"Lelet!"
"Jangan kebanyakan ngeluh, Pak. Nanti hidupnya gak barokah," timpalku sekenanya, seraya meraih seat belt dan memakainya dengan segera.
"Saya bukan mengeluh, tapi saya hanya menegur. Dan ... kamu memang lelet, kan?" balasnya santai, sambil melajukan mobilnya menjauh dari kontrakanku.
Astaga! Kenapa jadi ribet seperti ini, sih, padahal perkara sepele. Mau apa, sih, dia?
"Saya, kan, bukan pesulap, Pak. Gak punya ilmu ngilang. Ya, otomatis butuh waktu buat sampe ke tempat Bapak ini," timpalku tak acuh.
"Juga buat bergosip." Sarkas Alan lagi.
Benar-benar pria ini. laki-laki, kok, mulutnya gemesin sekali kalau sudah memberikan bantahan. Aku nikahin boleh tidak, sih?
"Ck, jangan sok tau, Pak. Nuduh tanpa bukti itu namanya fitnah. Dan Bapak tau, kan, hukumnya sebuah fitnah seperti apa?" balasku mulai geram.
"Buktinya nyata. Bahkan Dokter Karina sama Mbok Jum bisa jadi saksi," balas Alan tak mau kalah.
Ck! Dia malah meminta dukungan orang lain.
Saksi apa? Saksi liat saya ngumpul sama tetangga? Gitu? Ngumpul sama tetangga gak selamanya buat gosip, Pak? Bisa aja kami lagi bicarain arisan, atau mau ngadain pengajian. Jangan suka suudzon kenapa, sih, Pak?" tegurku akhirnya yang diakhiri gelengan prihatin.
Kenapas, sih, dengan pria ini. aku jadi kasihan. Bagaimana tidak, dia selalu enaruh uriga pad aorang lain dan sedikit pun tak mau menyerah hanya dengan satu argument. Akan ada argument-argumen lain yang keluar ari mulutnya, hingga membuat lawan bicaranya menyerah. Antara kehabisan kata-kata pun terlampau gemas.
"Tapi 90% dari perkumpulan ibu-ibu, memang selalu di habiskan dengan bergosip, kan? Berghibah dan bikin dosa. Seperti gak punya hal positif lain saja."
Ternyata, si jalan tol belum mau mengalah, cuy. Cowok bukan, sih, dia?
"Nah, itu bapak tau, cuma 90% aja Pak, yang suka bergosip. Masih ada 10% lainnya Pak, yang bisa melakukan hal berbeda, bener, kan?" Aku pun tak mau mengalah.
"90% itu gak bisa di bilang cuma, Suster, tapi itu sudah hampir semua," timpal Alan berdecak kesal.
"Masih baru hampir, Pak. Belum semua," aku bersikukuh.
"Tapi …."
"Hust! udah-udah." Dokter Karina tiba-tiba bersuara, mencoba menengahi kami.
"Kalian ini, ya? Sehari gak berantem kayanya gak indah, ya?" tambahnya lagi, seperti mulai terganggu.
"Bukan saya yang mulai, Dok. Tapi si Bapak Pengacara yang terhormat ini, yang selalu suudzon sama saya. Mentang-mentang pengacara, bawaannya curigaan mulu," aduku sengit. Oh, tidak bisa seenaknya saja dia menyalahkanku.
"Hidup memang diharuskan untuk waspada, kan?"
Gusti nu Agung. Ada apa dengan pria ini?
"Mau waspada atau gak? Kalau Allah udah bilang kun fayakun, mah. Ya, pasti kejadian, lah, Pak. Kalo kata pepatah nih, ya. Untung gak dapet diraih, malang gak bakal ditolak. Itu namanya takdir, Pak. T-A-K-D-I-R," balasku lagi, yang mulai gemas dengan si pengacara jalan tol ini.
Apa pria ini tak mengenal istilah, wanita selalu benar? Kenapa dia suka sekali mendebat setiap omonganku, bahkan tidak mau mengalah sama sekali. Hah! Egois!
"Tapi setidaknya, kita harus tetap waspada. Karena yang namanya takdir itu masih bisa diubah."
Lihat, kan? Masih saja ngotot, pemirsah! Atau memang minta dikuncir mulutnya supaya diam.
"Eh ... jangan salah, ya, kau, Bambang! Yang namanya takdir itu gak dapat diubah, yang bisa diubah itu namanya nasib. en-a-na-es-i-sib. NASIB! Ngartos, Bapak?" geramku sengaja mengeja setiap suku katanya.
Mungkin saja dia tak mengerti apa yang aku ucapkan, sekali saka aku mengejanya. Kurang baik apa aku, coba? Aku jadi heran dengan pak pengacara ini, kenapa batu sekali pemikirannya pun pendiriannya. Sudah tahu salah, masih saja tak mau mengalah.
"Astaga! Kalian, tuh, bener-bener, ya? Udah dipisahin, masih aja nyamber lagi … nyamber lagi, heran saya!" keluh Dokter Karina akhirnya.
"Iya, ya, Non. Kaya jodoh aja?" timpal Mbok Jum.
Eh?
"Nah, itu, Mbok. Mereka tuh emang kayak punya chemistry gitu sebenernya. Tiap hari harus aja ribut gini. Bahkan, kayaknya mulut mereka tuh bakal sariawan, kalo gak ribut tiap ketemu. Bikin saya greget, pengen nikahin mereka berdua aja," jelas Dokter Karina menggebu-gebu. Membuatku sontak membulatkan mata dengan dramatis.
Apa? Menikah? Sama si jalan tol? Oh, tidak bisa ....
"Allahhu ... jangan sampe, dech, Dok! Dih, amit-amit. Bakal sial hidup saya punya suami cem jalan tol gini!" seruku menolak keras ucapan Dokter Karina barusan.
Amit-amit ya, Allah. Jangan sampai hal itu terjadi.
"Eh, kamu kalo ngomong jangan asal nyemplos ya, Mi? kalo beneran jodoh baru tau rasa kamu," ejek Dokter Karina.
"Ih, jangan sampe, deh. Kaya gak ada cowo lain aja!" balasku setengah kesal.
"Emang gak ada. Kan, di sini cowonya cuma Alan aja," timpal Dokter Karina enteng.
Bener juga, sih? Tapi ... ya tak begini juga.
"Ya udah, minggir dulu aja kalo gitu di situ tuh. Kayaknya di sana banyak cowok nongkrong, deh," balasku sambil menunjuk asal kesembarang arah.
"Saya juga gak mau punya istri berisik kaya kamu," timpal si jalan tol tiba-tiba. Membuatku makin berdecak kesal saja menanggapinya.
"Ya, iya, lah! Situ mana cocok lagian sama yang berisik-berisik. Kan, situ mah cocoknya hidup di gua yang adanya di pedalaman," ejekku tak mau kalah.
"Di mana pun saya pasti cocok, kok, yang penting gak ada kamu di sana," balas Alan tak kalah frontal.
Astaga! Pria ini benar-benar. Apa kalau dia berbicara tak memakai filter? Seenaknya saja ia menghinaku, belum tahu saja kalau wanita sakit hati, bisa-bisa mereka akan menggunkan pelet Jaran Goyang agar lebih tunduk.
"Oh, iya jelas."
"Dunia berasa milik kalian, ya?" sela Dokter Karina lagi, menengahi sambil makan Chiki bersama Mbok Jum dari kursi belakang.
Ya, salam! Apa mereka pikir sedang menonton drama korea live?
"Iya, Non. kita mah kayaknya cuma ngontrak, ya?" timpal Mbok Jum tak mau ketinggalan.
"Gak, ah, Mbok. Saya mah gak mau ngontrak," protes Dokter Karina menggeleng.
"Trus maunya apa?" tanyaku yang pada akhirnya ikut terbawa suasana.
"Yang punya kontrakan, lah! Suami saya, kan, kaya, ngapain saya ngontrak? Mending jadi juragan kontrakannya. Bener gak, Mbok?" jawab Dokter Karina menggebu-gebu, yang disambut dua jempol oleh Mbok Jum.
Haduh! Cocok emang mereka. Satu server kalau soal kesablengan.
"Serah deh, Dok. Serah! Yang waras mah ngalah aja," balasku sewot.
"Emang sejak kapan kamu waras, Mi? Perasaan kita satu server, loh, selama ini," tukas Dokter Karina kemudian. Membuat aku langsung menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali.
Bener juga, sih!