2. Kami Harus Berjodoh

1428 Words
HANGATNYA, sambutan dari kakak kelas ayahnya beserta istri tercinta terkesan melebihi orang-orang dengan hubungan darah. Irish masih dianggap seperti keluarga walaupun mereka sudah tidak saling bertemu dalam waktu cukup lama. Dia malah melupakan fakta bahwa mereka sempat pernah mengenal satu sama lain. "Wah, ternyata kau sudah besar," ucap wanita berusia 47 tahun dengan muka terlihat seperti masih berusia kepala tiga, seakan-akan kerutan terlalu takut untuk bersemayam di sana, benar-benar cantik meski hanya dipoles dengan riasan tipis. Jujur, Irish cukup risih dengan keagresifan dari wanita paruh baya di sebelah kanannya karena sejak duduk di dekatnya, salah satu lengannya tidak kunjung dilepaskan. "Oh, astaga. Aku tidak akan kabur, Tan." Diniatkan untuk memutar kedua bola mata dengan jengah, Irish sadar benar kalau hanya bisa tersenyum manis, akan terus dilakukan hingga wajahnya kaku. "Lama sekali kita tidak berkumpul," ucap Bu Sharla dengan nada sumringah, "kapan ayah dan ibumu akan main ke sini?" Irish menatap Bu Sharla, masih berupaya untuk tersenyum natural sebelum menanggapi dengan mengatakan, "Aku kurang tahu, Tan. Mungkin, ketika mereka benar-benar merindukanku." "Eh?" "Ke mana Kafka?" Laki-laki paruh baya di seberang meja dengan usia sekitar 49 tahun tiba-tiba membuka suara sehingga mendadak menjadi pusat perhatian. Ada kerutan halus dan tipis di atas kedua alisnya selama menanyakan, "Dia belum pulang?" "Biasa, Pa." "Anak itu suka mampir ke mana-mana." Pada waktu hampir bersamaan dengan momen tiga manusia di ruang tamu ketika bercakap-cakap, Kafka terlihat melangkah pelan dari parkiran. Dia melewati beranda rumah sebelum menuju pintu masuk utama. Tiba di area teras, nuansa berbeda seperti hadir di sana untuk menyambut kedatangannya. Saat kedua telinganya mendengar suara-suara dari dalam, bibirnya terbuka untuk menggumamkan, "Akrab sekali. Papa dan Mama sedang berbicara dengan siapa, sih?" Dia segera mengangkat tangan kanannya, meraih gagang pintu untuk menciptakan celah. Usai tubuh melesat untuk memasuki rumah dengan tidak lupa untuk menutup pintu seperti semula, bibirnya lagi-lagi tergerak dan menyerukan, "Aku pulang!" "Nah. Itu dia," ucap Bu Sharla dengan muka terarah ke pintu masuk utama, diikuti dua sosok manusia di dekatnya. Di segera memanggil putra semata wayangnya sebelum berbelok arah dengan menaiki anak tangga ke lantai dua. "Kafka." "Kemarilah, Nak." "Lihatlah. Ada Irish di sini." Bibir Irish melengkung seketika. Dia tersenyum dengan makna tersembunyi selama memperhatikan sosok laki-laki berparas tampan, berpakaian rapi, berbadan tegap, sekilas terlihat berisi karena adanya otot. Yang menarik perhatian adalah rambut-rambut hitam dan pendek di sekitar rahang atas dan bawahnya. Laki-laki itu tampak maskulin. Kafka bisa dikatakan teramat berbakti kepada ibunya. Dia tahu-tahu sudah menoleh dan mendatangi tempat ibunya berada, tanpa berniat membantah sedikit pun. Di depan sana, sisi ruang tamu sebelah kiri, terlihat sosok wanita cantik berambut hitam lurus sepinggang, tengah duduk akrab bersama kedua orangtuanya. Dia baru bisa menyaksikan dari belakang, tetapi hanya sementara waktu. "Irish?" gumamnya dengan suara bervolume rendah dan nada sambil lalu. Irish segera berdiri dengan masih mempertahankan senyuman manisnya ketika Kafka sudah sumpai dan berhenti di antara dua sofa di sebelah kirinya hingga tatapan keduanya bertemu di satu titik. "Halo, Kak," sapanya. Dia berinisiatif untuk mengulurkan tangan kanannya sebagai salam perkenalan. "Aku Irish." Kafka menerima uluran tangan Irish, langsung terpaku dengan tatapan membeku terarah ke sosok bidadari di hadapannya, malah asyik sendiri dengan beragam frasa di benaknya. "Apakah kami memang berjodoh?" "Tidak." "Kami harus berjodoh." Melihat Kafka tidak mengedipkan mata, Pak Burhan berbuat iseng dengan segera ambil tindakan, berperan layaknya tukang ganggu terhadap kesenangan orang lain. Dia tahu-tahu sudah mengangkat tangan kanannya dalam kondisi terkepal untuk ditempatkan di depan mulutnya. "Ehem. Ehem." Kafka dapat tersadar berkat deheman ayahnya barusan. Dia belum memberikan respons karena terlalu terpana, rasa-rasanya seperti masuk ke alam mimpi hingga sekarang bisa bertemu dengan wanita terkasihnya. "Oh ... aku sudah tahu," gumamnya seraya melepaskan tangan mungil dengan jemari ramping di dalam genggaman tangan kanannya. "Kau masih mengingatku, bukan?" tanyanya kemudian. "Ha?" Alis Irish terangkat sebelah. Dia yakin benar. Tidak ada keakraban di antara mereka berdua, baik di waktu sekarang maupun nanti. "Kita pernah bertemu sebelumnya?" Mungkin, Kafka terlalu berharap diingat. Jelas, adalah kesalahan besar kalau dilakukan. Dia masih hapal benar, kapan terakhir kalinya mereka bertatap muka, sekitar delapan tahun lalu, satu minggu sebelum dirinya berangkat ke luar negeri untuk kuliah. Ada tiga fakta menyedihkan. Pertama, selama masa-masa dirinya menempuh pendidikan di belahan bumi lain, dapat berkomunikasi dengan cinta pertamanya adalah sebuah imajinasi belaka. Kedua, setiap memasuki masa liburan dan memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berpulang ke tanah air dalam rangka mengobati kerinduan kepada cinta pertamanya selalu berbuah kehampaan. Ketiga, selesai dengan masalah pendidikan dan mulai berkarier di negeri sendiri, ternyata cinta pertamanya malah sedang menimba ilmu di salah satu universitas ternama di Amerika Serikat. Dia selalu mendengar alasan-alasan monoton. Pada tiga tahun pertama, Pak Rehan mengatakan bahwa Irish dipindahkan ke sekolah asrama, terlalu disibukkan dengan berbagai kegiatan di sana dan dilarang keras untuk menggunakan ponsel pribadi. Pada tahun-tahun berikutnya, Pak Rehan mengatakan bahwa Irish tidak pernah bisa diganggu, hingga secara mengejutkan malah diminta untuk fokus dulu dengan urusan masing-masing. "Mn ... lupakan," kata Kafka ketika senyuman lembut mulai menghiasi wajah kecewanya. Dia mencoba untuk berbesar hati dan mengucapkan, "Kita bisa mulai dari awal lagi." "Sudah. Sudah." Bu Sharla menegakkan tubuh. Dia segera menoleh untuk memberikan tatapan akrab kepada putra semata wayangnya dan mengatakan, "Kafka, bersihkan badanmu dulu. Kami akan menunggumu untuk makan malam bersama." "Iya, Ma," balas Kafka dengan disertai senyuman, tetapi tidak hanya ditujukan kepada ibunya, secara bergantian malah disebarkan hingga merata. Dia bukan bermaksud berlebihan, melainkan karena kesenangan batinnya benar-benar susah untuk dikontrol. *** Malam larut sudah berkunjung, Irish baru selesai beberes barang-barangnya di kamar tamu. Dinilai berukuran cukup besar untuk digunakan sebagai tempat istirahat kaum pendatang, tentunya akan menghadirkan kenyamanan tersendiri. Ditemani cahaya temaram, tubuhnya didudukkan di kasur dengan kedua kaki lurus dan punggung tersandarkan di kepala ranjang. Ada tablet berukuran 10 inchi dalam tangkupan tangan kirinya dan ditumpukan di atas pahanya selama jemari tangan kanannya bergerak lincah di layar. Ingatan masa lalu diam-diam menyusup untuk menampakkan wujudnya, serangan mendadak dalam satu gerakan mulus. Ini merujuk kepada sebuah video menyedihkan beberapa waktu lalu, sebagai kiriman terakhir dari Gladis, teman online-nya sejak adanya larangan dari orangtuanya untuk berkeliaran di dunia ramai akan manusia karena khawatir andaikan dirinya sampai memicu keributan gara-gara krisis empatinya. "Maaf, selama beberapa hari ... aku sudah menghilang tanpa kabar. Jadi, aku habis kemalangan. Lima hari lalu, aku mengikuti acara reuni bersama dengan teman-teman satu SMA-ku di salah satu villa di Pulau Bali." "Tapi, entah bagaimana ... aku bisa dibuat mabuk dan tiba-tiba aku ditarik seseorang ke sebuah kamar." "Aku tidak bisa mengingat semuanya." "Yang aku tahu, ketika terbangun aku hanya tinggal sendirian di kamar dengan tubuh sudah dipenuhi bekas jamahan dan aku yakin sekali kalau aku sudah digilir oleh seluruh anggota TIGER, sebuah grup band di sekolahku dulu." "Irish, lihatlah," "Di tanganku, bukti kejahatan mereka sangatlah nyata." "Bahkan, aku pernah menemui salah satu dari mereka dan bertanya secara langsung." "Dia benar-benar mengakuinya, tanpa merasa bersalah sedikit pun kepadaku." "Aku sudah berencana untuk melaporkan mereka kepada pihak berwajib. Tapi, mereka malah menyebarkan video selama diriku sedang dinodai mereka." "Irish, maafkan aku karena harus mengatakan bahwa ... ketika kau menonton video ini, artinya aku sudah tidak ada di dunia lagi ... dan aku sungguh-sungguh berterima kasih untuk pertemanan kita." Bagi Irish, Gladis benar-benar tidak memperoleh keadilan. Wanita itu luar biasa hebat, masih dapat menerangkan secara detail melalui video dalam keadaan kedua mata dipenuhi dengan cairan rasa asin, rambut hitam acak-acakan hingga nyaris memenuhi wajah, bahkan tidak gentar meski beberapa kesempatan hidungnya harus tersumbat. Irish melengkungkan salah satu sudut bibirnya selama menatap poster digital dari sebuah band musik bernama TIGER di SMA tempat Gladis bersekolah dan beranggotakan lima personil, cukup populer pada masanya. Meski masih dalam usia muda, mereka berlima sama-sama terlihat menawan. Lepas memerhatikan satu per satu, netranya difokuskan untuk menikmati rupa salah satu dari mereka dengan jari telunjuk diketuk-ketukkan tepat di area muka. "Menarik sekali. Aku akan satu atap dengan salah satu pelaku?" Lagi, senyuman ala monster cantik merekah di wajah mulusnya tanpa melibatkan deretan gigi putihnya. Dia sudah tidak sabar untuk mengukir sejarah di tanah ibukota, membalas dendam atas kematian teman terkasihnya akibat bunuh diri setelah menerima perlakuan tidak menyenangkan dari sekumpulan laki-laki di suatu malam reuni dengan teman-teman satu SMA, tidak lain adalah seluruh anggota dari TIGER. "Tunggulah." "Kau akan menjadi mangsa terakhirku." Begitulah. Jika sudah dijanjikan, maka akan menjadi sebuah kepastian untuk Kafka, tanpa bisa ditawar-tawar, terutama selama masa sekarang, entah kalau nanti. Mungkin, akan ada keajaiban. Tapi, Irish mana rela untuk membiarkan satu pelaku pun lolos dari kejarannya. Di dalam kamus hidupnya, energi negatif harus dilawan dengan energi senada. Dari sudut pandangnya, adalah suatu kewajaran dan dihalalkan untuk mendorong setiap pelaku supaya membayarkan seluruh perbuatan mereka hingga lunas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD