PART 4

4389 Words
Bel tanda pelajaran hari ini berakhir, baru saja berbunyi. Semua siswa membereskan buku dan alat tulis mereka. Memasukannya ke dalam tas dan mulai berhamburan keluar dari dalam kelas masing-masing. Begitupun dengan Panthana. Dia bergegas keluar dari kelasnya karena ada sesuatu yang harus dikerjakannya.  “Thana...”  Langkahnya yang sudah melewati pintu kelas terhenti, dia menoleh menatap pemilik suara yang memanggilnya. Seorang gadis manis berkaca mata yang tidak lain merupakan pacarnya lah yang memanggil.  “Iya, Dian,” sahut Panthana seraya menautkan kedua alisnya. “Mau kemana buru-buru gitu?” “Hmm... mau ke lab komputer. Kamu mau langsung pulang?” Dian mengangguk. “Tadinya pengin ngajak makan bareng dulu sebelum pulang,” tambah Dian dengan wajah merona.  “Thana, kamu udah janji mau bantu aku nyari identitasku hari ini. Kamu jangan ingkar janji.” Panthana tersenyum getir mendengar bisikan hantu gadis SMA di sampingnya. Tentu saja dia tidak mungkin melupakan itu karena alasan itulah yang membuatnya tadi tergesa-gesa meninggalkan kelasnya.  “Mungkin lain kali. Sorry ya, hari ini aku nggak bisa nemenin kamu. Daah, Dian,” ujarnya seraya berlari menjauhi Dian sebelum gadis itu kembali mengajaknya bicara.  Panthana kembali berjalan cepat menuju lab komputer, namun lagi-lagi ada suara yang memanggil namanya, membuatnya lagi-lagi harus menghentikan langkahnya.  “Lo mau kemana? Nggak latihan?” Tanya Malik, seseorang yang tadi memanggil namanya. “Iya, hari ini gue bolos lagi, ada yang harus gue kerjain,” sahut Panthana. Malik mengernyit heran. “Emang mau ngerjain apa? Lo mau ngerjain tugas di lab komputer?” tanya Malik lagi, dia bisa menebak Panthana pergi menuju lab Komputer karena arah yang diambilnya hanya menuju ke satu gedung yaitu lab komputer.  “Hmm, iya, gitu deh,” jawabnya seraya terkekeh, dia pun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena merasa tidak nyaman sudah membohongi sahabatnya. “Jangan sering bolos latihan, bentar lagi kan kita ada turnamen.” Malik mengingatkan. “Oh iya, gue hampir lupa bentar lagi mau ada turnamen. Ya udah deh gue...” “Thana jangan ingkari janji kamu,” sela sang hantu, membuat Panthana mengembuskan napasnya lelah. “Besok pasti gue latihan kok. Tapi sorry, hari ini gue izin bolos.” “Ya udah nanti gue bilangin ke anak-anak.” Panthana mengangguk kemudian berlalu pergi meninggalkan Malik yang masih betah menatap ke arahnya.  Setibanya di lab komputer, dia memilih duduk di kursi paling pojok agar tak ada yang mendengar suaranya jika mengharuskannya berbicara dengan sang hantu. Ada beberapa siswa yang sedang berada di ruangan itu, mereka pun sedang sibuk dengan komputer di depan mereka.  Panthana menyalakan komputer di depannya, kemudian masuk ke situs internet.  “Thana, emangnya kita bisa tahu identitas aku dari komputer ini ya?” Tanya sang hantu, yang kini sedang melayang di sampingnya. “Ya, kita cari aja siapa tahu ada artikel tentang siswa sekolah ini yang pernah meninggal karena dibunuh mungkin.” “Jadi menurut kamu aku mati karena dibunuh?” Sang hantu bereaksi histeris membuat Panthana terkekeh mendengarnya. “Gak tahu juga, kan tadi gue bilang kemungkinan. Bisa juga lo meninggal karena sakit atau kecelakaan, kan? Yaah, kita cari-cari aja dulu kemungkinan lo dibunuh,” sahutnya seraya kedua matanya bergulir mengikuti tulisan di sebuah artikel yang sedang dibacanya.  “Di sini ada beberapa artikel tentang siswa SMA yang meninggal karena dibunuh, tapi mereka semua bukan dari sekolah kita.” “Mungkin aku bukan siswa di sekolah ini?” Sahut sang hantu yang membuat Panthana mengalihkan tatapannya dari layar komputer, kini dia menatap ke arah sang hantu. “Kenapa? Kamu kok liat aku kayak gitu.” Hantu itu tampak risih karena Panthana menatapnya intens dari atas turun ke bawah.  “Lo jelas-jelas siswa di sekolah ini kok.” “Tahu darimana?” “Itu atribut di seragam lo. Tapi gue heran lo kok pake seragam ya, padahal gue liat di film-film biasanya hantu itu pake dress putih gitu. Serem deh kayak kuntilanak.” Panthana mengingat-ingat film horor indonesia yang pernah ditontonnya seraya membayangkan sosok penampilan hantu di film-film itu.  “Aku kan bukan kuntilanak, Thana. Aku Cuma roh gentayangan aja.” “Sama aja, intinya kalian sama-sama hantu gentayangan,” sahut Panthana, membuat sang hantu bungkam seribu bahasa. “Tapi bagus juga sih lo pake seragam jadi kan kita tahu lo dulu siswa di sekolah ini. Lo gentayangan di sekolah ini artinya lo dulu meninggal di sekolah ini. Tunggu, jangan-jangan lo korban pembunuhan terus jasad lo dikubur di sekolah ini. Orangtua, temen-temen sama pihak sekolah gak tahu. Cuma si pembunuh itu yang tahu dimana jasad lo dikuburin makanya lo jadi roh gentayangan soalnya jasad lo belum ketemu. Bisa jadi, kan?” Hantu itu mengangguk menyetujui, perkataan Panthana cukup masuk akal karena sejak dia menjadi hantu gentayangan, dia memang hanya bergentayangan di sekolah itu.  “Terus siapa yang bunuh aku?” “Ya, mana kita tahu, nama lo aja kita belum tahu, kan? Kita harus nyari tahu nama lo dulu supaya gampang nyari informasi lain,” sahut Panthana seraya kembali memusatkan pandangannya pada layar komputer.  Dia sibuk membaca berbagai artikel yang menguak tentang kematian beberapa siswa SMA, tapi tak ada satupun siswa yang menjadi korban pembunuhan itu berasal dari sekolahnya. Lalu dia memfokuskan pencariannya pada artikel yang membahas tentang sekolahnya. Namun sayangnya dia tidak menemukan kasus kriminal apapun pernah terjadi di sekolahnya. Yang tertulis di artikel itu hanya membahas tentang prestasi yang pernah diraih oleh sekolahnya.  “Gimana, Thana? Kamu udah dapet petunjuk?” Panthana mendesah lelah seraya menggeleng. “Nggak ada, sekolah ini bersih. Gak ada berita pernah ada kasus pembunuhan atau membahas ada siswa yang meninggal.” “Terus gimana dong?” Sang hantu berucap dengan sendu, mau tak mau membuat Panthana menatap iba ke arahnya.  “Tenang, kita kan masih bisa nyari di tempat lain. Tapi besok lagi ya, udah sore nih. Gue harus pulang sekarang.” “Tapi, Thana...” Sang hantu merajuk, dia ingin Panthana kembali mencari informasi tentangnya. “Gue janji bakalan bantuin lo lagi nanti. Hari ini udah dulu, gue capek pengen pulang.” Tak ada yang bisa dilakukan oleh hantu itu selain mengangguk menyetujui.  Dia kembali melayang mengikuti langkah Panthana yang pergi menuju tempat motornya di parkir.  Setibanya di tempat parkir, Panthana bersiap menaiki motornya. Dia memakai helm dan hendak menjalankan motornya namun terhenti karena sang hantu mengajaknya bicara dengan heboh. “Thana ... Thana ... itu ...,” ucap sang hantu riang seraya menunjuk ke arah suatu tempat. “Kenapa?” “Itu ada Inggrid.” Mendengar ucapan sang hantu, Panthana pun menatap ke arah yang ditunjuknya. Benar saja, tidak jauh darinya ada Inggrid yang sedang berjalan kaki sambil menundukan pandangannya. Dia tersenyum di balik helmnya dan menjalankan motornya menghampiri Inggrid.  “Inggrid, lo baru mau pulang?” Inggrid terenyak mendengar suara seseorang yang tiba-tiba menyapanya. Inggrid mendongak dan mendapati sosok Panthana yang sedang duduk di atas motornya.  “Iya, baru pulang latihan volly,” sahutnya. Inggrid memang mengikuti ekskul Volly di sekolahnya. “Lo baru selesei latihan basket ya?” Tambahnya. “Nggak, tadi gue bolos latihan. Gue abis dari lab komputer,” jawabnya seraya tersenyum di balik helmnya.  “Thana, ajak Inggrid pulang bareng, anterin dia pulang.” Panthana terlonjak kaget mendengar sang hantu menyuruhnya mengantarkan Inggrid. Memang terlintas di benaknya untuk mengajak Inggrid, tapi entah mengapa dia selalu gugup jika sudah berhadapan dengan Inggrid.  “Ya udah Thana, gue pulang dulu,” ucap Inggrid seraya melangkahkan kakinya menjauh. “Thana, cepet kejar dia. Ajak dia pulang bareng.” “Tapi, kayaknya dia bakalan nolak deh.” “Coba dulu, mana kamu tahu kalau gak dicoba.” “Tapi...” “Cepet Thana, nanti dia keburu pergi!” Ujar sang hantu, tampak kesal dengan sikap pengecut Panthana.  Akhirnya Panthana mengikuti perkataan si hantu. Dia menjalankan motornya menyusul Inggrid yang sedang berdiri di depan gerbang sekolah.  “Grid, ayo gue anter lo pulang,” tawarnya malu-malu. Saat ini jantungnya berdetak tak karuan karena takut Inggrid akan menolaknya. “Nggak usah, Than. Gue naek angkot aja,” sahut Inggrid. Panthana mendesah lelah, dia sudah menebak Inggrid pasti akan menolaknya.  “Thana, jangan nyerah gitu aja. Ayo bujuk dia,” ucap sang hantu, kembali menyemangati. “Nggak apa-apa, Grid. Gue anter pulang. Lagian rumah kita kan searah. Ini udah mau magrib juga, gak baik anak cewek pulang sendirian.” Entah mengapa Inggrid merasa terharu mendengar tawaran Panthana. Dia tidak menyangka cowok pemalu kayak Panthana bisa bersikap jantan juga di depannya.  “Beneran nggak apa-apa?” Tanya Inggrid, memastikan. “Iya, ini pake helmnya,” sahut Panthana yakin seraya menyerahkan helm cadangannya pada Inggrid. Dia memang selalu membawa helm cadangan mengingat sahabat-sahabatnya terkadang menumpang motornya. Untuk jaga-jaga juga jika Dian yang saat ini berstatus sebagai pacarnya meminta diantar pulang atau meminta dia menemaninya pergi ke suatu tempat.  Memang benar alasan Panthana menerima pernyataan cinta Dian karena dia ingin memanfaatkan hubungan gadis itu yang tidak lain merupakan sahabat baik Inggrid. Tapi tetap saja status gadis itu adalah pacarnya sekarang karena itu Panthana bertekad akan memperlakukan Dian dengan baik dan siap memainkan perannya sebagai pacar yang baik untuk Dian.  Panthana tersenyum senang di balik helmnya ketika Inggrid menerima helm itu dan perlahan mulai naik ke atas motornya.  “Pegangan yang kenceng ya, awas jangan sampe jatoh,” ujar Panthana. Awalnya Inggrid ragu untuk memegang Panthana namun ketika Panthana menjalankan motornya dan nyaris membuat Inggrid terjengkang ke belakang, dia pun spontan memegang pinggang Panthana erat, tanpa dia ketahui tindakannya ini sukses membuat jantung Panthana serasa ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Sedangkan sang hantu hanya terkekeh melihat sepasang pemuda-pemudi yang menurutnya lucu, Panthana yang paling lucu menurutnya. Dia jatuh cinta tapi tak berani mengungkapkan.   ***    Malam telah larut, semua pemilik mata tengah memejamkan mata mereka, terbuai dalam mimpi indah mereka. Begitupun dengan Pantahan. Sesekali dia tersenyum dalam tidurnya mungkin memimpikan kejadian tadi ketika dia mengantar Inggrid pulang. Dia sangat bahagia hari ini karena untuk pertama kalinya setelah 5 tahun mengenal gadis itu, dia bisa berdekatan dengannya. Bahkan tak mungkin bisa dilupakannya ketika sang gadis memegang pinggangnya erat selama di perjalanan.  Bruuk  Panthana seketika membuka kedua matanya kaget, ketika telinganya mendengar suara gedebuk kencang. Suara itu terus berbunyi menimbulkan suara nyaring. Ternyata suara itu berasal dari jendela kamarnya yang terbuka dan berbenturan dengan tembok berkali-kali karena terhempas hembusan angin.  Dia melangkah mendekati jendela seraya mulutnya yang terus menggerutu. Dia heran kenapa jendela itu terbuka padahal seingatnya tadi, dia tutup jendelanya.  Ketika dia hendak menutup jendela, tatapan matanya untuk sesaat menatap ke arah halaman rumahnya. Angin berhembus kencang malam ini. Ada asap-asap putih yang beterbangan membuat Panthana mengernyit heran sekaligus merinding. Suara lolongan anjing yang terdengar membuatnya bergegas menutup jendela beserta gordennya.  Lalu dia hendak naik kembali ke atas ranjangnya. Namun niatnya harus dia urungkan ketika ekor matanya menangkap ke arah lemari. Pintu lemari itu terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Dia juga mendengar ada suara senandung seseorang seolah ada seseorang yang sedang berada di dalam lemari pakaiannya.  Dia teguk salivanya dengan susah payah seraya tatapannya fokus ke arah pintu lemari yang masih menutup dan membuka dengan sendirinya.  Dia melangkah perlahan semakin mendekati lemarinya. Dia bertekad apapun makhluk yang akan dilihatnya, dia tetap akan membuka lemari itu untuk memastikan penyebab pintu lemari terus bergerak sendiri.  Dia meraih pintu lemari yang masih bergerak-gerak dengan kedua tangannya. Bertekad dalam hati seraya menghitung sampai tiga. Dia pun membuka pintu lemari dengan kasar, tatapan matanya tertuju ke arah dalam lemari. Tidak ada apapun disana selain pakaiannya yang tergantung rapi. Dia telusuri setiap inci dalam lemarinya, namun ketika dia menatap ke bagian bawah. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati seseorang sedang duduk. Seorang wanita jika melihat dari rambut panjangnya.  “S-Siapa lo?” Panthana bertanya dengan gugup. Dia nyaris berteriak ketika wanita itu mendongak menatapnya. Namun tak jadi berteriak ketika menyadari wanita itu ternyata sosok hantu gadis SMA yang belakangan ini memang berkeliaran di sekitarnya. Hanya saja inilah pertama kalinya hantu itu meringkuk di dalam lemari.  “Lo kenapa ada di dalam lemari? Bikin kaget aja,” gerutunya, kesal. “Hantu kan emang seneng diem di tempat gelap. Kamu sih lampunya dinyalain kalau lagi tidur. Kamu takut gelap ya?” Panthana gelagapan, tak mungkin kan dia berkata jujur bahwa tebakan hantu itu memang benar adanya. Panthana malu mengakui bahwa dirinya memang takut kegelapan. Terdengar pengecut bagi seorang pria namun ada alasannya kenapa dia jadi takut pada kegelapan seperti ini. “Lo juga ya yang buka jendela tadi?” Hantu itu mengangguk seraya tersenyum. “Gue mau tidur, lo jangan gangguin gue bisa kan? Kita kan udah sepakat saling bantu, jadi lo jangan ganggu hidup gue. Di sekolah juga, lo jangan ngajakin gue ngomong kalau gue lagi belajar di kelas. Ganggu banget tahu.” Sang hantu menatap Panthana tanpa kata, namun dia mengangguk seolah mengerti.  “Pokoknya kita sepakat saling bantu jadi lo jangan ganggu hidup gue lagi. Biarin gue hidup normal. Gue izinin lo berkeliaran di sekitar gue tapi liat situasi kalau mau ngajakin gue ngomong ya.” Hantu itu kembali mengangguk.  “Ya udah, gue mau lanjutin tidur gue. Lo jangan berisik.” Tanpa menunggu respon dari sang hantu, Panthana melakukan niat awalnya tadi yaitu meneruskan tidurnya.  Dia nyaris terlelap jika saja telinganya tidak mendengar suara seseorang yang sedang bernyanyi.  “Nina bobo... oh nina bobo... kalau tidak bobo... digigit nyamuk...”  Panthana bergidik ngeri pasalnya suara seseorang yang bernyanyi itu terdengar mengerikan di telinganya. Suara seorang wanita bercampur suara hembusan angin dan menggema di dalam kamarnya.  “Nina bobo... oh nina bobo... kalau tidak bobo... digigit nyamuk...”  Suara nyanyian itu terus terdengar dan Panthana yakin suara itu berasal dari bawah ranjangnya. Dia teguk salivanya sebelum memutuskan untuk mengintip ke bawah ranjangnya. Dia memposisikan kepalanya menggantung di ranjangnya untuk melihat ke arah bawah ranjangnya. Betapa terkejutnya dia ketika menemukan sosok seseorang sedang telentang di bawah ranjangnya.  Sosok itu menoleh ke arah Panthana, lalu melotot seolah bola matanya hendak melompat keluar dari kelopaknya, seketika membuat Panthana berteriak dan bergegas menarik kembali kepalanya. Dia pun duduk dengan napas terengah-engah pasalnya tatapan sosok itu mengerikan bagi Panthana.  “Thana, kenapa teriak? Ini aku...” Sosok itu keluar dari bawah ranjang, rupanya sosok itu tidak lain merupakan hantu gadis SMA.  “Lo ngapain nyanyi-nyanyi di bawah ranjang gue? Terus tatapan lo tadi serem banget.” “Aku juga kaget tadi kamu tiba-tiba ngintip,” sahut sang hantu seraya tersenyum seolah tak merasa bersalah sama sekali sudah membuat Panthana takut setengah mati.  “Gue kan udah bilang jangan ganggu tidur gue. Jangan berisik,” gerutunya, tampak kesal karena sang hantu tak hentinya berulah. “Aku gak gangguin kamu kok. Aku lagi nyanyiin lagu supaya kamu cepet tidur.” “Apanya yang cepet tidur, lagunya serem bikin merinding,” timpal Panthana, mengutarakan apa yang dia rasakan. “Tapi aku seneng denger lagu ini.” Hantu itu kembali berucap, membuat Panthana menyadari sesuatu yang aneh. “Emangnya lo denger dimana lagu ini?” Tanya Panthana seraya memicingkan matanya menatap intens ke arah sang hantu. “Nggak tahu, tapi aku inget dulu sering ada yang nyanyiin lagu ini buat aku.” Panthana kini mengernyit heran. Bukankah hantu di depannya ini mengaku tak mengingat apapun tapi kenapa sekarang dia bilang ingat seseorang sering menyanyikan lagu nina bobo untuknya?  “Kok lo bisa inget sama lagu ini sedangkan nama lo sendiri gak inget?” “Aku juga gak tahu Thana,” sahutnya seraya memiringkan kepalanya.  Panthana tertegun memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi pada sang hantu.  “Hmm, mungkin lagu ini berkaitan erat sama lo. Tapi udah ya jangan nyanyiin lagu itu lagi. Gue jadi gak bisa tidur dengernya.” Hantu itu mengangguk, Panthana mengembuskan napas lega dan kembali merebahkan dirinya.  “Hei, kita kan gak tahu nama lo, gimana kalau gue ngasih lo nama sementara?” Ucap Panthana tiba-tiba. Hantu itu terdiam namun akhirnya dia mengangguk menyetujui.  Panthana tengah berpikir sekarang, memikirkan nama apa yang cocok untuk sang hantu.  “Hmm, gimana kalau gue panggil lo, Bowbow? Soalnya lo kan cuma inget sama lagu nina bobo doang,” ucapnya seraya terkekeh geli. Sedangkan sang hantu memberengut tak suka. “Nggak mau, namanya aneh.” “Tapi gue suka, pokoknya nama lo Bowbow,” ujarnya kembali terkekeh, lalu mulai memejamkan kedua matanya lagi, mengabaikan teriakan sang hantu yang menolak nama pemberian Panthana. ***  “Thana, bangun. Nanti kamu kesiangan,” ucap sang hantu, tepat di dekat telinga Panthana yang tengah meringkuk nyaman di kasurnya yang empuk. “Thana, nanti kamu terlambat sekolah,” tambahnya, namun bukannya bangun pemuda SMA itu justu semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. “Huuh, ya udah deh aku gak peduli, jangan marah ya kamu telat berangkat sekolah soalnya aku udah bangunin kamu. Dasar tukang tidur,” gerutu sang hantu seraya mengerucutkan bibirnya.  Tatapan sang hantu dari sosok Panthana yang masih lelap dari tidurnya tiba-tiba teralihkan ke arah pintu ketika tiba-tiba ada yang menerobos masuk ke kamar Panthana tanpa mengetuk pintu.  Seorang gadis SMP berusia 14 tahun, berdiri di samping Panthana seraya berkacak pinggang. Sekali-sekali dia mendesah lelah ketika mendapati sang kakak masih tertidur pulas. Dia pun menyingkap selimut yang menutupi tubuh kakaknya.  “Kak bangun, mama udah nungguin tuh di bawah. Kita sarapan bareng,” ucapnya seraya mengguncang-guncangkan tubuh Panthana. “Kak bangun, ihh... tumben banget sih kakak bangun kesiangan biasanya jam segini udah rapi,” tambahnya dengan tangannya masih sibuk mengguncangkan tubuh Panthana. “KAKAK!!!” Teriaknya, tepat di depan telinga sang kakak yang sepertinya sukses membuat Panthana terperanjat bangun dari tidurnya.  “Duuh... Kanya ganggu aja, kakak masih ngantuk tahu.” “Bodo amat, liat dong kak ini udah hampir jam setengah 7, cepet bangun nanti telat lho. Mama juga udah nungguin di meja makan.” Lagi-lagi Panthana terperanjat kaget, dia melirik ke arah jam yang bertengger manis di dinding kamarnya. Ternyata benar yang dikatakan sang adik, dia kesiangan. Sesuatu yang jarang terjadi mengingat Panthana selalu membiasakan diri bangun jam 5 pagi setiap hari.  Tanpa kata, dia berlari masuk ke dalam kamar mandi. Sedangkan sang adik hanya memutar bola matanya bosan melihat tingkah laku kakaknya.  Dia pun bergegas keluar kamar dan kembali menuju ruang makan. Di dalam kamar mandi, Panthana menyelesaikan aktivitas mandinya dengan terburu-buru. Dia bahkan tidak sadar tidak membawa handuknya ke kamar mandi. Berdecak beberapa kali karena merutuki kecerobohannya, akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari kamar mandi tak peduli meski dalam keadaan telanjang. Dia hendak membuka pintu kamar mandi, namun gerakannya terhenti ketika ingatannya teringat pada sosok dua orang gadis.  “Duuh... Kanya masih di kamar gue gak ya? Terus si Bowbow juga. Masa gue harus keluar gak pake handuk di depan mereka sih?” Gumamnya, pada dirinya sendiri.  Dia pun akhirnya memutuskan membuka pintunya sedikit dan mengeluarkan kepalanya seraya menatap ke sekeliling kamarnya. Dia mengembuskan napas lega ketika sosok sang adik sudah tak terlihat begitupun dengan sosok sang hantu yang selalu berkeliaran di dekatnya belakangan ini.  Tanpa ragu akhirnya dia keluar dari kamar mandi. Dia berlari-lari kecil menuju lemarinya dan bergegas membuka pintu lemari.  “Waaaaaaaaaaaaaaaaa !!”  Teriaknya kencang ketika hal pertama yang dilihatnya ketika membuka pintu lemari adalah sosok sang hantu yang sedang berdiri di dalam lemari.  “Lo ngapain di dalam lemari? Kenapa sih dari semalem lo betah banget diem di lemari gue? Ngagetin tahu!” Umpatnya kesal bahkan urat-urat marah bermunculan di keningnya. “Aku kan udah bilang hantu itu seneng di tempat gelap,” sahut sang hantu seraya tersenyum seolah tak merasa bersalah sama sekali. “Keluar sana, gue mau ngambil seragam,” titahnya dan langsung dituruti sang hantu, dia melayang keluar dari lemari. Panthana pun bergegas mengambil seragam sekolahnya dari dalam lemari. Dia hendak memakainya namun terhenti ketika mendengar suara cekikikan dari belakang.  Dia menoleh dan betapa kesalnya dia menyadari bahwa sang hantu tengah menertawakannya saat ini.  “Ngapain lo ketawa-ketawa?” Tanyanya, tampak kesal. “Habis lucu liat kamu telanjang,” sahut sang hantu polos, sukses membuat semburat merah menghiasi wajah tampan Panthana. “Sialan, pergi sana. Dasar hantu m***m!” Dia menutupi bagian bawah tubuhnya dengan kemejanya. “Udah sana pergi, nggak malu apa liatin cowok lagi pake baju?” “Aku kan udah bilang, aku udah terbiasa liat yang begituan waktu aku gentayangan di toilet cowok.” Panthana bergidik ngeri membayangkannya. Dia tidak habis pikir bagaimana bisa ada hantu semesum hantu yang dia beri nama Bowbow itu. Terlebih sang hantu m***m kini betah tinggal bersamanya. Baginya tidak ada kesialan selain kejadian yang menimpanya ini.  “Tapi gue gak terbiasa diliatin cewek.” “Aku kan hantu, Thana.” Panthana menggeram kesal, menurutnya sang hantu m***m teramat bodoh, terkadang dia lelah berbincang dengannya. Hanya membuang-buang waktu berharganya. “Meski hantu tetep aja lo cewek. Pergi atau gue berubah pikiran, gue gak mau bantu lo lagi,” ancamnya, yang sepertinya sukses pasalnya sang hantu tiba-tiba menghilang dari hadapannya. “Huuh... bikin gue tambah telat aja tuh si Bowbow,” gumamnya seraya bergegas mengenakan pakaian dalam dan seragamnya.  Setibanya di ruang makan, Panthana segera mendudukan dirinya di kursi kosong. Tampak sang mama dan adiknya tengah menyantap semangkuk bubur ayam yang terhidang di meja.  “Waah... asyik nih makan bubur,” ucap Panthana girang, pasalnya dia sangat menyukai bubur ayam. “Iya, tadi kebetulan lewat depan rumah, mama beliin aja buat kalian. Oh iya, Than, kok tumben kamu bangun kesiangan?” Tanya sang mama dengan dahi mengernyit heran. “Kamu begadang ya semalam? Mama kan udah pernah bilang jangan suka begadang gak bagus buat kesehatan kamu,” tambahnya. “Nggak kok, Ma. Cuma hari ini ada ujian jadi Thana belajar agak larut semalam,” jawabnya bohong. Menurutnya tidak mungkin kan dia mengatakan alasan yang sebenarnya dia bangun kesiangan. Alasan sebenarnya dia bangun kesiangan pagi ini karena ulah sang hantu yang terus mengganggunya. Terlebih lagu nina bobo yang dinyanyikannya terdengar menyeramkan di telinga Panthana dan membuatnya kesulitan untuk melanjutkan tidurnya.  Pembicaraan di antara ibu dan anak itupun berakhir. Sang mama sepertinya percaya mentah-mentah kebohongan anaknya. Dia melanjutkan menyantap buburnya dengan tenang. Panthana pun demikian, dia hendak menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulutnya jika saja sebuah teriakan tidak menghentikannya.  “Jangan dimakan buburnya, Thana!” Teriak sang hantu. Panthana mengernyit menatap intens ke arah sang hantu yang melayang di sampingnya. “Kenapa gak boleh gue makan?” Tanyanya bingung. Tanpa dia sadari ucapannya mengundang atensi dari ibu dan adiknya. Kini dua wanita yang memiliki hubungan paling dekat dengan Panthana itu tengah menatap heran ke arahnya.  “Kamu ngomong apa, Than?” Tanya sang mama. “Ah, ng-nggak kok, Ma. Thana gak ngomong apa-apa.” “Idiih... jelas-jelas kakak tadi ngomong kok. Emang kakak ngomong sama siapa?” Kini giliran Kanya yang bertanya. “Kakak gak ngomong sama siapa-siapa, Kanya. Udah deh jangan bawel, mendingan cepetan kamu abisin buburnya.” Kanya memutar bola matanya bosan, toh pada akhirnya dia menuruti perkataan kakaknya.  “Kamu jangan makan buburnya, Thana. Hantu anak kecil itu netesin ilernya di atas bubur kamu,” ucap sang hantu, tapi kali ini Panthana mencoba mengabaikannya. Kesal menyadari ucapannya diabaikan, hantu yang diberi nama Bowbow itupun melayang mendekati Kanya yang duduk bersebrangan dengan Panthana.  Kemudian dengan joroknya dia memposisikan kepalanya tepat di atas mangkuk bubur Kanya, dia membuka mulutnya hingga salivanya menetes-netes ke atas bubur Kanya. Melihat pemandangan menjijikan itu sukses membuat Panthana tersedak dan terbatuk-batuk dengan mata melototonya ke arah sang hantu.  “Kamu kenapa, Than? Makanya makannya pelan-pelan aja.” Mamanya memperingatkan. “Itu yang hantu anak kecil itu lakuin ke bubur kamu. Makanya jangan dimakan buburnya. Kamu kalau mau makan harusnya baca doa dulu Thana jadi makanan kamu gak digangguin hantu,” ucap hantu itu, setelah kini dia kembali melayang di samping Panthana.  “Kanya, jangan dimakan buburnya!!” Titahnya, begitu dia melihat sang adik hendak memasukan sesendok bubur ayam ke mulutnya. “Haah, kenapa emangnya? Idiih... Kak Thana aneh deh. Tadi nyuruh Kanya cepet-cepet abisin buburnya sekarang ngelarang. Kakak ini kenapa sih? Jangan-jangan otak kakak lagi eror ya?” “Kamu jangan ngomong gitu sama kakak kamu.” “Habis mama gak liat, Kak Thana aneh banget hari ini?” Gerutu Kanya kesal karena mamanya lebih membela Panthana.  “Maksudnya kita udah telat, mendingan kita berangkat sekarang yuk. Ayo biar kakak anter kamu ke sekolah,” ucap Panthana, mencari alasan agar adik kesayangannya itu tidak melanjutkan aktivitas makan buburnya yang sudah tidak layak untuk dimakan.  “Tuh kan hari ini kakak emang aneh. Tumben-tumbenan mau nganter Kanya ke sekolah biasanya juga pelit kalau Kanya minta numpang di motornya. Lagian serius kakak mau nganterin, kakak kan udah telat tuh?” Sahut Kanya seraya mengisyaratkan dengan matanya agar Panthana menoleh ke arah jam dinding.  “Oh iya, ternyata kakak udah mau telat, ya udah deh besok-besok lagi kakak anterinnya. Yang penting kamu juga cepetan berangkat ya, dan inget jangan dimakan lagi buburnya.” Panthana mengingatkan sekali lagi seraya dia menghampiri sang mama untuk berpamitan.  “Kamu makannya dikit banget, Than. Nanti laper di kelas.” “Gak apa-apa, Ma. Nanti Thana makan di kantin sekolah aja.” Dia pun mencium punggung tangan sang mama meminta didoakan. Tak lupa dia pun mengacak-ngacak puncak kepala adiknya, sukses membuat sang adik memberengut kesal padanya.  “Duuh... kebiasaan deh Kak Thana bikin rambut Kanya berantakan.” “Bodo. Oh iya, inget buburnya jangan dimakan lagi.” Kata-kata terakhir yang diucapkannya sebelum melenggang pergi, mengabaikan teriakan adiknya yang terus menanyakan alasan logis kenapa dia tidak boleh menghabiskan buburnya.   ***    Seperti janji yang diucapkannya, hari ini Panthana hendak mengikuti latihan basket mengingat tim basket sekolah mereka beberapa hari lagi akan mengikuti turnamen antar sekolah.  Saat ini Panthana sedang berada di ruang ganti, dia hendak mengganti seragam sekolahnya dengan seragam basket miliknya. Keempat sahabatnya dan juga anggota ekskul basket lainnya sudah lebih dulu memulai latihan tanpanya. Sehingga di dalam ruangan ganti itupun tidak ada orang lain selain dirinya.  “Thana, kok hari ini kamu gak bantuin aku nyari identitas aku lagi?” Tanya sang hantu tiba-tiba, sukses membuat Panthana terperanjat kaget. “Lo kebiasaan deh, seneng banget sih ngintipin cowok lagi ganti baju. Inget ya, kalau lo kayak gini lagi gue beneran gak mau lagi bantuin lo,” ancam Panthana tampak serius, pasalnya dia sudah kesal setengah mati pada tingkah laku sang hantu. “Iya deh maaf, aku gak bakalan liatin kamu kok,” sahutnya seraya membalik posisi tubuhnya sehingga membelakangi Panthana sekarang. Menggeleng sejenak karena untuk kesekian kalinya Panthana heran ada juga tipe hantu m***m macam hantu itu, dia pun kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda tadi.  “Thana, kok gak dijawab pertanyaan aku tadi? Kamu gak nyari identitas aku lagi?” Tanya sang hantu, masih dalam posisi membelakangi Panthana. “Gue emang bilang mau bantuin lo, tapi kan bukan berarti tiap hari gue harus nyari-nyari informasi tentang lo. Gue juga punya kehidupan sendiri. Gue harus latihan basket hari ini soalnya minggu depan ada turnamen penting. Nanti kalau turnamennya udah selesei terus tim sekolah gue menang baru deh gue lanjutin nyari informasi tentang lo,” sahut Panthana cuek seraya melipat seragam sekolahnya dan memasukannya ke dalam tas.  “Terus kalau tim kamu gak menang gimana?” “Ya, gue gak jadi bantuin lo,” jawab Panthana seraya terkekeh geli. Dia hanya ingin mengetahui reaksi sang hantu akan seperti apa jika digoda. “Kok gitu, kamu kan udah janji mau bantuin aku?” “Ya, pokoknya kayak gitu syaratnya. Kalau tim basket sekolah gue menang baru gue mau lanjutin bantuin lo. Kalau kalah berarti kesepakatan kita batal,” lanjutnya, menggoda sang hantu. “Kesepakatan kita kan gak kayak gitu, kamu mau bantuin aku terus aku juga bantuin kamu dapetin Inggrid.” “Hahahaha... iya, gue becanda kok,” sahut Panthana, akhirnya berhenti menggoda sang hantu pasalnya hantu itu kini kedua matanya sudah berkaca-kaca nyaris menangis.  Panthana hendak meninggalkan ruang ganti, namun langkahnya terhenti ketika dia mengingat sesuatu.  “Oh iya satu lagi, lo jangan pernah ngelakuin hal jorok kayak tadi pagi. Ngapain lo netes-netesin iler di atas makanan?” Tanya Panthana serius, dia hanya kesal jika mengingat tindakan sang hantu yang sangat jorok dan menjijikan.  “Aku ngelakuin itu buat ngasih tahu kamu apa yang dilakuin hantu anak kecil itu ke bubur kamu. Kamu sih gak percaya.” “Hantu anak kecil?” Tanya Panthana, bingung. “Iya, aku juga kan udah pernah bilang, ada hantu anak kecil di rumah kamu. Hantu anak kecil itu suka gangguin anggota keluarga kamu cuma kalian gak nyadar. Dia juga yang jatohin piring-piring di dapur tempo hari.” “Haah, alasan. Udah deh lo ngaku aja malam itu emang lo kan yang jatohin piringnya?” “Bukan aku, tapi hantu anak kecil itu. Beneran aku gak bohong,” sanggah sang hantu, tak terima dirinya disangka pembohong.  “Ya udah, gak usah dibahas lagi masalah piring itu. Gue juga udah maafin lo kok.” “Tapi Thana, aku nggak bohong. Nanti deh aku bakalan ngajakin hantu anak kecil itu ngobrol walaupun dia itu suka marah-marah kalau aku samperin.” Panthana memutar bola matanya malas, entahlah... dia tidak percaya pada perkataan sang hantu kali ini. Ada hantu anak kecil di rumahnya dia bilang. Tapi dia tidak pernah merasakan keanehan apapun di rumahnya.  “Ya udah, terserah lo aja. Tapi gue tetep gak percaya ada hantu anak kecil di rumah. Soalnya gue gak pernah ngerasa diganggu, cuma lo yang gangguin hidup gue,” sahut Panthana, tidak main-main.  Mereka berdua terus berseteru tanpa mereka sadari seseorang tengah memperhatikan mereka dari balik pintu ruang ganti yang sedikit terbuka, lebih tepatnya memperhatikan Panthana yang menurutnya sedang bersikap aneh.  “Gue nggak salah lihat kan nih? Thana ngomong sendiri? Gue harus cerita ke anak-anak,” gumam orang itu seraya melenggang pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD