PART 2

2234 Words
Panthana sedang berada di dalam toilet sekolahnya saat ini, dia begitu jengkel setelah kejadian tadi di kelasnya. Bagai terjatuh tertimpa tangga pula, setelah dia disuruh mengerjakan soal di papan tulis oleh Pak Agus gara-gara teriakannya yang membuat sang guru salah paham, dia pun harus menerima omelan dari Pak Agus karena ketahuan tidak memperhatikan pelajaran yang dijelaskannya. Dia tidak bisa menjawab soal di papan tulis itu.  Begitu pelajaran Fisika selesai, dia bergegas pergi ke toilet pria untuk membasuh wajahnya berharap air dingin mampu menenangkan diri dari amarahnya. Alasan lain dia pergi ke toilet karena ingin buang air kecil.  Dia telah selesai membasuh wajahnya dan kini dia bermaksud untuk melakukan aktivitas buang air kecilnya. Dia hendak menurunkan resleting celananya namun seketika dia urungkan ketika mengingat sesuatu. Dia menggulirkan bola matanya ke kanan dan kirinya, lalu ke depan dan belakangnya memastikan bahwa hantu gadis SMA yang selalu mengikutinya tidak ada di dekatnya. Meski dia hantu tetap saja dia wanita dan jelas Panthana tidak mau dia melihat aktivitas pribadinya itu.  Kini dia merasa lega karena telah menyelesaikan aktivitas pribadinya tanpa ada gangguan dari sang hantu. Di dalam toilet juga tidak ada siapapun, hanya ada dia seorang disana.  “Thana... Thana... Thana...”  Seketika Panthana tertegun, dia yakin sekali telinganya mendengar suara seseorang memanggil namanya. Suara seorang wanita yang terdengar tidak asing di telinganya, pasalnya sudah dua hari ini suara itu terus terdengar di telinganya. Ya... dia yakin sekali suara itu milik hantu gadis SMA yang menyebalkan menurutnya.  Dengan cepat Panthana menolehkan kepalanya, sekali lagi kedua bola matanya bergulir menatap ke sekeliling ruangan toilet. Dia menatap ke arah kanan dan kirinya, lalu ke arah depan dan belakangnya. Namun, sosok sang hantu tidak terlihat dimana pun.  “Haah... gara-gara hantu sialan itu, gue jadi sering halusinasi gini. Dia gak ada di sini tapi suaranya tetep aja kedengeran,” gumamnya, entah bicara pada siapa.  “Kamu gak halusinasi, aku memang ada disini. Di atas... aku ada di atas.”  Entah mengapa Panthana tiba-tiba merasa sangat gugup dan panik, bahkan dia kesulitan hanya sekadar menelan salivanya sendiri. Dengan gerakan perlahan dia mendongak menatap ke arah langit-langit. Terlalu terkejut hingga tanpa sadar satu kakinya tersangkut pada kakinya yang lain sehingga dia pun jatuh terduduk dengan tidak elitnya.  Bagaimana tidak terkejut, dia melihat hantu gadis itu tengah merangkak di langit-langit toilet bak seekor laba-laba. Wajahnya yang pucat dengan kedua matanya yang sedang melotot adalah pemandangan mengerikan yang sedang ditatap Panthana.  “L-Lo sejak kapan ada di situ?” tanya Panthana, panik. “Sejak kamu masuk ke dalam toilet.” “B-Berarti lo lihat...” “Ya, aku lihat waktu kamu lagi buang air kecil,” sela hantu itu, seraya memperlihatkan senyumannya yang entah mengapa terlihat menyeramkan bagi Panthana. “Selain berisik dan pengganggu ternyata lo juga tukang intip ya. Dasar hantu m***m,” gerutu Panthana semakin jengkel dengan tingkah laku sang hantu. “Aku sudah terbiasa kok lihat yang begituan. Di toilet tempat kita bertemu, aku sudah sering melihat anak laki-laki sepertimu sedang buang air kecil,” jawab sang hantu, masih memperlihatkan senyuman horornya.  Wajah Panthana merona saat ini, tentu dia sedang menahan mati-matian rasa malunya. Walau dilihat oleh hantu tetap saja dia tidak rela aset pribadi miliknya dilihat orang lain. Dia bergegas bangun dan hendak pergi dari toilet itu secepatnya. Dia harus kembali ke kelasnya sebelum pelajaran selanjutnya dimulai.  Akan tetapi, belum sempat dia melewati pintu, hantu itu tiba-tiba sudah melayang di hadapannya. Seolah dia sengaja menghadang jalan Panthana.  “Mau apa lo, cepat minggir. Gue mau balik ke kelas!” titahnya dengan suara ketus. “Tolong aku, Thana. Please, bantu aku,” pinta sang hantu, namun seolah tak punya hati, Panthana kembali melanjutkan langkahnya. Dia berjalan tegas menembus tubuh sang hantu yang memang transfaran dan dengan mudahnya bisa dia tembus.  Di dalam kelasnya, rupanya sudah ada seorang guru sedang mengajar. Bu Betty nama gurunya, dan dia tengah mengajar pelajaran bahasa inggris. Sama halnya dengan tadi, saat ini pun Panthana tak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran karena hantu gadis itu tak hentinya berbicara padanya. Dia ingin sekali melempar hantu itu sejauh mungkin darinya, namun dia tahu keinginannya itu sangat mustahil mengingat tubuh sang hantu tidak bisa disentuhnya.  “Lo kenapa? Gak fokus banget kayaknya?” Danu yang duduk di samping Panthana tampaknya menyadari sikap aneh dari teman sebangkunya itu. memang wajar jika Danu merasa sikap Panthana sangat aneh, pasalnya sejak tadi dia terus mengembuskan nafas lelah, sesekali dia menggerutu pelan hingga Danu tidak bisa mendengar apa yang digerutukan oleh teman sebangku sekaligus kapten tim basketnya itu.  Bukan hanya itu saja keanehan Panthana dalam pandangan Danu, pemuda itu sejak tadi terus menggelengkan kepalanya seraya sesekali menutupi kedua telinganya seolah tengah mengalami gangguan pendengaran. Diam-diam Danu mulai mengkhawatirkan keadaan Panthana.  “Lo kalau kurang sehat mendingan izin pulang aja,” sarannya sambil berbisik, khawatir Bu Betty yang sedang menulis di papan tulis akan mendengarnya. “Gue baik-baik aja kok,” sahut Panthana seraya memperlihatkan cengirannya. “Tapi dari tadi gue perhatiin wajah lo kayak yang lagi kesel gitu. Terus lo nutupin telinga mulu, telinga lo lagi sakit?” Danu mengutarakan kekhawatirannya yang lagi-lagi hanya ditanggapi Panthana dengan cengirannya. “Gue nggak apa-apa, serius. Lo gak usah peduliin gue. Mendingan lo perhatiin aja pelajarannya,” ujar Panthana, tampak serius. Danu pun akhirnya mengangguk dan memilih memfokuskan tatapannya ke arah papan tulis. Meski berusaha konsentrasi pada pelajaran tapi tetap saja Danu memang yakin bahwa Panthana sangat aneh. Sekarang dia melihat beberapa kali Panthana melotot ke arah sampingnya seolah dia sedang kesal pada seseorang, padahal Danu tidak melihat siapapun di samping Panthana. Pemuda itu juga memegangi tengkuknya beberapa kali seraya mulutnya yang berdecak sebal. Sungguh benak Danu dipenuhi banyak tanda tanya saat ini. Dia bertekad jika bertemu dengan teman-teman sekaligus rekan di tim basketnya nanti, dia akan menceritakan semua keanehan Panthana hari ini.  Sepulang sekolah, Panthana bergegas pulang ke rumahnya. Kepalanya terasa pusing karena seharian ini hantu gadis itu terus mengoceh di dekat telinganya. Dia sudah muak dan tidak tahan menghadapi hantu menyebalkan itu. Panthana bahkan izin bolos latihan basket, dia juga menolak secara halus ajakan Dian yang memintanya menemaninya pergi ke suatu tempat.  Kini dia sudah tiba di kamarnya, dia kunci pintu kamarnya agar ibu dan adik perempuannya tidak masuk ke dalam. Ada sesuatu yang harus dia tuntaskan saat ini juga, tidak lain merupakan urusannya dengan sang hantu. Tentu hantu itu mengikutinya sampai ke rumahnya bahkan saat ini hantu itu tengah melayang di depannya.  “Jadi, sebenarnya mau lo apa sih? Hidup gue jadi gak tenang semenjak ketemu sama lo. Di kelas gue jadi gak bisa fokus merhatiin pelajaran. Bisa gak sih lo pergi dan jangan pernah muncul lagi di depan gue?” ujar Panthana dengan ketus, dia sudah tak sanggup lagi menahan rasa jengkelnya. “Tolong aku, aku tidak akan mengganggumu lagi kalau kamu mau bantuin aku,” sahut sang hantu. “Gue udah bisa nebak apa yang lo minta dari gue. Lo pasti nyuruh gue ngelakuin sesuatu yang belum sempet lo lakuin waktu lo masih hidup, kan?” tanya Panthana, geram. Dia sudah bisa menebak alasan hantu itu terus mengikutinya dan merengek meminta bantuannya. Sebenarnya dia enggan sekali membantunya, toh dia yakin permintaan hantu itu akan sangat merepotkannya.  “Bukan begitu. Aku pengen minta tolong sama kamu buat bantu aku nyari tahu siapa aku, alamat rumahku, alasan aku meninggal dan jadi hantu gentayangan.” “Memangnya lo gak inget siapa diri lo?” Panthana berucap seraya membelalakan kedua matanya. Hantu itu menggeleng, membuat Panthana semakin melongo. “Tapi lo inget kan nama lo?” Hantu itu kembali menggeleng. “Aku nggak inget apa-apa. Tiba-tiba aja aku gentayangan di sekolah itu. Awalnya, aku juga nggak tahu kalau aku ini hantu. Aku mulai sadar aku ini hantu karena gak ada yang bisa ngeliat aku. Terus ada hantu di sekolah itu yang ngasih tahu kalau aku ini hantu sama kayak dia.” Hantu itu menyahut dengan wajah sendunya. Sedangkan Panthana masih melongo nyaris tak percaya mendengar pengakuannya.  “Jadi lo amnesia? Lo nggak inget apa-apa?” tanya Panthana, sekali lagi memastikan. Ketika hantu itu mengangguk lagi, Panthana tak sanggup lagi menahan tawanya. Alhasil dia kini sedang tertawa dengan lantangnya. “Kenapa kamu ketawa?” “Lucu ... hahaha ... lucu aja. Kok bisa-bisanya ada hantu yang amnesia,” sahut Panthana, dan kembali dia tertawa lantang seolah dia begitu menikmati penderitaan sang hantu. “Tapi aku serius, aku butuh bantuan kamu.”   Panthana berdeham beberapa kali untuk meredakan tawanya. Lalu kembali menatap tajam pada hantu gadis SMA yang masih setia melayang di depannya.  “Dari kapan lo gentayangan di sekolah itu?” Kali ini Panthana bertanya dengan serius, dia juga tidak berbicara dengan nada ketus lagi. “Udah lama, tapi aku juga gak tahu udah berapa tahun aku gentayangan di sana.” Panthana memutar bola matanya malas, seperti dugaannya hantu ini memang merepotkan. Dia juga bodoh dan menyebalkan.  “Terus kenapa lo minta bantuan sama gue? Kenapa lo gak minta bantuan sama orang lain aja?” “Karena cuma kamu yang bisa liat aku. Aku udah sering nyari-nyari orang yang bisa liat aku tapi gak pernah berhasil. Cuma kamu yang bisa bantu aku.” Wajah hantu itu terlihat memelas, sebenarnya Panthana mulai iba melihatnya. Tapi di sisi lain dia juga enggan berhubungan lebih jauh dengan hantu itu. Hidupnya pasti semakin kacau jika dia bersedia membantunya.  “Lo kan bisa minta bantuan sama hantu-hantu yang gentayangan di sekolah itu?” saran Panthana, ketika tiba-tiba ide ini terlintas di benaknya. Dia bertekad untuk membujuk hantu itu agar meminta bantuan orang lain saja meski pada hantu lain sekalipun, yang penting jangan dia. “Nggak bisa, mereka punya urusan masing-masing. Lagian nggak semua hantu baik, ada juga hantu yang jahat. Sebenarnya aku udah gak tahan gentayangan di sekolah itu. Aku pengen cepet-cepet pergi ke alamku. Tapi...” “Tapi lo yakin baru bisa pergi kalau udah tahu identitas sama alasan lo meninggal, gitu, kan?” Hantu itu mengangguk, mengiyakan perkataan Panthana. “Tapi gimana mau nyari tahu identitas lo? Nama aja, lo lupa?” “Makanya bantu aku nyari tahu. Please, Thana, cuma kamu yang bisa bantuin aku,” pinta hantu itu untuk yang kesekian kalinya.  Panthana terdiam seolah sedang menimang-nimang keputusan apa yang harus diambilnya. Sesekali ekor matanya melirik ke arah sang hantu, bisa dilihatnya ekspresi wajah hantu itu yang harap-harap cemas. Hantu itu tampak gelisah menantikan jawaban Panthana.  “Kamu mau bantu aku, kan?” “Hmm, nggak. Sorry ya, gue gak bisa bantuin lo. Mendingan lo pergi aja, jangan ngikutin gue lagi. Dengan cara apa pun lo bujuk gue, gue gak bakalan pernah mau bantuin lo,” tolak Panthana mentah-mentah. Katakanlah dirinya jahat, Panthana tidak peduli. Yang Panthana tahu dia tidak mau berurusan lagi dengan hantu berisik itu.  “Thana, kamu tega banget. Cuma kamu yang bisa bantuin aku.” Hantu itu masih setia membujuk Panthana meski dia terus diabaikan karena Panthana tengah membaringkan tubuhnya di kasur empuknya seraya dia mendengarkan musik dari handphonenya dengan menggunakan headset yang menutupi telinganya.  Tampaknya tindakan Panthana kali ini membuat sang hantu mulai geram. Pasalnya handphone yang Panthana letakkan di samping bantalnya tiba-tiba terlempar jauh seolah ada yang sengaja melemparnya.  “Heeh... lo ngapain sih, pasti lo kan yang lempar handphone gue?!” bentak Panthana murka pada sang hantu. Hantu itu pun tak kalah murkanya, dia sedang memelototi Panthana hingga bola matanya terlihat nyaris keluar dari kelopaknya. “Gue gak takut ya sama lo. Emang lo pikir lo siapa, bisa ancam-ancam gue? Gue gak takut sama hantu pemaksa macam lo,” ujar Panthana, menantang.  Namun, pada akhirnya Panthana hanya bisa diam membeku di atas ranjang ketika benda-benda di kamarnya melayang di udara. Buku-buku pelajarannya beterbangan di udara, lampu di atas meja bahkan kursi pun ikut beterbangan di udara.  “Eh... eh... jangan bikin kamar gue berantakan. Ok... Ok... kita omongin lagi baik-baik. Please, turunin barang-barang gue,” pinta Panthana, berusaha membujuk. Jujur dia mulai ketakutan saat ini. Rupanya jika sudah marah, hantu itu cukup menyeramkan. Seketika benda-benda yang melayang di udara berjatuhan satu per satu ke lantai hingga menimbulkan suara gedebuk yang kencang.  Panthana menatap horor ke arah pintu kamarnya, khawatir ada orang yang mengetuk pintu kamarnya karena mendengar suara ribut-ribut dari kamarnya. Dia hembuskan napasnya lega ketika tak terdengar ketukan dari pintu kamarnya. Jika dipikir-pikir, rumahnya memang sepi sekarang. Ayahnya memang jarang pulang karena sedang dinas di Thailand, ibunya masih belum pulang bekerja sedangkan adik perempuannya sepertinya belum pulang juga. Hanya ada beberapa pelayan di rumahnya dan tampaknya mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka hingga tidak mendengar suara ribut di kamar putra tertua majikan mereka.  Kini tatapannya kembali tertuju pada sang hantu yang masih memelototinya.  “Begini ya, gue yakin suatu hari nanti bakalan ada orang lain yang bisa liat lo, terus ikhlas mau bantuin lo. Jadi lo hanya perlu bersabar dikit lagi jadi hantu gentayangan,” bujuk Panthana seraya memperlihatkan kekehannya. Hantu itu terlihat kembali dipenuhi amarah, pasalnya tiba-tiba angin berhembus kencang di kamar Panthana hingga menerbangkan rambut panjang sang hantu.  “Lagian kalau gue bantuin lo, apa untungnya buat gue?” ujar Panthana. Bukannya dia perhitungan tapi dia sadar betul jika dia bersedia membantu hantu itu maka hidupnya benar-benar akan berubah drastis. Tak akan setenang dan sedamai dulu lagi. Dia harus siap setiap hari mendengar ocehan dari hantu berisik itu. Dia merasa harus mendapat imbalan dari pengorbanannya, toh dia juga sadar tidak punya pilihan lain selain membantu sang hantu menyelesaikan masalahnya.  “Aku bisa bantu kamu dapetin cewek yang kamu suka,” sahut hantu itu akhirnya, sepertinya kata-kata Panthana tadi sukses meredakan amarahnya karena hantu itu kini kembali memperlihatkan senyumannya. “Inggrid, maksud lo?” Sang hantu mengangguk, mengiyakan. “Emangnya lo bisa apa buat bantuin gue dapetin Inggrid?” Panthana memicingkan kedua matanya, menatap tak percaya pada tawaran sang hantu. “Aku bakalan buktiin kalau aku bener-bener bisa bantu kamu dapetin dia.” “Oh iya, coba buktiin!” tantang Panthana, penuh keyakinan. “Baiklah, tunggu aja. Aku pasti buktiin ke kamu, aku bener-bener bisa bantuin kamu dapetin dia.” Setelah berujar seperti itu, sang hantu melayang melewati jendela kamar Panthana yang terbuka.  Panthana mengembuskan napas lega karena akhirnya berhasil mengusir hantu menyebalkan itu, meski dia yakin hantu itu akan mendatanginya lagi nanti. Setidaknya untuk sekarang, dia bisa kembali menikmati keheningan tanpa perlu mendengar suara berisik sang hantu.  Mungkin dia bisa mendapatkan ketenangannya untuk sementara ini, namun hal itu belum cukup membuat hatinya damai. Dia menggeram kesal menatap keadaan kamarnya yang berantakan karena ulah sang hantu.  “Hantu sialan!” gerutunya kesal seraya mulai merapikan kembali barang-barang miliknya yang bergeletakan di lantai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD