Dua

1218 Words
Miura Aku memaksakan seulas senyuman saat memasuki studio foto bercat putih yang elegan milik Erland dan mendapati dia sedang sibuk dengan kameranya. Aku tak menemukan siapapun disana. Hanya Erland yang setengah duduk di meja dengan satu kaki menggantung, Nikon kesayangannya, dan alat foto lain yang masih belum dirapikan. “Hai Babe,” sapaku hati-hati sambil menaruh tas di atas meja kerjanya. Kali ini aku sedang berada dalam panggung sandiwara versi diriku. Erland bergeming. Dia tak balik menyapaku, apalagi tersenyum. Wajahnya datar seolah keberadaanku memang tak disadarinya. “Hei kamu kenapa?” Aku menarik ujung dagu nya demi menyadarkan dia bahwa aku ada di sampingnya. Wajah datarnya berubah dan menimbulkan kerutan di keningnya yang lebar. “Dari mana aja kamu?” Tanya dia dengan nada yang sama sekali tidak ramah. Aku menatapnya mengerti. Ini pasti karena aku tak menjawab panggilan teleponnya tadi siang. “Aku baru datang loh, kok kamu marah?” Aku bertanya basa-basi. “Kamu lupa hari ini ada apa? Lupa?!” Tubuhnya yang atletis berdiri tegak menghadapku, aku tak melepaskan tatapan mataku padanya walaupun aku harus sedikit menengadah karena perbedaan tinggi badan kami yang cukup jauh. “Aku inget. Sama sekali nggak lupa,” jawabku jujur. Dengan jawaban semacam ini aku tahu aku telah menimbulkan masalah diantara kami. Hari ini seharusnya aku berdiri di tengah ruangan studio, memakai semua baju koleksi musim panas milik Chuu1, berpose di depan kamera, dan mendengarkan semua arahan Erland demi hasil foto yang memukau. Tapi aku malah melewatkannya karena demi tuhan aku sedang bosan.  Erland, anak dari pendiri agensi model terbesar ke lima di Singapura ini akan berubah menjadi pemarah jika sesuatu hal terjadi dan menghambat pekerjaannya. Persis seperti yang baru saja aku lakukan. “Jadi kamu sengaja gak datang ke pemotretan kita hari ini?” Suara lantangnya seakan tersebar ke seluruh sudut ruangan. Seakan sudah tahu arah pembicaraan kami, aku mencoba untuk mengatakan sebenar-benarnya yang aku rasakan. “Aku capek Land. Boleh nggak sih aku libur satu hari aja?” Aku memanjangkan kata ‘hari’ seperti tanda permohonan sambil mengacungkan jari telunjukku. Pekerjaan ini terlalu menuntut waktuku. Tak ada me time yang bisa aku lakukan di setiap weekend nya. Jangankan pergi ke salon, untuk sekedar duduk sambil minum teh di balkon kamarku saja rasanya sulit sekali. Hari-hari ku hanya di penuhi oleh baju-baju dari berbagai brand yang hendak mengiklankan produk mereka. Satu satu nya waktu luang yang aku punya hanyalah untuk tidur, dan menemani Erland demi melakukan pekerjaan sebagai ‘pacarnya’ kemana pun dia memintaku untuk ikut dengannya, that’s it. “Aku juga capek untuk ingetin kamu kalau kita gak punya banyak waktu buat seneng-seneng Miw. Agensi kita sibuk, papa akan marah kalau kita banyak buang waktu kayak gini!” Erland semakin meninggikan suaranya. Ya itulah dia, selalu berlindung dibalik kata ‘papa’. Aku pun lelah menghadapi kamu yang seperti ini, Erland. “Kamu gak bisa apa cari orang lain buat ganti aku? Aku capek Land sama kerjaan ini yang gak pernah kasih aku kebebasan buat…” “Miura! Kamu emang gak pernah ngertiin aku ya! Udah untung juga kamu kerja sama aku!” Dia bahkan memotong kalimatku hanya untuk mengatakan hal bodoh macam itu. Hening sejenak. “Gila kamu Land mikir kayak gitu!” Aku melangkah pergi setelah menarik tasku yang sedari tadi menjadi saksi bisu pertengkaran kami. Tapi seperti yang selalu dia lakukan, dia menarik tanganku untuk kembali meributkan hal yang aku anggap tak penting. Erland adalah tipe manusia yang tak bisa membiarkan seseorang yang sedang ia ajak bicara pergi meninggalkannya tanpa menyelesaikan masalah yang belum menemukan titik terang. Sementara aku selalu tak mau ambil pusing saat emosi dalam diriku semakin memanas. “Kita belum selesai bicara,” tangannya sibuk menahanku agar tidak pergi. “Terserah tapi aku udah males ngomong sama kamu!” Aku pergi meninggalkannya di ambang pintu studio, dia terus meneriaki namaku tapi siapa peduli? Aku lebih memilih menyelamatkan telingaku dari omelan-omelannya yang selalu membuatku muak. Tiba-tiba saja aku kembali teringat pada kejadian itu, dimana enam hari sebelum aku memilih pergi menjauh darinya. Sampai malam ini, saat aku baru saja selesai membereskan apartemen baruku di Boston, sudah ada 6 missed call dari Erland yang tak aku hiraukan sejak tadi pagi. Aku memang sudah pergi menjauh darinya, tapi bayang-bayang nya selalu saja menggangguku. Dia bilang aku tak mengerti dirinya? Lalu apa yang selama ini aku lakukan? Bukankah aku yang selalu mengalah di atas semua keegoisannya, bukankah aku yang selalu memperdulikan dirinya sebelum diriku sendiri? Ah sudahlah. Kejadian itu hanya sebagian adegan kecil dari pertengkaran kami. Sisanya? Maaf sudah terlalu banyak ketidaksamaanku dengan Erland, aku bahkan sampai tidak ingat berapa kali kita bertengkar dalam satu hari. Waktu menunjukkan pukul tiga sore sementara koper beserta isinya masih berserakan di lantai kamarku. Aku mengambil alat-alat mandi yang belum selesai aku rapikan di kamar mandi baruku yang lengkap dengan bathub putih di sudut ruangan. Lalu bergegas menyelesaikan semuanya, tidak sabar untuk memanjakan tubuhku yang sudah lengket ini di dalam bathtub. Empat puluh lima menit kemudian aku sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih membungkus rambutku yang basah. Sambil menikmati satu cangkir teh melati, aku berdiri di depan kaca jendela besar ruang TV apartemenku. Menatap jalanan Massachusetts yang dipenuhi oleh kendaraan yang masih berlalu-lalang. Sudah berapa lama aku tidak menikmati hal macam ini, aku sampai lupa kapan terakhir kali aku bersantai. Tenang saja, mulai nanti malam aku bisa melakukan semua hal yang mustahil aku lakukan beberapa waktu lalu, dan besok adalah hari dimana kebebasan ku akan dimulai seutuhnya. Selamat datang ketenangan. Lost milik Michael Bublé mengalun di seisi ruangan. Aku mencoba mencari hal yang akan kulakukan sebelum beristirahat, karena aku mulai merasakan pusing kepalaku menyerang lagi akibat kurang tidur selama di pesawat. Dan satu-satunya yang muncul di kepalaku adalah menghubungi Nitya. ____ Nitya Syukurlah perpustakaan tidak penuh, aku bisa dengan bebas memilih tempat duduk. Aku masih menyelesaikan sketsa tugasku yang menumpuk, padahal sekarang sudah pukul sembilan malam. Belum lagi presentasi design yang harus aku selesaikan hari ini. Tempat paling waras untuk mengerjakan tugas hanyalah perpustakaan. Jika sudah sampai di studio2 tinggalku, maka rencana untuk mengerjakan tugas pasti buyar. Sementara mejaku penuh dengan alat alat gambar, ponsel yang sedari tadi diam mematung di sebelahku tiba-tiba berdering. Panggilan dari Miura yang tengah asik menikmati masa pelariannya. Bukankah dia tahu ini jam sibuk bagiku? Kenapa juga masih nekat menelepon. “Hmmm?” Jawabku singkat setelah memasang earphone ke telinga. “Gitu amat sih, bisa kali ngobrol. Gue bosen nih,” keluh nya di ujung sana. “Sekitar empat jam lagi gue free, so hubungi gue di jam itu ya.” Tanganku yang masih sibuk mencoret-coret kertas gambar sama sekali tidak tertarik untuk berhenti. Perbedaan waktu yang cukup jauh kadang membuat kami sulit berkomunikasi semenjak aku pindah ke Belanda dua tahun lalu, ditambah sekarang Miura sudah berada di belahan dunia yang lain.“Tahajud aja gue sekalian kalau gitu, yaudah tahun depan gue telepon lo lagi,” nadanya kesal, tapi aku tertawa dan akhirnya menghentikan kegiatanku. “Lo tau kan gue sibuk jam segini. Banyak nih kerjaan gue.” Aku mulai meregangkan otot-otot jariku. “Iya iya gue tahu. Yaudah selamat berpegal ria bikin sketsa,” ejeknya disusul tawa. “Miw… Ingetin gue untuk cerita tentang dia ya nanti pas kita teleponan lagi.” Aku menatap kosong ke arah jendela di samping kursiku. “Gengsi amat lo, bilang aja kangen,” “Berisik lo udah sana ah!” Aku melepas earphone dengan malas. Biasanya saat kami berada di satu tempat yang sama, percakapan seperti ini akan berakhir dengan melempar benda apa saja yang ada di dekat kami. Menyinggung soal kalimat terakhir Miura, Jika iya aku merindukan seseorang, kenapa sampai saat ini aku tak pernah berani untuk menghubunginya?              ____________________ 1     Brand fashion Korea 2     Tipe unit apartemen dengan ukuran kecil dan mempunyai ruangan yang multifungsi
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD