Boss?

2043 Words
"Akhirnya kita bertemu lagi," lanjut pria itu. Kay membatu, terdiam. Bibirnya tiba-tiba kelu, ditambah tubuhnya yang menegang. Kay tak menyangka jika ia akan bertemu dengan pria yang jadi kesalahan terbesarnya di masa lalu. Arsen! Haruskah Kay lari dari kenyataan ini? Sepertinya itu pilihan yang tepat. Kay refleks berdiri, hal itu membuat Arsen heran. "Ada apa?" "Sepertinya saya ...." Kay meremas ujung roknya, ia sangat gugup. "Saya tidak bisa bekerja di sini, maafkan saya. Permisi." Kay membungkukkan badan lalu berbalik melangkah menuju pintu. Belum sempat sampai pintu suara Arsen sudah menginterupsinya, membuat langkah Kay seketika terhenti. Terdengar langkah kaki Arsen yang mendekatinya. "Kamu lupa dengan perjanjiannya?" bisik Arsen di telinga Kay. Embusan napas pria itu membuat sekujur tubuhnya menegang. Seolah alarm bahaya tengah memperingatinya. Lari Kay, lari!! Atau kau akan mengulang kesalahan lagi. Dengan boss? Bahkan itu tak pernah terpikirkan oleh Kay sebelumnya. Tapi kakinya seolah berkhianat, ia tak bisa berkutik. Kay hanya bisa mematung di tempat, tanpa tahu apa yang harus ia lakukan. "Saya akan mengundurkan diri dan membayar ganti ruginya," ucap Kay terdengar berani, meski dalam hati dia merutuki ucapannya barusan. "Really?" "Iya." Kay tersenyum miris, kenapa ia justru terjebak oleh ucapannya sendiri. Uang sepeser pun ia tak ada, uang yang ia pakai selama ini hasil pemberian Laras. Lalu dari mana Kay akan membayar ganti ruginya? Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kay terus mengumpati diri sendiri di dalam hati. "Baca dulu, baru kamu bisa putuskan." Arsen memberikan proposal kontrak kerja itu kepada Kay. Setelah itu kembali duduk di kursinya. Arsen yakin, Kay akan berpikir ribuan kali untuk mengundurkan diri. Seberapa pun kayanya Kay tak akan mungkin bisa mengganti pinalti kontrak kerja itu. Benar saja, mata Kay melotot sempurna. Melihat angka nol sebanyak enam digit, sungguh di luar dugaan. Rasanya Kay ingin mati saja. Kay beralih melihat poin perjanjian yang ia lewatkan kemarin. "What?!" pekik Kay, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Betapa cerobohnya dia, melewatkan rincian sepenting ini. "Bapak jebak saya?" Kay berbalik berjalan menuju meja Arsen. "Tidak. Itu memang aturan untuk sekretaris pribadi saya dan kamu menyanggupinya," jawab Arsen tanpa merasa bersalah. Padahal ini memang permainannya. Arsen memang sengaja menjebak Kay, menjeratnya dengan perjanjian tak masuk akal. Sungguh permainan yang sangat licik dan sempurna. "Tapi saya tidak bisa tinggal satu atap dengan Anda? Saya juga tidak sudi harus mengurus Anda layaknya seorang istri, saya sekretaris Anda bukan istri Anda!" Napas Kay memburu, ia tak lagi bisa mengontrol emosi yang menggebu. Pria di depannya ini benar-benar manusia tidak tahu diri. Bisa-bisanya dia menjerat Kay dengan perjanjian konyol. Tinggal satu atap? Boss bebas melakukan apa pun pada sekretarisnya dan sekretaris tidak  boleh menolak apalagi protes! Berperilaku layaknya pasangan suami istri! Sebenarnya apa yang ada di otak atasannya itu? Kay tidak habis pikir, kenapa ia harus dipertemukan dengan bos gila macam Arsen! Ini sangat gila! Kay frustasi baru melihat tiga poin pertama. "Kalo begitu ayo KUA," ucap Arsen. Kay melotot, bosnya memang benar-benar tidak waras. Semudah itu dia mengajak seseorang ke KUA. Apa dia tidak tahu dengan arti ucapannya barusan? "Anda sungguh gila!" pekik Kay, emosinya tak lagi terkontrol. "Hanya demi kepuasan, Anda semudah itu mempermainkan sebuah pernikahan!" Kay berdecak, tak mampu lagi mengerti arah pikiran bosnya. "Kenapa? Bukankah kita sudah pernah melakukannya?" Arsen berdiri, mendekati Kay. Apa yang dia ucapkan? Kay meremas roknya, melampiasakan segala emosi yang menggebu-gebu di d**a. Rasanya dia ingin mencekik Arsen saat ini. "Jangan bahas masa lalu, saya dan Anda hanya kesalahan waktu itu. Jangan harap————" Mata Kay mengerjap. Sial. Arsen membungkam mulut Kay dengan bibirnya. Meraup rakus bibir sensual Kay. Kali ini Kay benar-benar dalam bahaya! Kyaaaa!! Siapa pun tolong singkirkan orang gila ini dari hadapan gue!! ————— Kay menggosok-gosok bibirnya, ia tak menyangka Arsen akan selancang itu menciumnya tanpa permisi. Meski Kay juga sempat menikmatinya sesaat, betapa hebatnya pria itu membuat Kay melayang setiap kali menerima sentuhan  bibirnya. Shit!! Kay memukul kepalanya. "Bodoh!" Kay merutuki pikiran gilanya. Apa-apaan, harusnya dia marah bukannya pasrah. Mungkin jika tidak ada yang masuk tadi, entah bagaimana nasib Kay. Mungkin Arsen akan bertindak semakin jauh padanya. Kay mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menatap pantulan diri di depan cermin. Sungguh mengenaskan, riasan wajahnya sudah pudar terbasuh air. Perhatian Kay teralihkan saat suara ponselnya berbunyi nyaring, ia segera mengangkat panggilan dari Laras. "Halo." "Bagaimana interview-nya, lo diterima kan?" Kay mengembuskan napas kasar, hal itu terdengar oleh Laras. "Kenapa? Apa ada masalah?" "Ras, apa lo punya uang lima milyar?" tanya Kay, meski Kay yakin jawabannya tidak. "Tentu saja, tidak. Lo pikir gue rentenir atau mafia tanah. Kalo gue punya uang segitu banyaknya, gue gak mau capek-capek kerja ...." Sudah Kay duga, betapa bodohnya dia memberikan pertanyaan itu pada Laras, yang ada wanita itu akan berceloteh panjang lebar ke sana-sini dan jujur Kay jengah mendengarnya. "Ras, sorry." Kay memotong ucapan Laras yang masih terus berceloteh. "Udah dulu ya, bos gue manggil." Kay terpaksa berbohong. "Oke, nanti malem lo kabarin gue hasilnya oke. Bye." "Bye," ucap Kay sebelum mematikan sambungan telepon. Kay menghela napas panjang. Ke mana Kay harus mencari uang sebanyak itu? Apa dia harus jual ginjal dulu, atau jual keperawanan. Kay mendengkus, dia saja sudah tidak perawan! Kay segera merapikan penampilannya, saat melihat pesan masuk dari pak Arya. Orang itu menyuruhnya untuk segera ke ruangannya. Kay sudah memoles kembali wajahnya dengan make-up, ia merapikan pakaiannya lalu berjalan keluar toilet. Sepanjang perjalanan, Kay terus menunduk. Pasalnya semua karyawan di kantor ini terus menatapnya, memberikan tatapan yang tak bisa Kay artikan. "Apa itu sekretaris pak Arsen yang baru?" tanya seorang wanita, ia memutar kursinya menghadap teman yang duduk di belakangnya. "Sepertinya iya," jawab yang lain. "Wah cakep banget, kalo saingannya sebening itu jelas kalah lah, Kita-kita yang muka kentang gini," celetuk wanita yang baru datang. "Gue denger, dia mantannya pak Arsen," sahut wanita lainnya. "Serius, katanya si. Tapi info ini Valid." Kay mengembuskan napasnya, entah kenapa ia merasa tengah di pergunjingkan. Melihat beberapa karyawan yang tengah berkumpul terus melirik ke arahnya. Kay meneliti penampilannya, mungkin karena roknya yang terlalu pendek. Harusnya memang Kay memakai celana kerja saja tadi. Kay menarik napas dengan sekali hentakan ia mengangkat tangannya mengetuk pintu ruangan pak Arya selaku asisten Arsen. Setelah mendapat sahutan dari dalam Kay segera masuk. Ia menurut saat pak Arya menyuruhnya duduk. Kay tampak gusar melihat tatapan pak Arya kepadanya. "Jadi, bagaimana keputusan kamu?" tanya pak Arya. Kay berpikir sejenak, ia tak punya pilihan lain selain menerima pekerjaan itu. Lagi pula dia juga tak mungkin membayar uang pinalti yang  begitu besar. "Em ...." Kay tampak ragu, ia gusar sendiri. "Ada apa?" Pak Arya memicingkan matanya. Menatap heran sikap Kay. Gimana nih? Kay tampak bimbang, haruskah dia mengutarakan keinginannya? Sepertinya tidak apa-apa, siapa tahu pak Arya bisa membantunya kan, mengingat pria itu orang kepercayaan Arsen. Kay menarik napas kuat-kuat, mengembuskannya secara perlahan. Ia mengumpulkan keberaniannya, sebelum mulai berkata, "Apa tidak bisa diganti Pak poin-poinya, atau paling gak kasih saya keringanganan. Jujur saya tidak bisa jika harus melayani pak Arsen layaknya seorang istri, karena kami bukan pasangan suami istri jadi mustahil kami melakukan ...." Kay menggantungkan ucapannya, terlalu kelu bibirnya harus memperjelas hal tersebut. Ia harap pak Arya paham. "Maksud kamu?" Kay mendengkus, kenapa pria di depannya ini harus pura-pura tak paham. Tidak mungkin kan kalau Kay menjelaskan maksud yang sebenarnya. "Maksud saya ...." s**t. Kay merutuki mulutnya. Ia kembali merangkai kata yang pas. "Saya gak mungkin tidur dengan pak Arsen," ucap Kay dengan napas menggebu. Awalnya pak Arya terkejut, tapi setelahnya ia justru tertawa terbahak-bahak. Hal itu jelas membuat Kay mengernyitkan dahinya, bingung dengan reaksi pak Arya. Memangnya ada yang lucu? "Kenapa kamu berpikiran sejauh itu?"  tanya pak Arya, setelah tawanya reda. Mungkin baginya saat ini Kay terlihat sangat konyol. Terlihat jelas jika pria itu menahan diri agar tidak tertawa. "Ya, Bapak lihat saja sendiri di poin perjanjian. Tinggal satu atap, melayani selayaknya seorang istri dan saya tidak bisa," jawab Kay, sedikit kesal karena pak Arya tampak menganggap hal ini lelucon. Apa dia tidak tahu jika bagi Kay ini suatu bentuk pelecehan? Haruskah Kay melapor ke komnas HAM atau lemabaga perlindungan anak dan wanita? Jelas tidak mungkin, Kay bukanlah korban pelecehan. Dia sendiri yang masuk suka rela ke kandang buaya yang sedang lapar. "Oh itu, bukannya kamu gak punya tempat tinggal?" "Bapak menyelidiki saya?" Kay melebarkan matanya. "Tentu saja tidak, kurang kerjaan sekali saya. Kamu sendiri yang jawab waktu interview." Kay memejamkan mata, merutuki mulut sialannya. Rasanya sangat malu, ingin sekali Kay mengubur diri hidup-hidup. Ia tak berani mengangkat wajahnya untuk sekedar bersitatap dengan pak Arya. "Saya jelaskan biar kamu gak salah paham. Untuk masalah tinggal satu atap, sebenarnya itu untuk mempermudah kamu. Secara kamu kan harus menyiapkan semua keperluan pak Arsen dan tidak mungkin kamu harus bolak balik ke apartemen yang ada waktunya kebuang di jalan. Pak Arsen sangat mengutamakan waktu, you know?" Kay tampak meresapi setiap kata yang terlontar dari mulut pak Arya, memang benar yang diucapkan pria itu. Dia mana keburu jika harus berangkat dari apartemen ke rumah Arsen jelas itu akan sangat memakan waktu. "Kalau masalah melayani, itu kan memang tugas kamu." "Hah?" Kay melongo mendengar jawaban pak Arya. Pak Arya mengembuskan napas kasar, ia semakin kesal kenapa Kay ini tidak cepat tanggap dengan ucapannya. Padahal ia sudah lelah jika harus menjelaskan panjang lebar. "Menyiapkan air hangat, pakaian kerja, memakaikan dasi sampai memasak untuk sarapan dan makan malam. Memastikan waktu makan pak Arsen dan kesehatan beliau, itu semua tugas kamu dan semua itu memang seperti tugas istri pada umumnya bukan?" Kay terdiam, lagi-lagi dia membenarkan ucapan pak Arya. Apa dia memang terlalu berpikir jauh dan negatif thinking pada  Arsen? Tidak, ini bukan salahnya, suruh siapa mereka menulis dengan kata ambihu seprti itu. "Tapi, kalo kamu mau melakukan tugas yang lain itu si beda lagi ceritanya." Kay mendengkus, kenapa ucapan pak Arya seolah mengarah ke sana. Menyebalkan! "Jadi, bagaimana?" tanya pak Arya. Kay tak langsung menjawab, dia tampak berpikir sejenak. Menimbang-nimbang pilihan keputusan yang tepat agar tidak menyesal dikemudian hari. "Kamu akan di-training  selama tiga bulan, kalau kamu lolos kamu bisa ajukan keringanan atau perubahan kontrak kerja dengan catatan kamu harus bekerja dengan baik dan gak punya catatan buruk sama sekali." Mendengar penuturan pak Arya, Kay langsung bersemangat. Tak ada salahnya mencoba, setidaknya selepas tiga bulan ia bisa mengajukan perubahan isi kontrak kerja. Dia akan bebas dari jeratan Arsen. "Baik Pak, saya mau," jawab Kay pada akhirnya. Ia berharap keputusannya kali ini benar, semoga saja tidak akan menimbulkan malapetaka. "Oke, kalau begitu kamu bisa pulang. Kamu mulai kerja lagi besok." Kay mengangguk, ia mengulas senyum lebar. "Terimakasih Pak, kalau begitu saya permisi." Kay pun pamit undur diri. Selepas kepergian Kay, Arya langsung menyandarkan punggungnya di kursi. Lelah juga harus bersikap formal, ia terbiasa tidak formal jika dengan Arsen. Ya, karena mereka memang sahabatan makanya Arya bisa bersikap kurang ajar pada atasannya. Baru saja mata Arya terpejam, Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka lebar menimbulkan  suara gaduh di gendang telinga Arya. "Bagaimana? Dia mau kan?" Arya membuka matanya, mencebikkan  bibirnya saat melihat sosok Arsen yang sudah duduk di kursi depannya. Panjang umur juga dia, batin Arya. "Segitu pentingnya ya, sampe lo nyempetin ke ruangan gue cuma buat nanyain hasilnya?" cibir Arya. Arsen mendengkus. Sahabatnya ini terkadang memang menyebalkan. Padahal ia tahu bagaimana gilanya Arsen mencari-cari keberadaan wanita itu. Bahkan ia sampai menyuruh agen intelejen untuk mencari Kay. "Dia mau dan lo harus traktir gue malam ini," ucap Arya. "Serius, emang lo sahabat terbaik gue. Yes akhirnya gue bakal nikah sama Kay," seru Arsen dengan semangatnya. "Nikah?" beo Arya, merusak kebahagian Arsen. "Iya, nikah. Lo bilang gitu kan tadi?" Arya menggeleng, tatapannya tampak bingung. "Kyaaa!! Gimana si lo?" hardik Arsen. Arya mendengkus, sahabatnya itu kembali ke mode menyebalkan. "Kalem bro, gak usah buru-buru. Yang ada tuh cewek kabur, gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba lo ajakin ke KUA." Arsen berdecak, ia terlanjur kesal sampai enggan mendengar penjelasan Arya. Padahal tadi Arsen sudah sangat kegirangan karena ia pikir Kay setuju untuk menikah dengannya. Aissh, gagal dong dia menikmati tubuh mulus Kay. Setiap malam saja Arsen sering memimpikan Kay berada di atas tubuhnya dan semua itu tidak akan terjadi karena si Arya sahabatnya. Menyebalkan!! "Kasih waktu dia, gue udah yakinkan dia buat bertahan selama tiga bulan dan tugas lo yakinkan dia buat mau jadi bini lo, kelar kan?" ujar Arya. Arsen tampak memikirkan ide Arya barusan, memang bagus. Ia jadi bisa modusin Kay selama tiga bulan, sampai akhirnya wanita itu akan luluh dengan sendirinya dan mau menikah dengannya. "Oke." Arsen menyeringai. Lo gak akan bisa lepas dari gue Kayra. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD