bc

Conquering Heart

book_age18+
1.0K
FOLLOW
7.3K
READ
fated
forced
independent
drama
tragedy
sweet
first love
lonely
stubborn
like
intro-logo
Blurb

[21+] [CONQUERING SERIES 1]

"Berapa harga lo?”

“Apa?” Bevi terbelalak.

Lelaki itu terlihat lebih dingin. “Berapa harga lo? Gue bayar sekarang juga!”

Bevi memang sering disakiti oleh orang di sekitarnya. Namun, hanya ada satu lelaki yang berniat membelinya di awal pertemuan mereka. Lelaki yang sok berkuasa dan sayangnya, Bevi terjebak oleh kekuasaan itu. Lantas apakah Bevi bisa keluar dari kekuasaan lelaki itu? Di saat seperti itu Bevi mengetahui hal besar tentang hidupnya dan ada hubungannya dengan lelaki bermata dingin itu. Siapkah Bevi disakiti lagi? Atau justru dia mengalami sesuatu yang baru yang selama ini dia cari?

chap-preview
Free preview
1-PERDEBATAN AWAL
“Lo bilang nggak akan ke sini? Kenapa sekarang malah nongol? Nggak kuat, kan, lo ngebayangin ada mobil baru di sini?” Lelaki dengan jas hitam tanpa dasi itu tersenyum kecil. Dia memperhatikan temannya yang mengenakan kemeja putih dengan kedua kancing teratas yang dilepas itu dengan senyum simpul. Kemudian pandangannya tertuju ke area showroom yang dipadati oleh pengunjung dengan pakaian yang cukup rapi. “Emang kenapa kalau gue ke sini? Ini tempat umum, kan? Bukan kamar lo yang katanya privasi dan nggak boleh ada yang masuk itu.” Birzy menjawab dengan sengit. Raka membuang muka sambil menggaruk belakang kepala. Dia mengembuskan napas kemudian menatap Birzy. “Ya udah terserah lo.” “Emang. Ini hidup gue, jadi terserah gue mau ngapain.” Birzy meninggalkan Raka setelah mengucapkan itu. Dia berjalan dengan satu tangan berada di saku celana sambil sesekali memperhatikan mobil keluaran terbaru yang berjajar rapi. “Bir! Mobil merah yang di sana bagus. Kali aja lo pengen beli.” Raka berteriak sambil menunjuk mobil merah yang berada di paling pojok. Dia mendengus saat Birzy justru tidak menoleh ke arahnya itu. Birzy memang sengaja tidak mendengarkan ucapan Raka. Bisa-bisa dia termakan ucapan sahabatnya untuk membeli mobil. Tidak, mobil di rumahnya sudah cukup banyak hingga garasi rumahnya penuh. Dia masih memikirkan membuat garasi baru, tapi dia harus membujuk mamanya. Sedangkan di apartemen dia terbatas untuk membawa mobil yang cukup banyak. “Huh....” Birzy mengembuskan napas kemudian mengelilingi area showroom. Tanpa sadar Birzy melangkah menuju area paling pojok. Dia melihat beberapa orang berdiri di samping mobil merah dengan logo kuda. Seketika Birzy memiringkan kepala. Dia memperhatikan dan menyadari itu mobil incarannya. Dia bertolak pinggang sambil berpikir apakah akan membeli mobil itu atau tidak. “Beli aja. Daripada lo nyesel.” Raka tahu-tahu berada di belakang Birzy. Wajahnya tampak menggoda sahabatnya yang terlihat bingung itu. “Terus kita cari cewek-cewek buat ikut naik ke mobil itu. Gue punya kenalan baru, ini selera lo banget.” “Kayak lo tahu aja.” Raka menepuk pundaknya. “Jelas gue tahu tipe cewek idaman lo kayak apa,” ujarnya seolah bangga. “Nanti gue boleh, kan, pinjem mobilnya? Jadi, lo bayar aja sekarang. Kartu kredit lo mana? Mau gue bantu urus semuanya? Lo tinggal nunggu mobil itu di garasi rumah lo. Ide bagus, kan?” Birzy bergeser menjauh. Dia berbalik dan menatap Raka sengit. “Enggak!” balasnya lalu berjalan menjauh. Wajahnya masih terlihat bingung tapi sebisa mungkin dia tidak akan berbalik menatap mobil tadi. Akhirnya Birzy memutuskan berjalan menuju lantai dua. Dia ingin menemui pemilik showroom, Barry—teman SMA-nya dulu. Tadi pagi Barry meneleponnya memintanya datang, tapi Birzy menjawab tidak akan datang. Mungkin ini saat yang tepat untuk melihat bagaimana Barry bekerja, mengingat saat di lantai bawah tadi Birzy tidak melihat temannya itu sibuk. Brak. “Sial!” Birzy mengernyit mendengar teriakan itu. Dia melangkah dengan kedua tangan berada di saku dan pandangannya terarah ke depan. Mata cokelatnya tampak tajam, begitu pula sudut bibirnya yang tidak tertarik sama sekali. Ekspresi seperti itu terlihat begitu dingin bagi siapapun yang melihat. “Kenapa, sih, tuh orang nyuruh-nyuruh gue? Daritadi gue nggak berhenti. Bahkan buat minum aja susah. Hish!” Perhatian Birzy tertuju ke perempuan yang mengenakan rok span hitam di atas lutut dengan kemeja putih yang berdiri membelakanginya. Dia melangkah hingga berjarak beberapa langkah dari perempuan itu. Tangan Birzy terangkat, menepuk pundak perempuan di depannya. “Apa lagi, sih? Bisa tolong biarin gue bernapas?” Perempuan itu menggerang frustrasi. Kedua tangannya meremas sisi kepala lalu menunduk. Tak lama terdengar helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Birzy geleng-geleng. Perempuan di depannya menghalangi langkahnya untuk menuju ke ruangan Barry. Dia kembali menepuk pundak wanita itu. “Apa lagi? Apa lagi?” Perempuan itu berbalik, memperlihatkan wajahnya yang memerah dengan make up yang cukup berantakan. “Gue disuruh angkat kardus minuman buat tamu spesial? Gue disuruh gantiin anak pemasaran yang capek ngomong biar ada mobil yang terjual? Gue sendiri juga capek!” Satu alis Birzy tertarik ke atas. Dia memperhatikan perempuan di depannya dengan saksama. Hingga perhatiannya tertuju ke mata cokelat cerah yang terlihat sedikit sayu itu. Sontak Birzy membuang muka, kemudian mendorong pundak di depannya hingga berhasil melewati wanita itu. “Haish! Dasar nggak tahu sopan santun! Lo anak pemasaran yang katanya bakal dateng itu, kan?” Bevi langsung memaki. “Atau lo mau cari muka di depan bos? Cari muka aja sana kalau bisa. Dasar, cowok dingin aneh. Kenapa, sih, gue ketemu orang yang nyebelin hari ini? Apalagi lo!” Birzy menghentikan langkah. “Lo anak baru?” “Kalau iya emang kenapa? Lo mau ngejek karena gue anak baru? Hei, meski gue anak baru tapi kerjaan gue udah banyak. Bahkan gue merasa jadi dibodohin sama mereka. Dasar!” Satu alis Birzy tertarik ke atas. “Lo berani ngomong gitu? Oke!” Setelah mengucapkan itu Birzy masuk ke ruangan Barry tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Hei! Lo nggak bisa masuk seenaknya! Bos lagi tidur! Woi! Jangan nekat!” Brak! Birzy langsung menutup pintu dengan kencang.   ***   “Dasar! Siapa sih dia? Seenaknya sendiri. Biar tahu rasa nanti dimarahin Pak Barry.” Bevi mengembuskan napas. Dia menunduk, menyibak rambutnya ke belakang kemudian mengangkat kepala. Sepersekian detik dia tersadar, lelaki yang masuk ke ruangan bosnya tadi tidak kunjung keluar. Itu artinya.... “Tidak!” Bevi menggeleng tegas. Dia berlari mendekati ruangan dan mengintip dari celah jendela. Samar-samar dia melihat lelaki tadi duduk di tempat duduk bosnya, sedangkan bosnya duduk di sofa. Tanpa sadar Bevi menutup mulut. Seingatnya, Bevi baru bekerja sekitar tiga bulan yang lalu. Meski begitu dia hafal betul karakter bosnya. Barry memiliki sifat yang tidak mau mengalah dan suka memerintah apapun sesuai kehendaknya. “Kalau gitu....” Bevi menurunkan kedua tangan dari mulut. Dia mengusap peluh yang mulai menetes di pelipis. “Permisi, Kak.” Sontak Bevi menoleh. Dia