keluar. "Tiga ikan sudah di depan mataku. Aku hanya perlu menyiapkan kejutan untuk mereka, satu per satu." Irish tidak merasa terdesak sehingga tidak berencana untuk terburu-buru. Dia hanya perlu bergerak sesuai dengan tempo dan cukup mengikuti arus. Melihat matahari bersinar terang selama bernaung di pucuk angkasa, Irish sudah memiliki alasan untuk meninggalkan segala kegiatan di luar ruangan dengan bergegas mencari kendaraan supaya bisa segera menuju domisili sementara. *** Wajah Darren benar-benar seperti dapat memantulkan cahaya. Chakra tidak menderita kebutaan sehingga mudah sekali untuk memerhatikan secara nyata. Sejak mereka berdua duduk berdampingan di sebuah sofa berbentuk memanjang di dekat pintu, Darren tidak kunjung terlepas dari amatan Chakra. "Wah. Wah. Wah." "Ada apa denganmu?" "Kenapa wajahmu bisa cerah sekali?" Chakra terheran-heran. Apakah karena tersihir dengan penampilan laki-laki itu? Bukan. Darren memang terlihat menawan dengan badan dibalut setelan kantor berwarna cokelat tua. Akan tetapi, Chakra masih merupakan laki-laki normal. Dia tidak mungkin tertarik untuk menjalin hubungan romansa dengan sesamanya. "Yah ...." "Beginilah aku," kata Darren tanpa berniat untuk menyudahi wajah berserinya, "kalau habis bertemu dengan wanita cantik." "Siapa? Pacar barumu?" Chakra mengerutkan dahinya. Dia tengah mempertanyakan. Masa Darren bisa sampai ekspresif dengan tingkatan termasuk dalam kategori berlebihan hanya gara-gara seorang wanita? Agak mencengangkan. Jika sudah terbiasa berinteraksi dengan makhluk semacam, kenapa bisa mendapatkan kesan berbeda? Dia yakin benar. Wanita itu bukan dari golongan sebarangan. "Bukan." Berhubung tebakan Chakra tidak sesuai dengan fakta, Darren langsung membantah tanpa bisa memprediksi kalau ternyata malah menuai kesulitan dalam menerangkan secara lebih lanjut. "Dia ...." Sudahlah. Dia memilih untuk menyerah, daripada otaknya dibuat berputar-putar untuk kurun waktu tidak sebentar. Yang semula dibangga-banggakan secara hiperbola, mungkin memang harus berakhir nestapa. Dia cukup kecewa kepada dirinya sendiri, terutama setelah bergumam, "Aku malah kelupaan tidak menanyakan namanya." Pada akhirnya, Darren hanya bisa menatap Chakra dengan membabi buta dan mengatakan, "Kau tahu, barusan aku berpapasan dengannya di lobi kantormu." Pandangan Chakra terlihat menerawang karena sedang membayangkan suatu sosok seraya meremas-remas dagunya dengan menggunakan tangan terkuatnya. Dia sudah kalau akan menuruti pikirannya dengan mengucapkan, "Aku hanya bisa mencurigai seseorang." Chakra segera mengambil sebuah map bersampul biru dari atas meja untuk dibukanya dalam satu gerakan sehingga bisa menunjukkan keelokan rupa dari sesosok wanita. Dia masih membiarkan sebagian jemari tangannya untuk menghuni area sudut kanan bawah dari lembaran dokumen teratas di tangan kirinya, sedangkan tatapannya sudah bergerilya untuk memburu kedua manik mata milik laki-laki di sampingnya. "Dia?" Ketika lensa mata masih mengikuti arahan Chakra, Darren tersenyum dengan dibersamai ketakjuban, bahkan sempat menatap kawannya sekilas seraya berkata, "Wah. Jeli sekali dirimu." Kini, Darren sudah beralih mengagumi Irish. Dia tengah menggeleng-geleng dengan kedua sudut bibir dalam kedaan tertarik. Ada pun imajinasinya tentang sesuatu di masa depan semakin meronta-ronta. Akan tetapi, impian indahnya langsung sirna karena tiba-tiba malah terdengar kalimat tidak mengenakkan. "Mundurlah. Dia adalah teman masa kecil dan cinta pertama Kafka." "Tidak, Bro." Darren tidak mengindahkan saran untuk menyerah sebelum berperang. Dia sampai mempertegas dengan mengatakan, "Aku harus memperjuangkannya." "Jangan gila." Chakra cukup tertegun. Apakah Darren tidak terlalu berani? Lupakah? Disangka tenang, Kafka terus terang dapat menghanyutkan apa pun kalau sudah merasa terusik. "Meski dirinya sendiri ditolak, Kafka tidak akan membiarkan Irish untuk bersanding dengan laki-laki berengsek seperti kita," kata Chakra, dimaksudkan untuk setengah mengingatkan. "Oh ..." "Dia bernama Irish." Alih-alih mendengarkan fokus utama dari kalimat Chakra, Darren malah menaruh kepedulian berlebih terhadap objek dari obrolan mereka. Chakra menjadi dongkol sendiri. Dia tidak tanggung-tanggung untuk menepuk salah satu bahu milik sahabatnya dengan sedikit kasar. "Woi!" "Kau mendengarkan aku atau tidak, sih?" Yang ditanya tidak menjawab, malah asyik sendiri dengan senyum-senyum tidak jelas. Chakra sudah menekuk wajahnya setelah merasa diabaikan, bahkan sedikit membuang muka untuk menyatukan suasana di dalam hatinya dengan lingkungannya. "Eh, omong-omong," kata Darren dengan sebelah tangan terlihat memegang sandaran sofa dan badan dibuat sedikit serong, masih tidak mengaku bersalah atas kesalahan sekian detik lalu, "aku sedang kesal sekali kepada laki-laki itu." Awalnya, Chakra sudah menyusun tekad untuk tidak menaruh minat terhadap setiap tutur kata Darren. Akan tetapi, ternyata lain di kata lain di hati. Chakra malah memerhatikan dengan saksama. "Dia sudah membocorkan nomor pribadiku kepada mantan-mantanku," ucap Darren dengan menggebu-gebu. "Yang bisa kulakukan adalah memblokir nomor mereka. Tapi, kalau sampai alamat tempat tinggalku ikutan bocor, aku bisa kabur ke mana?" "Ck. Ck. Ck." "Kalian berdua lucu," ucap Chakra seraya menoleh ke samping untuk menatap Darren dengan kedua tangan dibiarkan bertaut di atas kedua pahanya. Haciuh! Di rumah sakit, ketika sedang duduk untuk melihat hasil pemeriksaan beberapa pasien, Kafka tiba-tiba dipaksa alam untuk bersin. Dia merasa sehat dan tidak menemukan sesuatu sehingga bisa memicu hidungnya untuk berbuat gaduh. Aneh, bukan? "Aku sedang dibicarakan, sepertinya." Kafka tidak terlintas gagasan untuk memperlebar perkara. Dia memilih untuk menganggap enteng dan melakukan sesuatu bermakna, seperti mengusahakan untuk satu langkah lebih dekat dengan sosok ratu di dalam hatinya. "Lupakan." "Lebih baik, aku mengajak Irish untuk makan siang bersama." *** Ketika mendapatkan telepon dari Kafka, Irish baru akan memesan taksi. Dia terpaksa meladeni dengan tetap berdiri di beranda gedung bertingkat berlabel Mode-In untuk berbicara akrab dengan Kafka. "Apakah kau sudah selesai dengan wawancaramu?" tanya Kafka di seberang sana dengan suara terdengar gembira. Laki-laki itu cukup berbunga-bunga setelah mendengar suara khas milik tambatan hatinya. Irish sangat memahami bahwa Kafka sedang berinisiatif untuk mendekatinya. Dia hanya sedikit kebingungan, antara senang atau malah dipusingkan karena belum memiliki skenario untuk setiap langkah ke depan secara menyeluruh. "Ya," Irish menyahut seadanya, "baru saja." Di sini, Irish sungguh-sungguh meyakini kalau Kafla sedang mengukir senyuman, bahkan tanpa harus menyaksikan secara langsung. "Mau makan siang di luar bersamaku?" "Tidak." Irish belum mengatakan apa pun. Yang menjawab malah Kafka sendiri selaku penanya. Irish sempat terheran-heran karena terus terang belum menggali bagaimana karakter dari sosok teman bicaranya sekarang. "Maksudku," ucap Kafka untuk mengoreksi kalimat sebelumnya, "kau harus menemaniku makan siang sekarang." Dia sudah tidak bermaksud untuk meminta pendapat lagi, melainkan langsung menuturkan sebuah pernyataan. "Wah, wah, wah. Amatlah mengagumkan." Irish menarik salah satu sudut bibirnya. Ada curahan tirta di tanah tandus. Dia tidak perlu bersusah payah untuk melekat ke musuh terakhirnya. Agak tidak sabaran, Kafka berkata, "Tunggulah sebentar. Aku akan segera sampai." "Baiklah." Irish tersenyum dengan tatapan lurus, tetapi ditujukan kepada objek utama di dalam otaknya. Lalu, tidak berselang lama, kira-kira sesudah panggilan diakhiri, sebelah tangannya tergerak untuk menurunkan ponsel pintarnya dari samping telinga kanannya dengan salah satu ujung dari media komunikasi tersebut ditempelkan di depan dagunya. Dia merasa belum memasang jebakan, tetapi makhluk buruan tahu-tahu sudah memakan umpan hingga terperangkap. "Aku adalah kucing liar," ungkap batinnya selagi menunggu dengan tetap merelakan objek pikirnya berkuasa di dalam otaknya, "dan kau ... sebagai ikan, malah datang sendiri kepadaku. Akan memudahkan langkahku, bukan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD