Tiga

1027 Words
Miura Wangi lembutnya jasmine berpadu green tea pada reed diffuser3 yang ku beli di bandara kemarin menyambutku pukul tujuh pagi. Senyumku mengembang mengingat bahwa hari ini aku terbangun dengan perasaan yang begitu berbeda, in a good way tentunya. Tak ada calling-an pagi pagi buta disaat mata ini masih ingin terpejam dan belum siap melihat apapun. Dan sekarang rasanya aku masih ingin meringkuk di balik selimut putih tak bermotif ini lalu bermalas-malasan sepanjang hari. Tapi aku tak mau membuang waktu dan melewatkan semua yang bisa terjadi di hari kedua aku melarikan diri. Aku pernah membaca satu buku, tapi aku lupa pernah membaca dimana karena buku itu bukan milikku. Mungkin saja di toko buku saat aku sedang melihat-lihat. Dalam buku itu ada satu kutipan bagus dari Ernest Hemingway -penulis asal Amerika- yang begitu cocok dengan keadaanku saat ini. Tertulis di buku itu, “You can’t get away from yourself by moving from one place to another”. Aku memang sedang melepaskan diri dari berbagai tekanan. Tapi aku pun tahu dengan pelarian ke tempat yang berbeda ini tidak akan benar benar melepaskan diriku dari apa yang aku benci. Aku hanya sedang ingin berusaha untuk mengerti apa yang aku mau. Aku ingin membebaskan diriku setidaknya satu kali seumur hidup untuk melakukan yang sejujurnya diriku inginkan. Dan aku rasa menjadi egois sekali kali bukan masalah yang besar. Akhirnya dengan perasaan bahagia aku beranjak dari ranjang dan bergegas menuju kamar mandi. Ketika langkah ku terhenti di depan lemari, aku sedikit terharu saat melihat isi lemariku yang masih belum begitu penuh di kamar. Tak ada heels, baju-baju yang membosankan, properti foto, atau apapun yang berhubungan dengan pekerjaanku. Kini lemariku hanya penuh sesak oleh banyaknya mantel. Aku hanya membuang waktu enam puluh menit untuk bersiap. Dan sekarang aku sudah berada di lift lantai sepuluh menuju lantai dasar, lengkap dengan satu tas kamera yang kecil yang menggantung di bahu kananku. Pintu lift terbuka setelah dua kali bunyi dentingan halus, bersamaan dengan itu ponselku berbunyi tanda ada panggilan masuk. Dari Erland… Aku mengalah. Aku tak ingin bersikap lebih jahat lagi karena mengabaikan panggilannya yang entah sudah berapa kali ini. Mungkin dia menelepon karena ingin memutuskan hubungan? Atau bilang dia sudah bosan denganku yang selalu dianggapnya seperti anak kecil ini? We’ll never know, maka aku angkat saja.  “Apa?” aku sama sekali tidak memperdengarkan suara yang ramah. “Kamu dimana sih?” Bahkan isi pesannya selalu bertanya hal yang sama. “Aku tunggu di apartemen kamu sekarang.” Perintahnya. Mendengar itu aku hanya memutar bola mata tanda malas. “Udahlah kita mending nggak usah ketemu dulu, biar kamu juga tenang dan nggak melulu pusing sama aku.” “Kamu cuma bisa menghindar dan menghindar. Apa sih mau kamu? Pulang! Aku jemput kamu sekarang.” “Jemput dimana? Pokoknya yang aku mau, kamu nggak usah telepon aku!” Aku memutuskan sambungan sepihak. Dan langsung mematikan ponsel agar tidak ada lagi teriakan- teriakan seperti tadi. Apa harus dia merusak pagiku yang satu jam lalu masih aku anggap indah? Karena tiba-tiba saja aku merasa pagiku telah mendung setelah berbicara dengannya di telepon tadi. Begitu aku menyadari sekitar, banyak orang berlalu lalang di pintu masuk gedung apartemen sambil melihat kearahku. Bahkan penjaga yang bertugas menjaga apartemen pun mungkin terheran-heran karena teriakanku barusan. Untuk menghindar dari rasa malu aku hanya tersenyum tipis dan langsung bergegas keluar dengan langkah yang agak cepat. Erland adalah orang yang pernah aku anggap paling berarti di hidup ini. Dengan Erland, setidaknya aku punya seseorang yang bisa diandalkan. Dia adalah satu-satunya orang yang mengurus kepindahanku dari rumah tanteku menuju apartemen di Singapura. Dari mulai mengemas barang, membereskannya, sampai membeli banyak alat rumah tannga untuk melengkapi apartemen kosong waktu itu. “Aku bahkan nggak tahu harus pilih sofa yang mana,” kataku waktu itu, saat kami sedang hunting perabotan rumah untuk apartemen baruku. “This blue one, cocok sama tema ruang TV kamu,” Erland menunjuk dan menduduki salah satu sofa yang dianggapnya menarik, yang langsung membuatku tertarik juga. Sofa berbentuk L dengan bahan bludru berwarna biru denim pilihannya yang akhirnya aku beli. “Bahannya juga bagus kan? Ini nyaman buat kita nonton series sambil makan popcorn caramel kesukaan kamu” dia tersenyum sambil menyentuh puncak kepalaku seperti yang selalu dilakukannya. Tapi itu dulu, sebelum dia berubah. Atau mungkin Erland memang tidak pernah berubah. Bahkan series yang dulu selalu kita nantikan bersama setiap jam tujuh malam mungkin juga merindukan kita, Land. Sama halnya aku merindukan kamu yang penuh kelembutan layaknya di awal kita menjalin hubungan empat tahun lalu. Aku benci menghindari kamu seperti ini, tapi aku lebih benci menghadapi kamu yang selalu mementingkan diri kamu sendiri. ______      Nitya Aku tidak pernah merasa terkejut seperti ini sebelumnya. Orang yang baru saja menghubungiku tadi pagi membuat seluruh bulu kuduk merinding. Bahkan aku mendadak tidak fokus menyiapkan bahan presentasi ku siang ini. Aku hanya duduk mematung di atas kursi belajarku dan kembali mencerna percakapan kami di telepon tadi. “Nit, akhirnya aku tahu dia dimana.” Ucap Gilsha, Kakak perempuan dari calon tunanganku. Sesaat setelah kami saling bertanya kabar masing-masing. Ini kedua kalinya kami berbincang lewat telepon. “Kakak nggak bercanda kan?” Aku terkejut, dan rasanya detik itu juga aku ingin pulang ke Indonesia demi mengobrol langsung dengan Gilsha. “Aku serius banget. Nanti kalau waktunya tepat, aku akan coba hubungi dia dan bicara tentang kalian.” Katanya di ujung sana. Entah aku harus merasa sedih atau senang dengan keadaan ini. Kenyataan bahwa akhirnya keluarganya sudah tahu tentang keberadaannya lagi membuatku lega. Tapi, apa dia masih mau membahas tentang hubungan kita yang amat sangat menggantung ini dengan kakaknya? “Kayaknya nggak usah deh kak, aku takut dia masih marah.” Aku yakin nada bicaraku terdengar khawatir kali ini. “Tapi sampai kapan kalian kayak gini, kalau satu diantara kalian nggak ada yang mau bicara.” Kalimat Gilsha membuatku diam sesaat. Aku terlalu pengecut untuk bertanya tentang keadaanya, apalagi membicarakan sesuatu yang mungkin tak akan pernah mau dibahasnya lagi. Lewat Gilsha lah aku seakan memata-matai calon tunangan yang telah aku sakiti hatinya itu. Kalian tahu, ketika tak pernah ada ketenangan dalam hidup dan yang bisa kulakukan hanya diam menyesali semua yang telah terjadi. Sekalipun aku sering mengelaknya bahwa masalah kami bukan benar-benar kesalahanku. Tapi mungkin dimatanya aku tak lebih dari seorang perempuan yang terlalu banyak menuntut dan pada akhirnya meninggalkan dia tanpa kalimat perpisahan sedikitpun. Sebaiknya aku pergi ke kampus sekarang, sebelum semuanya menjadi semakin runyam.        _____________________ 3     Diffuser yang terbuat dari rotan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD