1

2103 Words
"APA? DIJODOHIN?"    suara teriakan menggelegar terdengar di ruang tamu rumah keluarga Handoko. Sang putri satu-satunya bernama Siska itu baru saja mendapatkan kabar buruk tentang hidupnya di masa depan. Di sana sudah berkumpul orang tua Siska, Erik sang kakak. Orangtua dari Ian dan juga Ian. "Sayang, kamu yang sopan sedikit." tegur sang ibu pada Siska. Sopan? Apa dia hidup di zaman Siti Nurbaya? Helloooo, ini zaman millenial. Bagaimana nggak shock! Dijodohin sama Om Om tiga puluh lima tahun dengan umurnya yang sekarang masih menginjak angka dua puluh tahun?. Haaah, jika Siti Nurbaya itu masih hidup, mungkin wanita itu akan marah karena setiap ada ajang jodoh-jodohan, selalu saja nama dia yang jadi kambing hitam.   Maafkan aku Uni Siti.   Siska kembali fokus menatap ibunya. "Buk? Siska bukan anak kecil yang bisa kalian ajak buat ikut-ikutan permainan kalian. Siska juga bukan gadis yang tak laku. Jadi buat apa jodoh-jodohan seperti ini?!" "Siska.!" kali ini ayahnya lah yang tampak memerah karena malu melihat sikap anaknya. "Pokoknya Siska nggak mau. TITIK." Siska segera berlari meninggalkan perkumpulan dua keluarga tersebut. Hana yang notabennya Ibu dari Siska hendak berdiri mengejar anaknya, namun segera ditahan oleh suara dari Ian. "Biar saya Buk yang kejar. Mungkin jika saya yang jelaskan, Siska bisa mengerti." Hana mengangguk menyetujui. Ia kembali duduk, sedangkan Ian sudah berjalan menuju kamar yang tadi dimasuki oleh Siska. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Ian langsung menyelonong masuk ke dalam dan mendapati Siska tengah memasukkan pakaiannya ke dalam tas ransel besar berwarna merah milik gadis tersebut. "Mau kemana?" tanya Ian santai. "Ada perlu apa anda masuk ke kamar saya.?" Siska bertanya dengan nada sinisnya. "Nggak ada perlu apa-apa. Hanya saja--" ucapan Ian terhenti ketika Siska sudah merekatkan resleting tas nya."kau ingin kabur? Yakin?" "Apa peduli anda.? Jangan sok baik dengan saya." "Saya bukan sok baik. Saya kesini cuma mau bilang, jika kau keluar malam ini bisa dipastikan kau akan dinikahkan dengan pria tua buncit jenggotan dan harus dijadikan istri ketiganya." Langkah Siska terhenti seketika. 'Pria tua buncit jenggotan? Ya Tuhan, drama apa lagi ini.?' Siska memutar tubuhnya kebelakang dan menatap Pria yang kini duduk di tepian ranjangnya itu dengan tatapan membunuh. "Maksud anda?" "Kau yakin ingin mendengarnya?" "Cih. Katakan saja. Jangan bertele-tele. Saya sudah cukup muak dengan permainan anda dengan keluarga saya." "Hahahha. Kau gadis yang cukup penasaran juga ternyata. Baiklah, jika kau memaksa aku terpaksa membongkarnya." Ian berjalan mendekati Siska, menarik tas besar yang tadi sudah di sandang oleh gadis itu dan melemparnya ke atas ranjang. Ian berjalan mendekati sofa kamar dan duduk di sana dengan santainya. "Duduklah dulu. Aku yakin kau mungkin akan pingsan, jadi dari pada kau merasakan sakit karena benturan lantai, lebih baik kau---" "Katakan saja cepat, saya tak suka anda bertele-tele." tekan Siska kuat. Dia sudah mulai jengah dengan sikap bertele-telenya Pria yang ada di depannya saat ini. "Baiklah. Jika kau memaksa." jawabnya. "Aku tak mengenalmu jika kau tahu. Yang meminta aku untuk menikahimu adalah Erik, kakakmu." "Apa?" teriak Siska tertahan. Ian mengangguk. "Jangan marah pada Erik, dia melakukan itu hanya karena ingin menyelamatkanmu. Kau tahu? Ibumu sudah ingin menjodohkanmu dengan pria tua buncit jenggotan dan beristri dua jika saja kakakmu Erik tak mengatakan tentang aku pada ibumu." Ian menghentikan ucapannya sejenak untuk melihat raut wajah Siska. Tebakan Ian benar, gadis itu tercengang tak percaya. "Jika Erik tak memintaku menikahimu, Kau sudah akan jadi istri ke tiga Pria bau tanah itu." "Anda bohong kan?" "Hahahah. Hei, kau bukan gadis bodoh kan? Kenapa kau bisa berpikiran aku bohong? Kalau tak percaya, silahkan kau keluar dari rumah ini. Setelah itu terima saja nasibmu akan diseret untuk menjadi istri ke--" "STOP!!" Siska tiba-tiba berteriak untuk memerintahkan Ian berhenti berbicara. Ian mendelikkan bahunya acuh. Ia berdiri dan berjalan mendekati Siska yang masih terdiam karena keterkejutannya. Ian mendekatkan wajahnya pada Siska tepat di depan telinga gadis itu. "Jika kau ingin membuktikan ucapanku, silahkan kabur dari rumah ini. Tapi jika tidak, menikahlah denganku."   Cup!   Ian mengecup pipi Siska singkat sebelum akhirnya ia keluar dari kamar Siska meninggalkan gadis itu dengan segala keterkejutannya. Kecupan pipi bukan hal tabu lagi bagi Siska, namun jika yang melalukannya adalah pria berumur dan asing baginya, semuanya lain ceritanya. Wajah Siska sudah memerah padam. Ia menatap ke arah pintu kamarnya yang sudah tertutup. "Dasar Pria Sialaaaaaaaaan.!" teriak Siska sekuat mungkin. Bahkan suara teriakannya terdengar sampai ruang tamu. Ian yang baru saja sampai di tempat orang tuanya duduk, hanya tersenyum geli. "Kenapa Siska?" tanya Erik penasaran . "Oh, gue cuma bilang kalau ayah sama ibuk akan menjodohkannya dengan pria tua buncit jenggotan dan beristri dua jika adik Lo itu nggak mau dijodohin sama Gue." Bukan hanya Erik yang melongo, kedua orang tua Ian dan juga kedua orang tua sahabatnya itu juga ikutan melongo mendengar penjelasan dari Ian. Pria buncit jenggotan? Ide dari mana itu? Bahkan bagi orang tua Siska, tak terlintas di otak mereka untuk menjodohkan Siska dengan pria seperti itu. "Jangan berpikir yang macam-macam. Gue nekat bilang seperti itu tadi karena adek Lo mau kabur. Bahkan saat gue masuk kamarnya tadi, ia sedang memasukkan pakaiannya ke dalam tas ransel gunung nya." "Apa? Siska mau kabur?" teriak Hana tak percaya. Ian mengangguk mengiyakan. "Tapi Ibu tenang saja. Sepertinya ceritaku tadi akan masuk ke dalam otaknya. Setidaknya ibu dan ayah juga Lo Rik, harus berakting seolah rencana menjodohkan Siska dengan pria tua itu benar adanya." melihat wajah serius Ian, membuat Erik dan juga kedua orang tua sahabatnya itu mengangguk pasti. Suara bantingan pintu menghentikan percakapan mereka tadi. Tak lama kemudian Siska datang dengan wajahnya yang sudah banjir dengan air mata. "Ibu bohong kan?" teriak Siska tertahan. "Sayang?" "IBU BOHONGKAN? SEMUA YANG DIKATAKAN PRIA ITU BOHONGKAN?" "Siska!!! Jaga sikap kamu pada ibumu. Di sini juga masih ada keluarga calon suamimu." bentak Tuan Handoko selaku ayahnya gadis itu. "Ayah minta siska jaga sikap? Kalian nggak tahu rasanya berada di posisi aku.!?" "Dek, kita lakuin ini juga buat kebaikan kamu." "Aku nggak percaya. Kakak, ibu sama ayah sama saja. Dan anda--" Siska mengarahkan tunjuknya pada Ian. "Kali ini anda boleh menang. Tapi jangan harap pernikahan ini akan bahagia." geram Siska syarat akan emosi. Setelah puas dengan kekesalannya, Siska kembali berlari masuk ke dalam dan mengunci diri di kamar miliknya. "Dia bilang apa tadi? Jangan bilang kalau dia menyetujuinya?" tanya Erik tak percaya. "Sepertinya iya." jawab Ian. Pria itu menatap pintu kamar Siska lalu tersenyum tipis. Tipis bahkan sangat tipis. Setidaknya idenya berhasil. Pernikahannya nanti bisa menjadi pertolongan juga baginya. Karena semenjak Vanessa meninggal, banyak wanita maupun para gadis yang menyerahkan dirinya pada Ian dan itu membuat Ian muak dan geram. Ian bukan pecinta s*x bebas. Keperjakaannya bahkan dilepasnya untuk mendiang istrinya saat malam pertama mereka. Jadi jika ia menikahi Siska, para wanita dan gadis-gadis itu akan berhenti melakukan hal gila padanya. Dan jika pernikahannya dengan Siska terlaksana, ia akan sangat bersyukur. Karena impiannya terkabul.     Siska sudah setuju menikahi Ian dan acara pernikahan mereka akan diadakan satu bulan lagi. Sebagai calon pengantin baru, Siska diminta oleh sang calon mertua untuk melakukan fitting pakaian pengantin serta mencari WO yang akan mengurus semua desain pernikahan ini. Jujur, Siska tak terlalu tertarik. Tapi melihat antusiasnya sang calon mertua, membuat Siska tak enak hati untuk menolak. Sedari pagi ia sudah di sibukkan kesana kemari untuk mencari butik ternama untuk baju pengantinnya dan Ian. Sampai akhirnya pilihan jatuh pada Heaven Butik. Saat Siska tengah sibuk mencoba beberapa baju pengantin, Gadis itu dibuat terkejut karena kedatangan Ian. 'Bukannya Ian sedang rapat di kantornya?' - batin Siska. Gadis itu mengintip dari balik tirai dan mendapati Ian tengah berbicara dengan sang calon mertua yang tak lain adalah ibu dari Ian sendiri. Untuk sekilas, Ian begitu nampak gagah di mata Siska. Tubuh tegap dengan setelan jas kantor berwarna hitam membuat Ian tampak begitu menggiurkan. Hal itu juga terlihat dari mata para gadis dan wanita yang ada di sana. Mereka tak berkedip sedikitpun melihat ketampanan Ian. Siska sedikit mencibir. Sebegitu tampankah calon suaminya ini hingga mata para kaum hawa itu tak berkedip menatap kearah pria itu. Ian seketika melirik ke samping kirinya menatap tepat di mata Siska membuat gadis itu gelagapan dan langsung menutup tirai. "Kenapa bersembunyi?" tanya Ian sedikit mengeraskan suaranya. "Ti--tidak kenapa-napa." balas Siska dari balik tirai. Bisa ditebak jika gadis itu sedang gugup. Hal itu terlihat sekali dari suaranya yang bergetar. "Ma, apa di dalam ada orang lain selain Siska?" tanya Ian pelan pada Mamanya. "Ada, dua orang pegawai butik ini ada di dalam membantu Siska." jawab nyonya Ariani mamanya Ian. "Bisa minta mereka keluar sebentar! Ada yang ingin Ian bicarakan dengan Siska." pinta Ian. Ariani segera menuruti permintaan Ian. Wanita itu berjalan memasuki tirai dan tak lama kemudian dua pegawai butik beserta Ariani keluar dari ruangan fitting meninggalkan Ian dan Siska di sana. Siska sudah gugup setengah mati. Otaknya bertanya-tanya tentang kenapa calon mertuanya meminta kedua pegawai itu keluar. Namun segala pemikirannya seketika buyar saat tirai sedikit terbuka dan membawa Ian masuk melangkah mendekatinya. "Ka--kau mau apa?" tanya Siska gugup. Saking gugupnya, Siska tak sadar sudah melangkah mundur ke belakang. Sedangkan Ian mencoba terus melangkah mendekati calon istrinya itu walaupun langkah Ian tergolong cukup kecil. Siska merasakan punggungnya yang terbuka menyentuh dinding ruangan. Lebih tepatnya kaca besar yang terpasang dari sudut ke sudut. "Ma--mau apa ka--" "Sssstttt. Aku hanya ingin melihat calon istriku." bisik Ian tepat di telinga Siska. Siska meneguk ludahnya kesusahan. Sialannya. Ian tampak begitu seksi sekarang. Padahal Ian masih mengenakan pakaian kantor lengkap dengan jas nya. Siska sudah tersudut ke dinding kaca. Aksesnya untuk kabur sudah ditutup oleh Ian dengan kedua lengan pria itu. "A--Anda--" "Panggil aku Ian.!" "Egheem.!" Siska berdehem gugup. 'Sialan Ian. Habis makan apa pria ini.? Kenapa mendadak jadi panas begini?' gerutu siska tak karuan di hatinya. "Panggil aku Ian!" perintah Ian lagi dengan nada suara yang menggoda. "I--Ian." Ian tersenyum manis bahkan sangat manis membuat degupan jantung Siska berdetak tak karuan. "Untuk saat ini panggil aku Ian, tapi jika sudah menikah kau harus memanggilku 'sayang' atau 'Mas'." "Ha?" "Jangan membantah Siska. Kau istriku satu bulan lagi." 'Apa-apaan pria sialan tampan ini?' "Kau kenapa?" Siska akhirnya meluncurkan pertanyaan yang sudah bersarang di otaknya sedari tadi. "Aku? Tak kenapa-napa. Hanya ingin mengajarkan calon istri kecilku untuk patuh pada calon suami." "Ciaah!"Siska seketika berdecih lalu menatap Ian tajam. "Jangan mengaturku! Sudah kukatakan aku hanya terpaksa menerima perjodohan gila ini." geram Siska. Ia mencoba mendorong tubuh Ian menjauh, namun bukannya terpisah, justru Ian semakin menghimpit tubuhnya ke dinding kaca. "Bukan pekara mudah bagiku menundukkan bocah kecil sepertimu Siska. Jadi sopanlah sebagai calon istriku.!" Ian menatap bola mata Siska lekat. Begitu pun dengan gadis itu. Ia membalas tatapan Ian dengan tak kalah tajamnya. Seolah jika saja dari mata mereka keluar laser, mungkin ruangan itu sudah meledak. Namun Sedetik kemudian Siska dibuat terkejut saat Ian mengecup keningnya lembut. "Kau cantik dengan gaun ini." bisik Ian tepat di atas bibir Gadis itu. Siska yang masih shock dengan perubahan sikap Ian yang mendadak, tak bisa melakukan apapun dan hanya bisa membeku dengan keterkejutannya. Lembutnya kecupan Ian di keningnya masih terasa oleh gadis tersebut. "Hey? Kenapa diam?" Ian menoel puncak hidung gadis itu hingga membuat sang empunya hidung terkejut. 'Tuhan, kenapa Ian mendadak manis begini?' "Kamu kenapa sih sebenarnya?" tanya Siska yang masih belum percaya dengan lembutnya sikap Ian padanya. Pasalnya saat di kamarnya ketika hari pemberitahuan perjodohan itu, Ian tak selembut ini. Ian bahkan lebih terkesan sedikit dingin dengannya. Tapi kenapa sekarang jadi seperti ini? "Aku? Kenapa?" Tanya Ian balik dengan wajah polos yang dibuat-buat. "Itu--sikap kamu.." "Aku hanya mencoba membuat calon istri ku nyaman." Ha? Kali ini apalagi? "Ian kau--kau tak salah makan kan?" Ian tergelak mendengar tuduhan Siska padanya. "Salah makan apa? Aku makan seperti biasa." jawab Ian "ini karena kau belum mengenalku." lanjut Ian berbisik lembut. Sungguh, Siska sudah tak kuat lagi dengan semua ini. Dengan sekuat tenaga, Siska mendorong tubuh Ian untuk menjauh darinya dan Ia berhasil. Siska berhasil mendorong tubuh Ian agar mundur dari tubuhnya. Dengan kesal Siska melepaskan high heels nya lalu melemparkannya pada Ian. Bukannya marah, Ian justru dibuat tertawa karena wajah Siska yang sudah memerah. Entah merah karena apa, yang jelas seluruh wajah Siska kini sudah memerah sampai ke telinga-telinganya. Melihat Ian yang tertawa, membuat Siska melepaskan HighHeels nya satu lagi dan kembali melemparkannya pada Ian, namun kali ini meleset. Ian bisa menghindar. Siska menghentak-hentakkan kakinya karena saking kesalnya. ia kesal karena Ian yang selalu menggodanya. Tak ingin lama-lama berduaan di ruangan ganti itu bersama Ian, akhirnya Siska memutuskan untuk keluar menemui pegawai yang tadi membantunya memakaikan gaun untuk kembali membantunya melepaskan gaun pengantin yang kini ia kenakan. Dengan langkah yang sedikit kesusahan, Siska berjalan keluar ruangan. Selama di perjalanan mencari pegawai yang tadi, umpatan sumpah serapah tak pernah padam dari gumaman Siska. Seolah umpatan yang ia tunjukkan untuk Ian itu akan membuatnya bahagia.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD