Hening. Setelah pertengkaran itu, Laras langsung masuk ke kamar. Ia tidak mau berhenti bekerja. Bukan karena uang belanja dari Yudha tidak cukup, hanya saja, istri Yudha itu ingin membantu sang ibu angkat. Suratmi--ibu angkat Laras sudah tidak mampu untuk bekerja lagi semenjak sang suami meninggal.
"Kamu masih mau kerja?" tanya Yudha yang baru saja selesai mandi malam karena tubuhnya merasakan gerah luar biasa.
Laras hanya diam saat ini karena malas kembali bertengkar dengan sang suami. Yudha selalu saja mencari celah untuk bisa membuat Laras terpojok. Yudha pandai memanipulasi keadaan. Laras sering disebut hanya benalu yang menginginkan uang dari Yudha.
"Bukannya Mama kamu selalu bilang aku benalu?" tanya Laras dan membuat Yudha sangat kesal.
"Karena dia nggak mau aku lupa nafkah buat Kayla dan Arash. Kamu 'kan tahu kalo Mama dan Papaku sangat menyayangi kedua cucunya!" Yudha kembali menggunakan nada tinggi karena kesal pada sang istri.
"Kenapa harus aku yang selalu ngalah dan terpojok, Mas? Kamu nggak pernah mikir bagaimana perasaanku. Hanya karena aku terlihat dekat dengan Mas Arkan lalu kamu bisa sesuka hati menuduhku! Kamu pikir aku nggak ta ...." Laras tersadar akan satu hal dan tidak mau melanjutkan ucapannya.
"Ta apa?" Yudha mendekat ke arah Laras dengan tatapan penuh amarah.
"Tapi, aku nggak mau resign, Mas. Kita udah pernah bahas ini dari awal kita nikah. Kamu sudah setuju." Entah tepat atau tidak, kali ini Laras berharap Yudha tidak memperpanjang masalah tidak penting ini.
"Kenapa kamu selalu membangkang ucapan suami?!" Yudha masih membentak Laras dan membuat banyak tetangga yang keluar dari rumah mereka.
"Kenapa teriak-teriak Mas Yudha! Ini tengah malam! Kami butuh istirahat!" Teriakan dari luar itu menghentikan amarah Yudha.
Mengapa harus seperti ini? Laras bahkan tidak habis pikir ketika Yudha mendadak marah-marah tidak jelas. Ia tidak merasa membuat kesalahan pada Yudha. Lantas mengapa harus semarah itu pada sang istri.
"Mas, aku besok akan ke rumah, Ibu. Aku nggak kuat setiap kali kamu ada masalah aku yang jadi sasaran. Aku itu istri kamu, bukan sasaran amarah tidak jelas kamu," kata Laras yang kini mulai terisak karena tidak kuat mendapatkan tekanan dari sang suami.
Laras lantas masuk ke dalam kamar karena tidak mau lagi bertengkar dengan sang suami. Tidak mudah bagi Laras memutuskan diam setiap kali menjadi sasaran kemarahan Yudha. Entah anarah karena pekerjaan di kantor atau masalah lainnya. Apakah karena sedang hamil muda dan menjadi sensitif? Entahlah.
Yudha terdiam seketika saat mendengar sang istri menutup pintu kamar dan mengunci dari dalam. Samar-samar terdengar suara isakan tangis Laras. Sudah bisa dipastikan, istri Yudha itu sedang menangis. Yudha hanya bisa mengusap wajah dengan kasar.
Sementara itu, Arkan sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Ia masih sangat sedih saat tahu Laras hamil. Dobel patah hati yang kini dirasakan oleh laki-laki yang kini masih saja berdiri di balkon kamar. Ya, Arkan memutuskan untuk pulang ke rumah kedua orang tuanya di salah satu kawasan perumahan elit di Serpong Gading.
Ya, kedua orang tua Arkana memang memilih tinggal di tempat itu sebelum keduanya meninggal dunia karena sebuah tragedi kecelakaan pesawat beberapa tahun yanh silam. Laki-laki yang kini patah hati itu memilih tidak menjual rumah ini. Kenangan bersama kedua orang tuanya akan selalu abadi di rumah ini. Arkana lalu diasuh oleh sang nenek sejak SMA dulu.
"Arkan, kenapa masih di luar? Kamu nggak takut kalo masuk angin?" tanya sang nenek yang kini berusia hampir tujuh puluh lima tahun itu.
"Nggak bisa tidur, Nek. Aku lagi kepikiran bagaimana menaikkan omset setiap cabang supermarket. Banyak laporan yang menyatakan jika supermarket mengalami penurunan pendapatan. Aku nggak mau ada cabang yang tutup. Kasihan, banyak pegawai yang kehilangan pekerjaan." Arkana berbohong dengan mimik wajah tampak baik-baik saja.
"Benarkah hanya masalah itu?" Sang nenek jelas tidak akan percaya begitu saja pada ucapan sang cucu. "Apa dia masih ada di dalam hatimu?" tanya sang nenek dan membuat Arkana tersedak saliva-nya sendiri.
Ucapan Ningsih--nenek Arkan jelas ditujukan untuk Laras. Tidak mungkin Arkan bisa menjangkau wanita yang dipuja dan dicintainya dalam diam itu sampai kapan pun. Laras akan tetap memilih Yudha sebagai suaminya. Jatuh cinta pada istri orang lain itu sangat menyakitkan; luka yang tidak berdarah, tetapi sangat menyesakkan.
"Maksud Nenek?" Arkan kali ini mencoba menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya.
"Ar ... Nenek itu tahu dan paham bagaimana sifat kamu. Tidak usah berbohong lagi. Kamu pasti sedang memikirkan Laras. Masalah supermarket, saat ini sudah stabil kembali." Ningsih menjelaskan pada sang cucu dengan sabar. "Kalo Laras masih memilih suaminya, artinya kamu harus mundur. Jangan menjadi penyebab dari retaknya hubungan antara suami dan istri," lanjut Ningsih yang merasa sangat prihatin pada sang cucu.
"Kenapa perempuan sebaik Laras harus mendapatkan laki-laki jahat seperti Yudha, Nek?" Arkan masih saja tidak bisa terima dengan apa yang terjadi pada Laras.
"Itu sudah suratan takdir, Ar. Manusia hanya melakoninya saja dalam hidup. Sutradara terbaik tetaplah Sang Pemilik Kehidupan," kata Ningsih yang saat ini berusaha tersenyum pada sang cucu.
Ya, Arkan bahkan lupa ada pemilik skenario kehidupan. Ia hanya memikirkan tentang rasa cintanya pada Laras. Arkan Lupa jika Allah adalah sebaik-baiknya pemberi takdir bagi manusia. Akan tetapi, laki-laki yang kini menatap lurus ke arah luar itu tetap saja belum bisa menerima kenyataan.
"Berpikirlah positif pada setiap orang, Ar. Kamu tidak tahu bagaimana Laras menjalani rumah tangga bersama suaminya. Siapa tahu, Laras justru bahagia bersama dengan suaminya. Hanya saja kadang dalam hubungan rumah tangga itu ada pertengkaran antara suami dan istri. Itu justru jadi bumbu-bumbu sedap yang melengkapi keharmonisan rumah tangga," kata Ningsih yang berupaya agar sang cucu melupakan rasa cinta pada sosok gadis bernama Laras itu.
Ningsih juga mengakui jika Laras adalah sosok gadis cantik, pekerja keras, penyayang dan juga penuh dengan rasa penyadaran tentang dirinya. Laras, meski cantik tidak pernah merasa cantik atau lebih dari perempuan itu. Bagi sosok istri Yudha, kecantikan bukanlah tolok ukur utama yang ada pada wanita. Ada hal lain yang lebih penting daripada sekadar memikirkan kecantikan.
Salah satu bukti pemikiran modern Laras yang membuat Arkan kagum. Kekaguman sosok pewaris banyak cabang supermarket itu tidak hanya sampai di situ saja. Laras, meski hanya lulusan SMK Jurusan Akutansi, sosok yang cerdas dalam segala hal. Wanita yang sedang hamil muda itu mudah menyerap ilmu baru dengan cepat.
"Di rumah sakit milik kita ada Heni Kumalasari, atau Heni Sutha. Dia ibunda dari Yudha. Nenek dengar, dia memanipulasi semua anggaran rumah sakit. Hanya saja belum ditemukan bukti. Pasti ada orang atau Dokter lain yang ikut bekerja sama. Sementara ini, semua Dokter senior sedang berusaha mengumpulkan banyak bukti. Nenek nggak akan segan memenjarakan mereka yang terlibat." Ucapan Ningsih jelas membuat Arkan terkejut.
"Ini sejak kapan kasusnya?" tanya Arkan sambil menutup pintu balkon kamar.
Embusan napas kasar dari Ningsih menunjukkan jika keadaan tidak baik-baik saja. Tidak mudah mengusut kejahatan seorang Heni Sutha saat ini. Bukti-bukti itu seolah hilang atau sengaja dihilangkan. Banyak kasus penggelapan dana untuk pembaharuan alat-alat medis yang tidak sesuai.
"Sudah hampir satu tahun ini dan Nenek masih belum bisa membuka semua kedok wanita licik itu. Kasihan Laras yang punya mertua seperti Heni itu," kata Ningsih yang justru membuat d**a Arkan kembang kempis menahan amarah.
Kini Arkan paham satu hal, Yudha berasal dari keluarga yang tidak beres. Arkan tidak tahu, jika ada ibu dari Nadira yang juga bekerja di rumah sakit milik keluarga Firdaus. Ada banyak hal yang terlewat oleh Arkan karena hanya sibuk fokus pada hatinya. Memang tidak salah, hanya saja waktunya tidak tepat.
"Nek, aku akan bantu urus semua itu. Mereka lupa siapa kita." Arkan kali ini akan melepaskan sejenak masalah perasaannya pada Laras.
"Jangan gegabah, mereka bukan orang biasa. Nenek pernah berpikir akan memecat Heni, tetapi seolah dia tidak membuat kesalahan sama sekali. Ini sangat membingungkan bagi Nenek dan juga tim Dokter senior," kata Ningsih sambil mengembuskan napas panjang.
Arkan kali ini harus memutar otak. Ia tidak tahu dan belum pernah bertemu dengan Heni Kumalasari sebelumnya. Andai wanita itu tidak tersentuh, pasti ada seseorang yang diam-diam melindunginya. Arkan harus fokus mencari siapa orang itu.
Sementara itu, hingga pagi menjelang, Laras tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Rasa kantuknya selalu saja hilang setelah bertengkar dengan sang suami. Pagi ini, sesuai dengan rencana, Laras akan pulang sebentar ke rumah sang ibu. Ia masuk kerja saat siang nanti, masih ada waktu beberapa jam.
Pukul lima pagi, Laras sudah siap dengan semua barang. Yudha mungkin sama masih tidur. Laras sengaja keluar saat hari masih gelap. Meski jarak rumah dengan sang ibu tidak jauh, ia tidak mau kembali ribut dengan sang suami.
"Biar aku antar ke rumah, Ibu." Laras terkejut saat Yudha berada tepat di belakang tubuhnya.
"Ng-nggak usah, Mas. Aku hanya sebentar saja di sana," tolak Laras dan membuat Yudha meraih lengan Laras dengan kasar.