PART 3

2198 Words
Seharian ini Inggrid merasa bulu kuduknya merinding, ada hawa dingin yang seolah berdiri di belakangnya. Dia juga merasa ada seseorang yang terus memperhatikan dan mengikutinya. Namun ketika dia berbalik ke belakang, tidak ada siapapun yang dilihatnya. Keanehan ini terjadi sejak dia keluar dari kelasnya, setelah pelajaran hari ini selesai.  Di sepanjang perjalanan pulang, dia mulai merasakan dirinya diikuti dan diperhatikan. Entahlah... Inggrid merasa ketakutan. Bahkan saat ini meski dia sedang berada di dalam kamarnya, dia terus memegangi tengkuknya karena merasa ada seseorang yang terus meniupnya.  “Uuh gue kenapa ya? Kok kayak ada yang ngikutin,” gumamnya seraya menggulirkan bola matanya menatap ke sekeliling kamarnya. “Haah... mungkin perasaan gue aja,” tambahnya. Lalu dia beranjak bangun dari ranjangnya karena sejak tadi dia tengah berbaring santai di atas kasur empuknya.  Dia melangkah mendekati meja belajarnya, melihat jadwal mata pelajaran untuk besok.  “Duuh... gue lupa besok kan jam pertama pelajaran matematika. Kayaknya ada tugas deh.” Dia kembali bergumam, lalu mulai memeriksa buku matematikanya. Dia menepuk dahinya dramatis ketika menyadari tugasnya memang belum dikerjakan. Dengan gerakan terburu-buru, dia duduk di kursi dan mulai mengerjakan tugas itu.  Tanpa sepengetahuan Inggrid, sebenarnya firasat yang merasakan dirinya terus diperhatikan dan diikuti, memang lah benar. Saat ini ada sosok hantu gadis SMA yang tengah memperhatikannya. Hantu itu melayang tepat di belakang Inggrid. Sesekali dia menjahili Inggrid dengan meniup tengkuknya, seketika membuat Inggrid menoleh ke belakang dan memegangi tengkuknya yang tiba-tiba merinding.  “Apa jangan-jangan ada hantu, ya? Kok rasanya merinding terus,” gumamnya untuk yang kesekian kalinya. Tapi pada akhirnya dia tetap melanjutkan mengerjakan tugasnya hingga selesai. Tepat pukul 10 malam, dia pun memutuskan untuk tidur. Meskipun entah mengapa dia merasa kesulitan untuk memejamkan matanya. Hawa di kamarnya begitu dingin dia rasakan. Bahkan dia yang biasanya mematikan lampu kamarnya ketika tidur tapi malam ini dia memutuskan untuk tidur dengan keadaan lampu menyala.  Sedangkan sang hantu kini tengah melayang seraya tersenyum melihat tingkah laku Inggrid yang menutupi sekujur tubuhnya hingga kepala dengan selimut. Entah mengapa dia senang sekali menjahili orang, menurutnya lucu membuat orang ketakutan karena ulahnya.  Hantu itu menatap ke arah meja, tepat ke arah buku matematika Inggrid yang tergeletak disana. Sebuah ide terlintas di benaknya. Tanpa perlu menyentuhnya, dia membuka laci meja. Kemudian memasukan buku matematika Inggrid ke dalam laci. Dia sengaja melakukannya agar Inggrid lupa membawa buku itu, padahal di jam pertama besok adalah pelajaran matematika dan ada tugas yang harus dikumpulkan. Hantu itu tertawa cekikikan namun sepertinya Inggrid yang sudah tertidur pulas tidak mendengarnya. Setelah itu sang hantu pun melayang pergi menembus jendela kamar Inggrid.   ***    Panthana tengah tertidur pulas di kamarnya. Dia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya ketika telinganya mendengar suara-suara ribut, seperti suara benda-benda jatuh. Dia pun bergegas bangun dan menggulirkan bola matanya menatap ke sekeliling kamarnya. Memastikan suara-suara ribut itu bukan berasal dari kamarnya.  “Kayaknya gue mimpi,” gumamnya, lalu bermaksud melanjutkan tidurnya. Namun, baru saja kepalanya menempel di bantal, dia tersentak kaget ketika suara itu kembali terdengar. Jika didengarkan dengan seksama, dia menebak suara itu berasal dari beberapa piring yang pecah. Memutuskan untuk memeriksa keadaan, dia pun bergegas melangkah meninggalkan kamarnya.  Suasana rumahnya sangat hening saat ini, wajar saja karena waktu menunjukan pukul 1 dini hari. Ibu dan adik perempuannya pasti tengah tertidur pulas saat ini. Sedangkan para pelayannya memang tidak ada yang menginap, mereka pulang setelah menyiapkan makan malam untuk Panthana dan keluarganya.  Dengan ragu-ragu, Panthana melangkah menuju dapur. Dia yakin suara tadi berasal dari dapur. Dia pun mengambil sebuah guci berukuran kecil yang dipajang di atas meja ruang tengah, dia bermaksud menggunakan guci itu jika seandainya ada maling yang masuk ke rumahnya. Dia bertekad akan memukul kepala maling dengan guci itu.  Kembali Panthana melangkah dengan mengendap-endap. Sepanjang perjalanannya menuju dapur, tak hentinya dia menatap sekeliling rumahnya, memastikan tidak ada orang yang sedang bersembunyi.  Ketika akhirnya dia tiba di dapur, kedua matanya terbelalak ketika menyaksikan pecahan piring berserakan di lantai. Ternyata perkiraannya benar, suara ribut tadi memang berasal dari dapur.  “Ck... kenapa piring-piringnya bisa jatuh?” gumamnya bertanya pada dirinya sendiri. Dia melangkah malas hendak membereskan serpihan piring.  “Thana... Thana... Thana...”  Terdengar suara seseorang yang memanggil namanya, dia pun seketika merasakan bulu kuduknya merinding. Dia teguk salivanya panik ketika suara yang lebih mirip suara bisikan itu kembali memanggil namanya.  “Thana... Thana... Thana...”  Dia yakin suara bisikan itu berasal dari atas kepalanya, lalu dengan gerakan patah-patah dia mendongak, dan...  “Wuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”  Teriaknya kencang sekali, ketika melihat sepasang kaki tengah menggantung tepat di atas kepalanya. Terlalu terkejut hingga membuat Panthana jatuh terduduk di lantai dapur yang dingin.  “Jangan ganggu gue, jangan ganggu !!!” Dia kembali berteriak seraya memejamkan matanya tak berani menatap entah sosok apapun yang sedang melayang-layang di atasnya.  “Thana, ini aku. Jangan takut.”  Suara yang terdengar kali ini tidak seperti bisikan melainkan suara seorang wanita yang mengajaknya bicara. Suara yang sudah tidak asing di telinganya. Dia pun bergegas membuka matanya dan betapa terkejutnya dia ketika wajah hantu gadis SMA yang beberapa hari ini selalu mengganggunya, kini tengah berada tepat di depan wajahnya hingga membuat wajah mereka nyaris bersentuhan.  “Wuaaaaaaaa!! Lo ngagetin gue aja. Mau bikin gue jantungan ya!!” bentak Panthana kesal setengah mati pada sang hantu. Namun hantu itu hanya terkekeh geli melihat tingkah laku Panthana.  “Lo ngapain datang lagi ke sini? Jadi lo yang jatuhin piring-piring?” tanya Panthana, masih bernada kesal.  “Thana lagi ngapain di dapur? Terus barusan lagi ngomong sama siapa?” Panthana memutar kepalanya menatap ke asal sumber suara. Seorang wanita berusia sekitar 40an, tengah berdiri di pintu dapur, menatap Panthana heran.  “Eh Mama, kok bangun?” “Nggak bangun gimana, mama denger suara kamu teriak-teriak. Kamu kenapa teriak-teriak terus barusan kamu lagi ngomong sama siapa?” tanya sang mama seraya menatap ke sekeliling dapur. Kedua matanya memelotot seperti hendak melompat keluar dari kelopaknya ketika menatap ke arah potongan piring pecah yang berserakan di lantai. Sedangkan Panthana kini tengah meneguk salivanya dengan susah payah karena sang mama sedang menatap horor ke arahnya.  “B-Bukan Thana yang jatohin piringnya. Beneran, Ma, bukan Thana,” sanggahnya cepat seraya menggeleng berkali-kali penuh semangat. “Kalau bukan kamu, terus siapa? Lagian ngapain kamu malam-malam begini ke dapur?” “Thana laper tadi, Ma,” sahut Panthana, panik dan gugup pasalnya dia sedang berbohong saat ini.  “Mama gak mau tahu ya, kamu harus beresin pecahan piringnya. Mama kan selalu ngajarin kamu supaya jadi orang yang bertanggungjawab. Kamu yang mecahin piringnya jadi kamu juga yang harus beresin,” ujar sang mama seraya bertolak pinggang. “Tapi bukan Thana yang jatohin piringnya.” Panthana masih saja mengelak, menyadari mamanya semakin melotot ke arahnya, akhirnya dia pun menghela napas panjang tampak pasrah menerima nasib buruknya malam ini.  “Iya deh, Ma, Thana beresin,” sahutnya, akhirnya mengaku kalah. “Beresin sampe bersih ya. Awas jangan ada serpihan piring yang ketinggalan.” “Iya, Ma, iya...” Mamanya hanya menggeleng lelah melihat Panthana yang kini mulai memunguti pecahan piring. Lalu dia beranjak pergi menuju kamarnya.  Selama membereskan pecahan piring, tak hentinya Panthana menatap kesal ke arah sang hantu, menurutnya semenjak bertemu dengan hantu menyebalkan itu, dia selalu tertimpa kesialan.  “Thana, bukan aku yang jatohin piringnya. Tadi ada hantu anak kecil di sini. Mau aku samperin tapi tiba-tiba dia marah terus jatohin piring-piringnya,” ujar sang hantu, membela diri. Namun, tentu saja Panthana tidak percaya, lagi pula memangnya ada maling yang mau mengaku. Itulah yang dipikirkan Panthana saat ini.  Setelah selesai membereskan lantai dapur dari pecahan piring, dia melangkah mantap kembali menuju kamarnya. Tentu saja sang hantu mengekorinya seraya mulutnya yang tak hentinya mengatakan bahwa bukan dia yang memecahkan piring.  Sesampainya di kamarnya, Panthana hendak merebahkan dirinya di ranjang. Dia ingin melanjutkan tidur lelapnya yang terganggu karena ulah hantu berisik di sampingnya. Ya... hantu itu tengah melayang di sampingnya saat ini.  “Thana, besok kamu ada pelajaran matematika, kan? Kamu udah ngerjain tugasnya, besok harus dikumpulin, kan?” Panthana mengernyitkan dahinya, dia heran kenapa hantu itu mengetahui tentang tugas matematika yang harus dikumpulkan besok.  “Kok lo tahu gue ada tugas matematika?” tanya Panthana, mengutarakan keheranannya. Namun bukannya menjawab, hantu itu justru sedang tersenyum manis saat ini. “Kamu mendingan sekarang salin tugas kamu itu di buku lain deh.” Lagi-lagi Panthana mengerutkan dahinya. ‘Hantu sialan ini memang udah gila!’ batinnya.  Panthana mengabaikannya, dia menutup tubuhnya dengan selimut dan berniat memejamkan matanya. Namun... hantu itu kembali berulah. Dia menerbangkan selimut yang dipakai Panthana, sukses membuat pemuda berusia 17 tahun menggeram marah.  “Lo itu maunya apa sih?!” bentaknya. “Kamu jangan tidur dulu. Cepetan salin tugas matematika kamu di buku lain.” “Ngapain gue salin tugasnya, toh udah gue masukin ke tas kok buku matematika gue?” “Kamu percaya deh sama aku. Kamu salin aja.” “Gue percaya lo, bisa-bisa gue jadi musrik,” sahut Panthana, dia benar-benar tidak peduli pada ucapan hantu aneh itu. “Aku serius Thana, kamu turutin aja. Kamu gak bakalan nyesel. Aku lagi berusaha buktiin ke kamu kalau aku beneran bisa bantu kamu dapetin Inggrid.”  Kali ini Panthana terdiam, dia tidak berminat menuruti hantu itu. Tapi mendengar nama Inggrid disebut-sebut olehnya akhirnya Panthana memutuskan untuk menuruti perkataan sang hantu untuk saat ini. Ingat, untuk kali ini saja dia mau menuruti perintah sang hantu.  Dengan malas, dia turun dari ranjangnya. Mengeluarkan buku matematikanya dan mulai menyalin tugasnya di buku lain. Sesekali dia menguap ketika sedang menulis, sebenarnya dia sudah mengantuk. Matanya berat dan ingin cepat terpejam.  “Udah beres, udah gue turutin mau lo. Sekarang jangan ganggu gue, gue mau tidur,” ucapnya, memperingatkan sang hantu agar berhenti mengganggunya. Hantu itu mengangguk seraya tersenyum manis padanya. Setelah itu Panthana bisa bernapas lega karena sang hantu benar-benar diam dan berhenti mengoceh.  Keesokan harinya...  Semua siswa berhamburan masuk ke kelas mereka begitu bel tanda pelajaran akan segera dimulai berbunyi. Inggrid tengah sibuk menggeledah isi tasnya saat ini. Dia panik karena tidak menemukan buku matematikanya.  “Lo kenapa?” tanya Dian, teman sebangku Inggrid yang heran melihat tingkah laku sahabatnya. “Buku matematika gue kayaknya ketinggalan deh. Tadi pagi gue gak liat bukunya di atas meja jadi gue kira udah gue masukin ke tas. Tapi ternyata gak ada.” Sahutnya masih sibuk menggeledah isi tasnya. “Duuh ... bahaya tuh, mana Bu Yana Killer banget lagi. Bisa-bisa lo diomelin kalau ketahuan nggak ngumpulin tugas.” Kata-kata Dian ini sukses membuat Inggrid semakin panik dan ketakutan. “Ya udah, lo salin aja tugas punya gue.” Dian berbaik hati menawarkan. Awalnya Inggrid berniat menerima tawaran baik sahabatnya, namun diurungkannya ketika dia melihat sang guru Killer yang bernama Bu Yana terlihat sedang berjalan menuju kelasnya.  “Gak bakalan sempet, liat tuh Bu Yana lagi jalan ke sini. Dia pasti tambah ngomelin gue kalau ketahuan gue nyalin tugas punya lo.” Inggrid mendesah lelah, dia tidak punya pilihan lain selain ikhlas dan pasrah menerima omelan Bu Yana nanti.  “Dian, Inggrid, kalian kenapa? Kayak lagi panik gitu.” Seketika atensi Inggrid dan Dian beralih menatap ke arah sosok pemilik suara yang kini sedang berdiri menjulang tinggi di hadapan mereka. Sosok pemilik suara itu adalah Panthana. Dian tersenyum seraya merona karena didatangi oleh pacarnya sedangkan Inggrid menatap heran ke arah Panthana, menurutnya tumben pemuda itu mau datang ke bangkunya. Ya meski dia tahu Panthana sekarang berstatus sebagai pacar teman sebangkunya.  “Inggrid tuh, buku matematikanya ketinggalan. Mana Bu Yana udah mau ke sini lagi.” Dian yang menyahut karena Inggrid masih terdiam menatap ke arah Panthana seolah belum sembuh dari rasa herannya. “Oh, ya udah pake aja buku gue,” sahut Panthana seraya mengulurkan bukunya ke arah Inggrid, membuat Inggrid semakin menatap heran ke arahnya. “Terus lo gimana?” tanya Inggrid tak paham. “Buku gue ada kok, ini cuma salinan aja,” jawab Panthana jujur namun sukses membuat Inggrid dan Dian saling berpandangan heran.  “Kok lo bisa kebetulan nyalin tugas matematika lo di buku lain?” Panthana gelagapan mendengar pertanyaan Inggrid. Dia berdeham beberapa kali seraya otaknya yang berpikir keras kira-kira jawaban apa yang harus dia lontarkan.  “Hm, sebenarnya ini kebiasaan gue. Gue kan orangnya pelupa, jadi buat jaga-jaga tiap ada tugas pasti gue salin di buku lain. Jadi kalau bukunya ketinggalan kan masih ada salinannya.” Bohongnya namun sepertinya Inggrid dan Dian mempercayainya mentah-mentah.  “Ya udah, gue pinjam ya buku lo. Makasih udah bantuin gue,” ujar Inggrid seraya tersenyum manis. Jantung Panthana berdegup kencang saat ini, untuk pertama kalinya dalam hidup, dia melihat Inggrid tersenyum manis untuknya.  “Sebagai ucapan makasih dari gue, nanti gue traktir lo deh,” tambah Inggrid, semakin membuat jantung Panthana menggila. “Lo cuma traktir Thana doang?” Dian menginterupsi seraya mengerucutkan bibirnya tampak kesal. “Eh, nggaklah. Maksudnya gue traktir kalian berdua ya.” Dian tersenyum senang sedangkan Panthana tersenyum getir, pasalnya dia kesal Dian akan jadi pengganggu mereka nanti. Meski begitu dia tetap senang karena untuk pertama kalinya bisa makan siang bersama Inggrid, terutama Inggrid akan mentraktirnya.  Ketika jam istirahat tiba, Inggrid memenuhi janjinya. Saat ini ketiga remaja itu berada di kantin sekolah, tengah duduk bersama di sebuah meja. Hati Panthana berbunga-bunga, dia bahagia sekali bisa menghabiskan waktu istirahatnya bersama gadis belahan jiwanya. Meski dia harus sabar juga ketika Dian yang lebih banyak mengajaknya bicara dibandingkan Inggrid.  Diam-diam Panthana bersyukur karena menuruti perkataan hantu menyebalkan itu. Tadi jika bukan karena paksaan hantu itu yang terus memaksanya untuk mendatangi meja Inggrid dan Dian, pasti dia tidak akan berakhir seperti ini. Sepertinya hantu itu benar-benar bisa membantunya mendapatkan Inggrid. Dia pun mulai percaya pada sang hantu.  Sepulang sekolah, tentu saja hantu itu kembali mengikuti Panthana hingga ke rumahnya. Bahkan dia tak beranjak selangkah pun ketika Panthana sedang berganti pakaian di kamarnya. Meski Panthana kesal tapi dia sadar apapun yang dikatakannya, dia tidak akan pernah bisa mengusirnya ataupun melarang sang hantu untuk mengikutinya.  “Thana sekarang kamu percaya kan aku bisa bantu kamu dapetin Inggrid?” tanya sang hantu riang. Untuk sesaat Panthana hanya menatap datar ke arah hantu yang betah melayang di depannya. Beberapa detik kemudian, dia pun mengembuskan napas pasrah.  “Gue mau bantu lo buat nyari tahu identitas lo dan alasan lo jadi hantu gentayangan, tapi gantinya lo harus bantu gue dapetin cewek yang gue suka,” ujar Panthana, akhirnya menyerah. Sang hantu pun tersenyum sumringah mendengarnya.  “OK, kita sepakat!” sahut sang hantu seraya melayang, terbang berputar-putar mengelilingi kamar Panthana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD