12. Kertas Penting

1096 Words
Arkan menatap ke arah Heni dengan tatapan santai. Ia baru melihat sosok Dokter arogan di rumah sakit ini. Heni memang tampak sangat jelas jika gila hormat dan jabatan. Arkan sangat paham dengan tipe-tipe manusia tidak tahu diri. "Saya hanya ingin berkonsultasi dengan dokter Heni saja. Akhir-akhir ini saya sering merasa tidak nyaman pada punggung belakang saya." Arkan sengaja mengatakan seolah itu adalah ciri-ciri ginjal dalam tubuh bermasalah. "Anda sudah daftar?" tanya Heni dengan nada menghina karena melihat penampilan Arkan yang jauh dari kata sosok kaya raya. "Sudah, tadi kata, Mbak yang dadakan keluar itu Ibu tidak ada. Ya, saya pikir, maksudnya Ibu meninggal dunia. Baru jadi petugas administrasi saja kok suka bikin gosip nggak jelas." Arkan sengaja membuat lelucon pada sosok wanita arogan yang ada di depannya. Heni jelas terkejut ada pasien baru yang berani mengatakan hal itu padanya. Nada bicara anak muda di depannya memang terlihat santai, tetapi mempunyai banyak makna. Salah satu makna negatif itu adalah menggambarkan jika Heni adalah sosok yang sombong. Akan tetapi, bukankah itu fakta? "Maaf, saya ada jadwal besuk pasien. Jika mau, Anda bisa menunggu saya hingga sore," kata Heni yang kini malas meladeni Arkan. Arkan hanya tersenyum sinis pada wanita yang kini berjalan masuk ke dalam lift. Arkan pun langsung menuju ke ruang HRD saat ini. Ia ingin tahu apa yang dilakukan kepala HRD saat ini. Kantor rumah sakit ini sangatlah luas, hanya orang dalam saja yang bisa langsung mencari keberadaan ruangan kepala HRD. "Mas! Mau ke mana?!" Salah satu satpam membentak Arkana saat ini. Arkana yang berkejaran dengan waktu memutuskan untuk menggunakan identitas keluarga Firdaus. Ia memakai lift khusus untuk ke bagian HRD dengan menunjukkan kartu hitam. Pintu itu pun terbuka dan membuat satpam yang meneriakinya terkejut. Pekerja bagian keamanan sudah di-breafing jika ada yang bisa memakai lift khusus itu, artinya mereka keluarga inti Firdaus. "Kok main pecat-pecat saja. Dia asisten saya di bagian administrasi agar tidak sembarang pasien bisa minta diperiksa sama saya. Memangnya saya mau apa nggak dapat bayaran dari mereka? Saya kuliah Kedokteran itu mahal!" Arkan mendengar suara dengan nada tinggi dari seorang perempuan yang kini sedang berada di ruangan kepala HRD. "Belum tentu juga dia Arkana Firdaus yang menghubungi Anda. Apa Anda punya bukti?" tanya perempuan yang tak lain adalah Heni. Arkan diam-diam mengintip dan merekam semua percakapan itu. Ia melihat Rama--salah satu sepupu Arkan yang kini menjabat kepala HRD rumah sakit ini hanya bisa diam. Dokter Heni bukanlah wanita biasa yang bisa dilawan dengan kekerasan. Wanita itu sangat licik dan penuh tipu muslihat. "Saya bisa pastikan jika itu Arkana, sepupu saya. Hanya saja, saya memang tidak mau menunjukkan pesan dari dia. Saya nggak mau membongkar apa pun tentang Arkana. Saya tahu banyak hal, Anda melakukan banyak kejahatan di rumah sakit ini." Rama tidak gentar menanggapi suara tinggi Heni. "Mau setinggi apa pun pangkat Dokter, Arkana-lah pemegang posisi tertinggi di tempat ini. Anda mungkin bisa melakukan apa pun saat ini, tapi saya yakin, Arkan pasti sudah mendengar hal ini," lanjut Rama membuat Heni mengerjab beberapa kali. Arkan menatap ke arah jam dinding di ruangan Rama. Sudah hampir pukul sebelas siang saat ini. Ia harus bergegas keluar dari rumah sakit ini. Perjalanan dari rumah sakit menuju ke tempat kerja membutuhkan waktu hampir dua jam. Jika masih terus di sini, maka Arkan akan terlambat. Arkan langsung berjalan menuju ke salah satu lift umum. Ia berpura-pura baru saja dari bagian tata usaha. Ada satpam yang tadi meneriakinya. Satpam itu menatap penuh curiga pada Arkan. "Mas yang tadi pakai lift khusus?" tanya satpam itu dengan kasar. "Lift khusus itu apa, ya, Pak? Saya baru saja dari bagian Tata Usaha rumah sakit. Saya meminta keringangan biaya untuk perawatan Ibu saya," kata Arkan dengan santai sambil memegang kertas yang ditemukannya di depan ruangan Rama tadi. Arkan juga tidak tahu, kertas itu berisi tentang apa. Hanya saja, ia langsung memasukkan ke dalam saku celana bagian belakang setelah melipatnya menjadi empat bagian. Sang satpam itu tampak masih mengamati Arkan. Laki-laki yang kini memakai kemeja putih polos itu tampak santai. "Kemeja yang dipakai Anda dan orang tadi itu sama, Mas. Boleh saya memeriksa Anda?" tanya sang satpam itu membuat Arkan mengembuskan napas karena geram. "Pak, Anda tahu nggak? Baju yang saya pakai ini jumlahnya ribuan di Tanah Abang sana. Belum lagi di aplikasi belanja online. Anda bisa cek, baju ini lagi banyak diskon. Cek juga cctv rumah sakit, berapa banyak orang yang pakai baju seperti saya ini," kata Arkan sambil menatap kesal pada satpam itu. Sedikit banyak, Arkan tahu, pegawai di rumah sakit milik keluarga besarnya itu ternyata tidak sehat. Tidak sehat dalam artian sakit. Bukan, tetapi mereka seperti ada yang mengendalikan. Arkan belum usai karena belum tahu bagaimana keadaan pegawai senior yang tiga atau empat tahun lagi akan pensiun. "Kami tetap tidak percaya. Anda kami bawa ke tempat pemeriksaan dulu," kata satpam itu membuat Arkan geram. "Lalu apa yang akan Anda dapatkan ketika saya tidak terbukti? Anda sudah siap jika saya membawa kasus tuduhan pada saya ke ranah pihak berwajib? Minimal Anda akan dihukum lima tahun penjara karena tuduhan palsu tanpa bukti juga perbuatan tidak menyenangkan pada saya." Arkan menatap sang satpam hingga pintu lift terbuka di lantai pertama. Satpam itu terdiam seketika dan merasa takut. Ia waspada dengan lawan bicaranya yang ternyata bukan orang sembarangan. Arkan jelas tahu tentang masalah hukum dan kini masih menatap ke arah sang satpam. Tatapan tajam itu membuat satpam itu ciut nyali. "Gimana? Tetap mau bawa saya ke tempat pemeriksaan kalian? Oh, ayolah! Anda harus bekerja lebih baik lagi saat ini. Siapa tahu, orang yang masuk ke lift apa tadi? Ah, siapa tahu orang itu sedang masuk ke salah satu ruangan data rumah sakit ini. Kejahatan banyak terjadi karena satpam dan petugas keamanan terlalu lemah dan selalu berusaha mencari kesalahan orang lain," kata Arkan sambil tersenyum sinis pada sang satpam. Seperti terhipnotis, satpam itu mendadak kembali masuk ke dalam lift setelah menarik keluar Arkan. Arkan hanya bisa menahan tawa melihat kebodohan petugas keamanan itu. Ia lalu segera keluar dari rumah sakit dan menuju ke parkiran untuk mengambil motor dan melajukannya ke supermarket. "Tumben baru sampai, Mas?" tanya Laras saat Arkan baru saja sampai di supermarket. "Eh? Iya, kebetulan ada urusan tadi. Aku ke rumah seseorang," kata Arkan yang merasa tidak menemukan alasan yang tepat untuk Laras. "Mas ... terima kasih sudah mengunjungi Ibuku." Laras mengatakan dengan tulus sambil tersenyum sangat cantik. Degup jantung Arkan masih saja sama; berpacu dengan cepat saat melihat senyum Laras. Entah sampai kapan perasaan ini akan ada di hati laki-laki tampan itu. Mungkin rasa itu tidak pantas, tetapi Arkan tidak bisa mengusir rasa itu. Nama Laras akan terus menetap di hati Arkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD