Satu

1146 Words
Miura Tahu kan betapa seru nya menghabiskan waktu di tempat asing seorang diri? Atau hanya aku yang bisa merasakan sekaligus menikmati hal ini? Sejak aku beranjak remaja, entah kenapa menyendiri adalah sesuatu yang sangat aku sukai. Mungkin karena aku juga sudah terpisah dengan saudara kembarku di usia kami yang ke lima belas tahun. Menyendiri versiku adalah belanja sepatu, pergi ke bioskop, atau hanya sekedar membeli Ice chocolate di kafe. Aku juga bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk diam menyendiri, membaca novel kesukaanku dimana pun tempat yang aku anggap nyaman. Tapi bukan berarti aku seorang yang anti sosial atau semacamnya ya. Kali ini, lagi lagi novel The Fault in Our Stars milik John Green yang menemani perjalananku menuju “tempat pelarian”. Entah sudah berapa puluh kalinya buku ini ikut denganku, sepertinya aku harus mulai mencari buku baru untuk menemani setiap perjalananku kelak, karena novel ini sudah mulai lecek saking seringnya aku baca. Anyway, ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Mulai dari pekerjaan, keluarga, pacar, sampai apa yang sebenarnya ingin ku lakukan. Maka dari itu aku butuh tempat pelarian untuk setidaknya mencerna semua masalah yang menggumpal di kepalaku. Bukan pergi ke tempat yang spesial, bukan juga tempat yang pernah aku datangi sebelumnya, yang jelas aku butuh tempat dimana aku tak bisa menemukan siapapun yang tak ingin aku temui saat ini. Rasa lega menyerang diriku begitu pesawat yang ku tumpangi mendarat dengan sempurna. Menghabiskan waktu kurang lebih seharian -entahlah, aku sendiri  tak ingat- di dalam pesawat dengan harga yang hampir mendekati harga sepatuku ini amat sangatlah menyiksa. Sepanjang perjalanan yang kurasakan hanya rasa mual dan pusing akibat setiap goncangan angin yang besar, baru lima menit di udara saja rasanya aku ingin cepat sampai. Aku bahkan tidak bisa tidur sepanjang perjalanan. Novel yang tadinya aku andalkan untuk menemaniku ini hanya duduk manis di pangkuanku karena ternyata aku tak bisa membacanya saat pesawat mulai terbang di udara. Belum lagi keterlambatan penerbangan yang membuatku harus menunggu lama. Aku bersumpah ini akan menjadi pengalaman pertama dan terakhirku naik pesawat macam ini. Aku melepas sabuk pengaman lalu berdiri mengambil koper kecilku dan juga tas kamera kecil di bagasi kabin, dan buru-buru bergabung ke antrian menuju pintu keluar pesawat ini. Kenapa pula aku harus duduk di kursi yang jauh dari pintu keluar? Ya, memesan tiket mendadak memang penuh perjuangan. Aku hanya butuh udara saat ini, sebelum aku pingsan dan merepotkan orang lain di dalam sini. Pramugari cantik memberikan senyum paling lebarnya kepada setiap penumpang, termasuk diriku yang kurang memperhatikan wajahnya karena aku ingin cepat keluar. Dan akhirnya angin dingin Boston yang sibuk membuat rambutku berantakan bisa aku hirup juga. Rasanya seperti menghirup kedamaian. Aku hanya perlu menunggu sekali lagi di area pengambilan koperku yang lain dari bagasi pesawat, setelah itu aku akan mulai mencari makanan. “Lo nekat juga ya,” sahabatku di Belanda sana menghubungiku tanpa basa-basi saat aku kembali mengaktifkan ponsel dan hendak memasuki kafe dekat bandara. Semua barang sudah aku simpan dalam cab yang aku pesan. Satu tanganku sibuk memegang tas kamera dan tanganku yang lain agak kesusahan membuka pintu kaca yang besar dan berat ini. Sementara ponselku hampir jatuh diantara jepitan bahu dan telinga. “Daripada gue harus depresi karena semua tekanan yang gue alami, mending gue kabur.” Jawabku seenaknya. Aku dan Nitya memang masih berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia walaupun kami sama-sama tinggal di luar Negri. “Miura, Miura… Lega juga gue karena lo angkat telepon. Gue kira lo mau bunuh diri,” tawa setannya terdengar nyaring. “Gue gak mau mati konyol asal lo tau aja,” “Cape deh gue sama lo Miw, nggak tanggung-tanggung lo kabur sampai ke Boston” ujarnya, yang aku balas dengan tawa kecil. “Hidup enak di Singapur emang bukan lo banget deh.” lanjutnya.     “Gue gak mau bahas itu sekarang ya Nit. Eh, bentar,” aku meminta Nitya untuk menunggu sebentar, karena aku hendak memesan setelah melihat menu. “Awas aja kalo lo nggak have fun disana.” “Iyaaa nyonya bawel,” “Yaudah. Gue tidur ya, udah ngantuk banget nih.” Suara nya yang serak memang terdengar dia sudah siap terkapar di ranjangnya. “Nit, kalau sampai semua tahu gue disini, gue gak akan cari orang lain selain elo.” Ancam ku tak main-main. "Gue call Erland ah… hahahaha dah Miw!” godanya. Anak kampret satu itu memang minta di siram. Aku menutup ponsel lebih dulu, dan mulai mencari tempat duduk. Dia Nitya, yang kurang lebih selama sepuluh tahun terakhir ini menjadi tempat sampahku setiap saat. Masa-masa seragam putih abu-abu menjadi sangat menyenangkan karena kehadirannya. Dan kini dia harus menetap di Belanda untuk sementara waktu karena pendidikannya yang sempat tertunda. Aku bisa bilang kedekatan kami melebihi kedekatanku dengan saudara kembarku-Maura- sekalipun. Seingatku, tak ada satupun hal yang tak aku ceritakan pada Nitya. Aku masih ingat betul tentang masa-masa SMA ku di Jakarta yang gila bersama dia. Terkadang kami melewatkan kelas matematika yang amat membosankan dengan duduk dan tertawa bodoh di kantin, atau beralasan saat ada acara keagamaan di aula yang membuat rasa kantukku memuncak seratus kali lipat. Dan hal-hal gila lainnya yang pasti membuat kami harus berakhir di ruang BP dan mendapat hukuman dari guru. Jangan di contoh ya… Berries Cheesecake pesananku akhirnya datang, lengkap dengan satu Almond Croissant untuk sekedar mengganjal perutku yang mual akibat di pesawat tadi. Lumayan untuk mengisi perut kosong ini sebelum makan siang nanti. Sambil sibuk mengunyah, aku tak henti-hentinya membolak-balik halaman demi halaman buku Massachusetts Travel Guide yang sedikitnya akan membantuku mengenal seluk beluk kota ini. Ya wajar saja, Amerika serikat merupakan tempat yang sangat asing bagiku. Dulu aku sempat berlibur ke Amerika saat aku dan Maura berumur 7 tahun, kelas 2 SD kalau tidak salah. Papa dan mama mengajak kami untuk merasakan salju pertama di Manhattan bertahun-tahun yang lalu itu. Sekarang? Jangankan berlibur sama-sama, untuk bertemu saja rasanya sulit sekali. Ah sudahlah, tidak baik membicarakan kehidupanku sekarang. Maksudku ini tidak baik untuk kesehatan otakku. Aku perlu sesuatu yang segar dan kurasa Massachusetts akan berhasil memberikan itu. Aku akan pulang jika memang sudah saatnya aku harus pulang. Hari sudah semakin siang, Aku bergegas menghabiskan makananku dan berjalan menuju mobil kuning itu. Saat aku membuka pintu mobil, seseorang mengirimkan pesan yang sudah begitu aku kenali nada deringnya. Aku menghela nafas berat ketika membaca dan tahu dari siapa pesan itu masuk. Erland Griss : Kamu dimana? Pulang sekarang aku mau bicara. Jangankan untuk membalas, membaca nya saja sudah membuat aku malas. Ternyata, salah satu orang yang aku hindari menghubungiku juga. Aku kira dia tidak akan peduli. Karena pertemuan terakhir kami sebelum aku datang kesini sangatlah tidak baik. Pesan dia ini bukan gara-gara Nitya memberitahu Erland kan? Ah kurasa tidak. Singapura sudah hampir larut malam, apa yang dia lakukan malam malam begini di apartemenku? Pasti dia sedang kebingungan dan menemukan sebagian bajuku tak ada di dalam lemari. Cari saja aku sampai ke ujung Singapura jika perlu wahai kekasih. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD