"Eh, Neng Hasmi, mau ke mana,nih, pagi-pagi udah rapi aja? Jalan-jalan, ya? Cie, yang baru aja gajian." Celotehan Bu Arni menyambutku saat baru saja keluar dari kontrakan, yang sudah satu setengah tahun ini aku tinggali.
Kebetulan sekali Bu Arni sedang berkumpul dengan ibu-ibu lainnya di depan kontrakan. Mereka tengah belanja sayur di Kang Sueb sekaligus bergosip. Dan … ya, ini kontrakan yang sama dengan kontrakan yang dulu pernah ditinggali Dokter Karina.
Mendengar kata penyambutan Bu Arni, yang kulakuan hanya bisa mendengus pelan dan menyengir. Karena aku tahu pasti apa maksud Bu Arni barusan. Apa lagi kalau bukan mau mengingatkanku untuk membayar uang kontrakan bulan ini.
Ah ... Bu Arni memang paling jago dalam memberikan kode, malahan kadang kelewat kreatif. Cukup memaklumi, kalau emak-emak jaman now terlalu sering menonton sinetron. Itu sebabnya terkadang banyak melakukan adegan yang didramatisir.
"Ah, si Ibu, nih, bisa aja ngodenya. Iya ... iya, Bu. Saya gak lupa, kok, sama kewajiban saya," jawabku ringan seraya mendekati Bu Arni yang sudah memandangku dengan mata yang berbinar dari tempatnya berdiri.
Berbeda dengan Dokter Karina yang biasa membayar rumah kontrakan ini pertahun. Aku hanya mampu membayarnya perbulan saja. Alasannya adalah selain aku tak sekaya Dokter Karina, karena memang gajiku pas-pasan. Selain itu juga, aku takut uang yang sudah aku kumpulkan untuk membayar kontrakan terlihat lebih besar nominalnya. Rasa-raanya aku tak sebegitu rela melepaskan yang aku tabung sedemikian rupa.
Maka dari itu, demi menghindari yang namanya khilaf gara-gara uang terpakai pada penghujung akhir tahun dan berujung terlilit tunggakan. Aku lebih memilih mengubah metode pembayaran rumah ini secara perbulan. Paling penting jangan sampai menunggak, karena sama saja dengan berhutang.
Dan hutang akan dibawa sampai mati.
Hidupku saja belum tentu berada di jalur yang benar, ibadahku saja belum tentu diterima pun dengan dosa yang sudah menggunung. Itu sebabnya aku benar-benar menghindari hutang, karena akan lebih memberatkanku di akhirat kelak.
Mengerikan, kan?
Sembari tersenyum, aku menyerahkan satu amplop coklat yang memang sudah kusiapkan dari semalam. Sedikit berbasa-basi sebentar dengan Bu Arni dan para tetangga lainnya, aku mencoba akrab dengan para tetangga yang kebanyakan adalah ibu rumah tangga. hidup merantau bukanlah suatu hal yang mudah. Aku sendiri berusaha mengakrabkan diri dan bersosialisasi, karena tetangga adalah saudara terdekat yang kita punya saat merantau ke kota orang.
Bukan apa-apa, andai saja nanti sampai aku—amit-amit tapi ya—terkena musibah di sini. Maka yang menolongku pertama adalah tetangga. Walau terkadang sifat mereka sedikit banyak menyebalkan, tetap saja mereka akan menjadi garda depan untuk membantu.
Itu sebabnya aku cukup tahu diri untuk tak mau mencari ribut dengan para tetangga, apa lagi cari musuh.
Obrolan kami terhenti begitu mendengar suara klakson mobil yang nyaring, hampir membuat para ibu-ibu tetangga terlonjak kaget. Sebuah mobil van hitam udah berdiam diri tak jauh dari tempatku dengan Dokter Karina yang melambai dari bangku belakang.
"Eh ... itu bukannya Neng Karina yang itu, ya?"
"Eh, iya, yang itu."
"Wah, suaminya kok beda lagi, ya?"
"Udah ganti kali, ya?"
"Wah, parah sih, masa baru setahun lebih udah ganti aja."
Ingin sekali rasanya aku memutar bola mata dengan malas, kala mendengar nyinyiran mereka terhadap Dokter Karina. Jadi yang bisa aku lakukan hanya menghela napas panjang saja tanpa menanggapinya. Menghadapi para ibu-ibu bukanlah hal yang muda, apa lagi untuk gadis seusiaku yang terpaut jauh.
Sabar ... sabar ... Orang sabar sebentar lagi body-nya bertambah semok.
"Ekhem!"
Aku berdehams sedikit keras untuk meraih simpati mereka, supaya mereka berhenti berbicara hal yang aneh-aneh mengenai Dokter Karina. Hal itu sukses membuat para ibu-ibu menatapku tajam.
"Maaf, ya, ibu-ibu sekalian. Tapi ... sebenarnya, itu calon suami saya. Kebetulan rumahnya searah dengan Dokter Karina. Makanya jemput sayanya bareng. Jadi ... tolong, ya? jangan digosipin macem-macem."
Aku terpaksa berbohong, demi untuk menghentikan gosip yang ditujukan pada Dokter Karina. Dan untuk Alan … sorry, bukan niat hati untuk mengaku-aku pun mengikuti ketenaran Dokter Karina. Hanya saja, aku tak enak hati padanya. Semenjak menikah dengan si Daddy, dia selalu menjadi sasaran empuk terus untuk digosipkan.
baik di rumah sakit pun di sini, gossip miring selalu berhembus seiring dengan kehadirannya. Padahal dia orang baik dan ramah, tapi herannya ada saja yang tak menyukainya. Aneh, kan?
"Kita itu gak bisa memaksa orang untuk menyukai kita. Begitu pula sebaliknya. Kita juga gak akan bisa menghentikan orang-orang yang tidak menyukai kita. Karena inilah hidup. Selalu berdampingan. Jadi yang harus kita lakukan, hanya terus melakukan yang terbaik. Gak peduli kebaikan kita akan diakui atau nggak. Yang terpenting, jalani aja yang menurut kita baik. Dan gak mengusik orang. Karena Tuhan itu gak pernah tidur. Akan ada saatnya. Di mana yang benar akan terlihat, dan yang jahat akan mendapat hukumannya. Gak usah takut dan gak usah dipusingkan. Karena hidup itu selalu bergulir, sesimpel itu."
Terkadang Doter Somplak ini terlihat begitu bijak dalam menyikapi segala gossip yang menerpa dirinya. Tak urung hal itu justru membuatku yang tadinya panas karena gosip, langsung mereda.
Ya sudahlah. Lagi pula mereka juga tak mengenal Alan pun tak terlalu jelek untuk diakui sebagai tunangan. Eh?
Bicara apa aku barusan?
Setelah berhasil membungkam mulut pedas ibu-ibu itu. Aku segera beranjak mendekati mobil Dokter Karina, yang dikemudikan si pengacara berwajah lempeng seperti jalan tol itu. Sedari tadi Alan sudah mengklaksoniku berulang kali. Terlihat sekali jika pria itu sudah tak sabaran.
Ck! Dasar menyebalkan.
Sesaat Dokter Karina memberiku kode untuk duduk di depan saja, ketika akan membuka pintu belakang kemudi. Ada Mbok Jum ternyata yang duduk di sebelahnya. Kalau begini ceritanya aku merasa seperti couple betulan. Like tuan dan nyonya.
"Lelet!" Aku langsung disambut dengan desisan sinis si jalan tol.
Kan? Apa aku bilang tadi? Suka sekali memancing keributan.