memperhatikan lelaki dengan rambut cepak dengan kemeja putih dan celana hitam. Lelaki itu memakai name tag dengan logo showroom mereka. Bevi menelan ludahnya gugup. “Lo anak pemasaran itu?” “Iya. Gue disuruh ketemu Pak Barry kalau udah dateng. Gue bisa ketemu sekarang?” “Jadi, yang di dalem....” Tanpa sadar Bevi menyentuh kaca yang terasa dingin. Dia melihat lelaki berjas hitam tadi masih duduk di tempat bosnya. Diam-diam Bevi memperhatikan. Lelaki yang barusan dia temui terlalu tampan untuk menjadi seorang pegawai pemasaran. Wajahnya putih bersih, alisnya tebal dan rapi, tatapan matanya tajam, hidungnya mancung dan bibirnya terlihat penuh dengan warna pink alami. Ditambah, tidak mungkin pegawai pemasaran itu memakai setelan rapi. “Kak. Gue boleh ketemu?” Lelaki di belakang Bevi mulai tidak sabaran. Apalagi, dia ingat saat melihat rekan lainnya mulai sibuk meladeni tamu. “Tentu!” Bevi kembali menoleh sambil menelan ludah dengan gugup. Tangannya bergerak ke arah pintu dan mengetuknya pelan. “Gue bantu ketuk pintunya.” “Makasih.” Bevi tersenyum kecil. Dia menarik napas panjang dan berdiri tegak. Tak lama, pintu ruangan bosnya terbuka. Mata Bevi membesar melihat Barry menatapnya dengan tajam. “Pak. Saya... saya... Ini pegawai pemasaran yang baru datang. Dia....” Pandangan Barry tertuju ke lelaki di samping Bevi. “Bantu anak-anak di bawah.” “Baik, Pak.” “Bevi, ikut saya.” Setelah mengucapkan itu Barry berjalan masuk. Bibir Bevi terbuka. Dia merasa tidak melakukan kesalahan sampai-sampai bosnya memintanya masuk. Sedetik kemudian, dia tersadar. Dia memang melakukan kesalahan kepada lelaki tampan yang dingin itu. “Ya ampun!” Bevi menyugar rambutnya ke belakang. Dia menarik napas panjang lalu berdiri tegak. Dia harus terlihat tidak merasa bersalah. “Ah, kesahalahku nggak besar.”   ***   Birzy melipat kedua tangan di depan d**a. Pandangannya tertuju ke perempuan dengan rambut yang berantakan itu. Dari posisinya dia juga melihat ada keringat dingin keluar dari pelipis perempuan itu. Belum lagi bibir tipis terpoles lipstik yang hampir hilang itu sesekali mencebik. Birzy menyadari gadis itu tidak betah dengan situasi seperti ini, tapi dia tidak kunjung bersuara. Sebenarnya Birzy tidak ingin repot-repot mengurus perempuan yang tadi memakinya, tapi Barry tahu-tahu mengajak perempuan itu berhadapan dengannya. Bevi melirik lelaki yang duduk di atas meja dan tengah menatapnya itu. Aura sekitar mendadak tidak enak. AC di belakangnya seolah mengembuskan hawa panas, bukan dingin yang menyejukkan lagi. Bevi merasa lelaki di depannya terlalu mengintimidasi. Dia merasa tidak banyak memiliki salah tapi lelaki itu seolah bertingkah dia melakukan kesalahan fatal. “Jadi, Bapak nggak akan ngomong?” Bevi berhasil mengeluarkan pertanyaan. Birzy mengembuskan napas. “Lupakan!” Dia turun dari meja kemudian berjalan menuju pintu. Saat melewati Bevi, dia mendengus pelan. Setelah itu dia berjalan keluar dengan lengkah mantap. “Gitu doang?” Bevi menoleh, melihat lelaki dengan rambut yang melebihi kerah itu berjalan keluar. Dia geleng-geleng lalu mengembuskan napas hingga anak rambut yang menutupi keningnya bergerak ke atas. “Emang dia siapa, sih? Sok-sokan banget jadi orang.” “Siapa yang kamu maksud?” Barry tiba-tiba berjalan masuk. “Kamu benar-benar tidak tahu siapa dia?” Bevi menggeleng pelan. Dia merasa itu bukan pelanggan, jelas seorang pelanggan tidak mungkin bertindak sesukanya terhadap bosnya. “Sepupu Pak Barry, mungkin,” jawabnya dengan suara pelan. Barry menggeleng pelan. “Dia ada saham juga di sini, dia sering bantu saya. Dan kamu berbuat sesukamu di hadapannya.” Mata Bevi membulat. Tubuhnya yang terasa panas, kini terasa semakin panas. “Tapi saya tidak sengaja, Pak.” “Tidak sengaja?” tanya Barry sedikit ragu. Dia berjalan masuk, duduk di kursi kebesarannya lalu menatap Bevi. “Sepertinya, saya tidak bisa memperpanjang kontrak awalmu. Kamu terlalu sering memaki pelanggan.” “Pak. Saya mohon.” Bevi berjalan mendekat. Dia menarik kursi, duduk di hadapan bosnya dengan wajah memohon. “Pak saya mohon. Saya harus membayar kontrakan.” “Saya kasih kamu gaji terakhir. Kamu bisa tenang.” “Tapi, Pak.” Wajah Bevi semakin terlihat memelas. Air matanya mulai berdesakan keluar. Dia pikir, dia bisa bekerja di tempat ini lebih lama. Namun, apa yang dia harapkan sepertinya terlalu jauh. Selalu saja pekerjaannya berakhir dengan cara yang mengenaskan. Kali ini, tidak ada hubungannya dengan masa lalunya, tapi hanya masalah sepele yang seharusnya bisa diatasi. “Jadi, kenapa kamu masih di sini?” Suara Barry mulai terdengar. Bevi tergagap. Dia menatap bosnya dengan pandangan mata berkaca-kaca, tapi Barry sama sekali tidak iba kepadanya. Sepertinya Bevi tidak bisa melakukan hal lain meski dia belum terima karena tiba-tiba dipecat. “Saya tunggu gaji terakhirnya, Pak,” ujarnya sambil berdiri. “Hish! Dasar nggak sopan!” Barry geleng-geleng. Kali ini Bevi tidak berusaha sopan lagi kepada Barry, dia sudah bukan bawahan lelaki itu. Dia berjalan keluar dengan kepala tertunduk lesu. Samar-samar dia mendengar keramaian yang berada di lantai satu. Dia memperhatikan dari kejauhan, hingga melihat dua lelaki berpakaian rapi yang asyik mengobrol. Mata Bevi memicing. Dia ingat dengan lelaki berambut cepak dengan alis tebal dan mata dingin yang menyorot. Kedua tangannya terkepal, gara-gara lelaki itu dia dipecat dengan alasan yang tidak jelas. “Gue nggak terima diginiin.” Bevi tiba-tiba menuruni tangga. Arah pandangnya tertuju ke lelaki yang belum menyadari kedatangannya itu. Justru lelaki itu tersenyum kecil dan masih asyik mengobrol dengan temannya. Hingga akhirnya Bevi berhasil berdiri di depan lelaki itu. “Bapak Dingin yang terhormat.” “Wah! Gebetan baru lo?” Raka yang lebih dulu sadar seketika memperhatikan Bevi. “Gue belum pernah lihat lo.” Birzy menoleh. Dia mengernyit melihat perempuan tadi menatapnya dengan sorot tajam. Saat melihat iris mata cokelat cerah itu, Birzy seolah dihantam oleh rasa yang aneh. Dia membuang muka lalu berjalan begitu saja. “Gue balik, Ka,” pamitnya ke Raka. “Tunggu!” Bevi tidak bisa tinggal diam. Dia menarik tangan Birzy tapi lelaki itu tidak menoleh kepadanya. “Anda tidak bisa berbuat seperti ini ke saya!” “Lepas!” “Enggak!” Bevi semakin mencengkeram kedua tangannya di lengan kekar Birzy. “Lo harus tanggung jawab! Lo harus tanggung jawab.” Birzy melirik ke kiri dan ke kanan. Dia menyadari, semua pasang mata terarah kepadanya. Perlahan dia menarik tangan Bevi, tapi gadis itu semakin mencengkeramnya. “Berapa harga lo?” “Apa?” Bevi terbelalak. Birzy menoleh, matanya kali ini terlihat lebih dingin. “Berapa harga lo? Gue bayar sekarang juga!”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
928.2K
bc

HYPER!

read
558.9K
bc

Partner in Bed 21+ (Indonesia)

read
2.0M
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
312.0K
bc

Will You Marry Me 21+ (Indonesia)

read
613.9K
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
285.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook