2. Aura Hitam di Cafe

2305 Words
        Atmosfer canggung memenuhi ruang tamu rumah Caca. Qeenan melirik Rafka, lalu Rafka melirik Caca yang menatapnya galak. Ia jadi takut sendiri dan menutup mulut rapat-rapat. Padahal ia hendak bicara sekedar mencairkan suasana, namun ia urung setelah melihat Caca tidak dalam mood yang baik.         Caca bersandar pada sandaran sofa sembari menyilangka kaki dan melihat ke tiga laki-laki di hadapannya yang belum mengucapkan apa-apa sejak tadi. "Kalian gak bakal ngomong atau aku yang maksa?" Dan membuat ke tiga laki-laki itu tergesa-gesa mengucapkan kata hingga yang terdengar oleh Caca hanya penggalan huruf saja. Inginnya ia tertawa tapi, nanti malah tidak seru lagi.         "Ngomongnya satu-satu dong!" ucap Caca bak seorang diktator. Mereka semua kembali bungkam. "Mulai dari Bang Rafka. Abang abis dari mana kok bisa bareng Qeenan?" Caca mendengar pekikan Rafka tadi dan mendapati Abangnya beserta Qeenan di dalam mobil Qeenan yang tak jauh dari rumahnya.         "Ee e i itu." Rafka memukul mulutnya sendiri karna tiba-tiba menjadi gugup di depan Caca. Kenapa bisa lupa sih ia untuk menjemput Caca pulang sekolah,? Ini pasti gara-gara keasikan main ps bersama Samuel sejak pulang kuliah tadi. "Abang abis dari minimarket sana, terus nemu Qeenan lagi mukul-mukul stir mobilnya sendiri, yaudah Abang mampir dulu bentar, nanyain dia kenapa keliatan kesel gitu." Rafka mencoba mengulur alasannya.         Caca manggut-manggut mengerti lalu pandangannya beralih ke Qeenan yang langsung menatap ke arah lain. Kemudian, kembali menyelidiki Rafka. "Terus Abang kenapa teriak?"         "Ah itu." Rafka jadi gugup lagi. "Maaf dek, Abang lupa jemput kamu abisnya Sam nih ngajak main ps kelamaan."         Sam yang merasa dituduh yang tidak-tidak, kontak mengelak. "Kok gue? Kan elo yang ngajak duluan!"         “Terus kenapa lo mau?” Rafka berujar lagi tak mau kalah.         "Udah udah, gak usah saling tuduh. Biasanya juga kan Abang sering lupa jemput Caca." Caca merengut kesal mengingat kembali kalau Rafka memang sering telat bahkan lupa menjemputnya pulang sekolah, untung ada Qeenan yang biasanya menjadi pengganti tugasnya Rafka. Dan sesekali Samuel juga menjemputnya.         Sekarang giliran Qeenan yang harus bicara, kenapa cowok itu ke sini? Bukannya mereka tadi sehabis bertengkar?         "Kalau lo ngapain ke sini?" tanya Caca pada Qeenan lalu melirik buket bunga dan sekotak coklat yang cowok itu letakkan di atas meja di hadapannya. Sebelum menjawab, Qeenan menggeser sbuket bunga itu dan kotak coklat mendekat pada Caca. "Buat?" tanya Caca memastikan sembari memiringkan kepala.         "Buat lo Ca. Gue minta maaf." Caca hanya melirik tak minat pemberian dari Qeenan sebab rasa kesalnya belum juga hilang. "Terus ngapain lo mukul-mukul stir kata Bang Rafka, lagi kesel sama siapa? Sama gue? Iya?"         Qeenan sontak menggeleng kuat. "Bukan, Ca." Ia melirik pada Samuel yang balas meliriknya bingung. Ia lalu menunjuk Samuel, "Ini nih, gara-gara dia, gue kesel ngeliat lo berduaan sama dia. Dia siapa sih?" Samuel yang tak mengerti apa pun tampak bingung karna ia malah terlibat dalam masalah ini.         Caca menepuk keningnya tak habis pikir. Jadi Qeenan cemburu? Bisa juga cowok itu cemburu ternyata. "Dia temen Bang Rafka, tadi abis dari luar sama gue, bentar doang."         "Ngapain?" tanya Qeenan lagi, belum puas.         "Gak usah kepo deh," balas Caca ketus membuat Qeenan cemberut dan Samuel terkekeh-kekeh. Lalu mereka kembali saling melempar tatapan tajam.         "Eh tunggu tunggu. Bukannya lo tadi di rumah gue ya? Gue lagi ngejar lo abis nimpuk pala gue pake stik ps kan? Terus kenapa lo bisa abis dari luar sama Caca?" Rafka seakan baru tersadar.Dan menuding Samuel dengan ekspresi penuh tanda tanya.         Samuel gelagapan. Sepertinya Rafka akan menghabisinya sekarang. "Ah i-itu tadi gue ngajak Caca keluar bentar."         "APA LO BILANG?" Dan Rafka pun murka. **         Malamnya Caca kembali di buat pening oleh tiga laki-laki yang sama, yaitu Sam, Qeenan dan Rafka. Sam dan Qeenan masih di rumahnya sejak siang tadi. Rafka yang mengamuk dan melakukan serangan pada Samuel membuat rumah heboh. Untungnya Qeenan mau membantu untuk memegangi Rafka agar tak mengamuk lagi.         Setelah sore, amukan Rafka mereda. Cowok itu tak lagi marah pada Samuel. Malah mengajak Samuel kembali memainkan ps dan Qeenan untuk ikut serta. Alhasil mereka bermain sampai langit berubah gelap. Dan Caca sudah berniat menyuruh mereka pulang, namun Kakak tertuanya yang bernama Rafa pulang selepas bekerja dan malah mengajak mereka semua makan malam bersama, katanya sudah lama rumah tidak seramai ini. Tentu saja Samuel dan Qeenan tak menolak. Mereka berdua malah senang.         Di meja makan, Caca merasa kepalanya akan pecah melihat Qeenan dan Samuel yang masih saja adu mulut dan melempar tatapan tajam, Rafka bukannya melerai malah ikut-ikutan mengompori. Caca ingin pingsan saja sekarang.         "Kak Rafa, boleh gak aku makan di rumahnya Mario. Males tau liat mereka ribut mulu, dari tadi siang juga. Kakak sih pake ajak mereka segala padahal mereka udah mau pulang tadi." Caca mengadu pada Rafa yang sibuk memasak untuk makan malam berharap Rafa menuruti keinginannya kali ini.         "Yah, Kakak kan gak tau situasinya tadi gimana makanya Kakak ajak mereka, kan lumayan ramein rumah."         "Gimana kalau aku ke rumah Mario aja?" Caca meminta satu kali lagi.         "Gak boleh gitu dong."         "Kak ayolah, kali ini aja. Coba deh liat mereka sekarang udah mau bacok-bacokan sama garpu." Rafa akhirnya menyadari apa yang sedang terjadi di ruang makan, hampir dimulai perang garpu di sana dengan Rafka sebagai suporter dadakan. Astaga!         Tanpa pikir panjang setelah mematikan kompor dan melipat lengan kemeja sampai siku ia bersiap untuk melerai pertempuran yang akan terjadi. "Yaudah, adek ngungsi aja di rumah sebelah. Kalau udah aman nanti Kakak jemput." Caca dengan senang hati menyetujuinya. Gadis itu memberi hormat pada Rafa sebelum berlari keluar rumah. **         Caca mendesah lega setelah berhasil lepas dari jeratan pembuat sakit kepala di rumahnya. Ia mengusap d**a senang dan segera melangkah ke rumah sebelah saat mendapati Mario tampak hendak pergi.         "Mar! Mau kemana?" Mario menoleh, tidak jadi memakai helm dan tersenyum melihat Caca. "Gue mau ke kafe, biasa lah." Caca manggut-manggut paham karna tiap tiga kali seminggu Mario kerja paruh waktu sebagai penyanyi di salah satu kafe milik teman Rafa, Kakaknya Caca.         "Gue boleh ikut?" Mario melihat Caca dari atas ke bawah, gadis itu hanya memakai kaos dan celana jeans pendek. Mario takut Caca nanti akan kedinginan, karna mereka pergi menggunakan motor dan angin malam itu tidak baik. Tapi, saat hendak menyuruh Caca mengambil jaket ka rumahnya, Mario mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumah. Dengan kepala dimiringkan bingung cowok itu bertanya pada Caca. "Ada siapa di rumah? Rame, ya?"         Caca juga mendengar keributan itu, sepertinya Rafa tidak berhasil menghentikan perang yang hendak berlangsung tadi. Wah, dapur pasti berantakan. Ia meringis membayangkannya sebelum menjawab. "Iya, rame banget. Pala gue pusing jadinya."         Mario hanya mengangguk paham, tidak jadi menyuruh Caca kembali ke rumah untuk mengambil jaket, takutnya akan terjadi apa-apa dengan Caca. "Tunggu di sini bentar, ya." Mario berbalik masuk ke rumahnya lalu kembali dengan jaket biru gelap di tangannya. "Pake, ya. Biar gak kedinginan." **         Mario merupakan salah satu orang posesif setelah Rafka dan Kakak-kakak Caca lainnya yang tinggal di sebelah rumahnya. Mereka pertama kali bertemu saat Caca baru pindah di sebelah rumah Mario. Karena Caca sudah terbiasa bergaul dengan laki-laki sebab ke enam Kakaknya ialah laki-laki semua, jadi ia tidak canggung sama sekali saat pertemuan pertama mereka. Yang lucunya saat itu malah Mario yang tampak malu-malu saat Caca mengulurkan tangan berkenalan.         Awalnya Mario enggan berteman dengan Caca karna Caca perempuan, katanya berteman dengan perempuan itu tidak keren. Namun lama-kelamaan cowok itu terbiasa dengan hadirnya Caca setiap hari di rumahnya, merecoki robot-robotannya, ikut-ikutan makan siang dengannya bahkan sempat melepaskan burung pipit kecil agar terbang jauh yang sudah susah payah Mario tangkap untuk menjadi peliharaan. Mario tentunya marah dan merasa sedih. Namun, waktu itu yang lebih terlihat sedih malah Caca, gadis itu menangis sesegukan dan meminta maaf pada Mario dengan ditemani Rafa.         Sejak saat itu meskipun Caca sering menangis dan mengadu karna Rafka sering menjailinya pada Mario, Mario janji tidak akan membuat Caca menangis lagi, ia berjanji di dalam hatinya. Karna masih malu untuk mengungkapkannya langsung pada Caca.         Mungkin karna malam ini merupakan malam yang ditunggu-tunggu anak muda setiap pekan, parkiran kafe menjadi penuh sesak. Mario harus memarkirkan motornya di bangunan belakang kafe. Karena ia juga termasuk pekerja di sana, jadi tak masalah untuk memarkirkan motornya di belakang kafe.         Saat mereka masuk lewa pintu belakang, bisa dilihat semua meja sudah terisi penuh, membuat Caca harus duduk di sudut dengan kursi yang diberi oleh Bayu, teman Kakaknya, Rafa. Sesudah berbasa-basi sedikit, Bayu kembali sibuk melayani pelanggan, efek malam minggu kafe lebih ramai dari malam biasanya.         Riuh tepuk tangan menjadi backsound saat Mario sudah naik ke panggung dengan gitar di pangkuannya. Mario ternyata terkenal di sini. Banyak tatapan penuh kegum yang Caca lihat dari beberapa gadis pengunjung kafe. Agaknya kehadiran Marion memang telah dinanti.         Alunan musik mengalun bersama suara Mario yang merdu. Lagu mengalir begitu saja. Caca sampai menutup matanya seraya menggoyangkan kepala pelan menikmati irama. Setelah selesai, tepuk tangan kembali menggema dengan sorak yang meminta satu lagu lagi untuk dinyanyikan.         Mario mengangguk dan mengangkat tangannya untuk meminta penonton tenang. Suara alunan musik kembali terdengar, Mario menoleh ke tempat di mana Caca duduk tadi. Namun, gadis itu sudah tidak ada di sana. Ia menyusuri pandangan ke seluruh penjuru kafe. Karna kafe ramai dan banyak pengunjung yang mengangkat tangan menikmati lagu sembari ikut bernyanyi yang membuat pandangan Mario terhalang.         Ternyata, Caca ada di sana di meja sudut bersama seorang laki-laki yang tidak Mario kenal. Laki-laki itu memakai hoodie hitam dan topi hitam, seperti sengaja sekali agar orang-orang tidak menyadari kehadirannya. Dia siapa? Kenapa rasanya ia ingin Caca tidak dekat-dekat dengan laki-laki itu?         Agaknya insting Mario terbukti benar. Karna sejak dekat dengan Caca, Mario sering melihat hal-hal yang aneh. Entah karna ia punya kemampuan khusus atau bagaimana, Mario tidak paham sama sekali. Karna baginya yang manusia normal, hal-hal seperti itu memang berada di luar nalar.         Tapi, untuk kali ini. Ia tidak bisa mengacuhkan saja hal aneh yang ia lihat dari laki-laki itu. Rasanya Caca sedang berada dalam bahaya, meskipun ia tahu Caca bisa melindungi diri sendiri. Namun, tetap saja. Di mata Mario Caca masih seperti gadis kecil berumur delapan tahun yang sering mengadu padanya karna dijaili Rafka. Mario tidak ingin Caca kenapa-napa.         Oleh karenanya, setelah lirik lagu habis ia nyanyikan dan alunan musik terhenti segera ia turun dari panggung dan melangkah ke sudut kafe di mana Caca berada. Menarik gadis itu menjauhi laki-laki aneh dengan aura hitam di sekelilingnya. **         Mario tahu betul ada yang berbeda dengan Caca. Sejak kecil, gadis itu tidak pernah mau bermain dengan teman perempuan yang seumuran dengannya. Mario juga tidak pernah menemukan Caca sedang bermain boneka berbie, masak-masakan, atau permainan sejenisnya yang suka dimainkan anak perempuan.         Yang Mario ingat, Caca hanya selalu membaca. Mulai dari buku kecil sebesar telapak tangan sampai ada yang sebesar meja lipat belajarnya. Membaca dengan fokus dan diam-diam -tidak ingin ada orang yang melihat barangkali- di halaman belakang rumahnya, Mario mengintip apa yang Caca lakukan. Seperti merapal mantra lalu wusss dan gadis itu pun menghilang. Terkadang ada cahaya yang aneh, pusaran angin atau seperti portal setinggi manusia dewasa dengan beberapa orang yang keluar dari dalamnya. Dan jangan lupa gerakan tangan yang Caca lakukan. Terkadang Mario iseng meniru, tentu saja Caca tidak tahu.         Saat SMP mereka sekolah di sekolah yang sama, Mario ingat betul Caca jelas menjaga jarak dari murid perempuan yang ingin berteman dengannya. Eh, tidak. Bahkan hampir semua murid yang ingin berteman dengannya ia tolak mentah-mentah, bukan teman perempuan saja. Bahkan teman Mario yang ingin menyatakan rasa suka pun ditolak mentah-mentah, padahal ia merupakan cassanova di sekolah. Sampai sekarang Mario rasa Caca tidak punya teman dekat. Hanya ada sekedar teman untuk menanyakan tugas dan hal-hal mengenai pelajaran saja.         Tidak ada yang namanya teman nongkrong, hangout, shopping, best friend atau semacamnya di saat cewek-cewek lain sedang asik bersama teman mereka, menceritakan berbagai hal lucu, melempar lelucon, mengejek satu sama lain atau bercerita tentang orang yang disukai, apalagi saat masa SMA seperti sekarang di mana teman lebih penting daripada pelajaran.         Mario pernah terpikirkan kalau Caca tidak mempunyai media sosial tempat dimana kita berinteraksi dengan orang-orang, namun ternyata gadis itu memilikinya. Satu akun ** atas nama Caca tapi, sebagian besar feeds instagramnya hanya ada foto-foto Rafka. Paling ada satu atau dua foto yang menangkap potret Caca, itupun hanya siluet saja.         Nah, dari situ dapat Mario simpulkan kalau Caca sama sekali tidak punya teman atau mungkin Caca tidak ingin memiliki teman. Kecuali, dirinya lalu laki-laki putih tinggi yang merupakan teman akrab Rafka, siapa namanya Mario lupa? Dan dia juga masuk hitungan sebab Caca terlihat nyaman bersama laki-laki itu.         Qeenan juga termasuk. Namun, Mario rasa Qeenan bukan teman Caca. Jelas sekali kalau mereka berdua tampak saling suka. Tapi, kenapa tidak membuat hubungan seperti remaja lainnya? Berpacaran begitu? Ah, Mario sendiri bingung dengan mereka berdua.          Dan setelah adanya kesimpulan bahwa Caca sama sekali tidak memiliki teman kecuali yang sudah disebutkan di atas, lalu cowok serba hitam dengan aura gelap itu siapa? Tidak mungkin debt collector 'kan? Atau mata-mata seperti di film hollywood yang pernah ia tonton? Semakin dipikirkan semakin kesal saja Mario dibuatnya.         Omong-omong tentang aura. Mario juga tidak mengerti sebelumnya, sejak kecil ia tidak pernah melihat hal yang seperti itu. Tetapi sejak mengenal Caca dan kejadian saat gadis itu menangis sesegukan dan memeluknya entah karna apa, ia hanya melakukan yang seharusnya seperti menenangkan gadis itu lalu menghiburnya dan setelahnya Caca berkata. "Terimakasih Mario, kamu baik sekali tidak seperti manusia lainnya." Lalu entah cahaya apa yang keluar dari tangan Caca yang menempel di telapak tangannya dan setelah itu ia tak sadarkan diri.         Keesokan harinya, ia berniat menanyakan kepada Caca tentang apa yang telah terjadi semalam. Namun, yang ia dapati malah gadis itu tampak hendak pergi dengan koper besar dan tampak terburu-buru. Belum sempat Mario bertanya kenapa, Om Tobi menahannya dan menjelaskan semua. Kata Om Tobi, Caca memberinya kekuatan meskipun terkadang dapat membuat penyesalan kedepannya tapi ia harus tetap senang karna tidak semua orang bisa sepertinya. Dan begitulah sampai Mario tidak pernah menanyakannya lagi pada Caca seolah tidak pernah terjadi apa-apa waktu itu. Fyi, Om Tobi adik dari Ibu Mario. Mario tinggal di sebelah rumah Caca hanya berdua dengan Om-nya.         Sorak tepuk tangan kembali bergema. Mario mengucapkan terimakasih lalu turun dari panggung dengan langkah cepat dan menarik Caca menjauh. Orang itu menatapnya tak suka, nyalang dan sinis secara bersamaan. Kemudian tanpa basa-basi lagi sosok itu pergi bersama asap gelap menuju celah ventilasi jendela. Dan yang anehnya, dari sekian banyak pengunjung di sana, tidak ada satu pun yang melihat bagaimana orang aneh tersebut menghilang dengan cara yang ganjil. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD