2

1939 Words
Siska sudah berada di mobil Ian. Pria itu meminta Siska untuk ikut dengannya ke suatu tempat. Masalah fitting baju mereka sudah menyelesaikannya dengan Ian yang juga ikut dalam melakukan pencarian pakaian yang cocok dengan gaun yang Siska pilih untuk pernikahan mereka nanti. Saat di kamar fitting, Ian begitu betah menjahili dan menggoda Siska, pria itu bahkan nyaris membuat Siska hampir menangis karena saking kesalnya. Namun berbeda dengan perasaan Siska, para pegawai butik justru melihat hal itu sangat romantis. Calon suami manjahili calon istrinya. Romantis bukan? Tapi jika romantis, kenapa Siska sempat berniat ingin membenturkan kepala Ian ke dinding?. Kenapa?. Ah sudahlah jangan ditanya lagi     Ian belum juga menjalankan mobilnya walaupun Ia sudah siap. Ian menatap Siska di sampingnya yang sedari tadi bermenung. "Apa harus aku yang memasangkan sabuk pengamanmu?" tanya Ian mengejutkan Siska dari lamunannya. Siska segera merekatkan sabuk pengaman miliknya. "Sebenarnya kita mau kemana?" tanya Siska yang masih penasaran. Bagaimana tidak, ia yang sudah ada janji dengan teman-temannya ini dipaksa untuk ikut dengan Ian dan entah akan kemana mereka setelah ini. "Ikut saja. Dan jangan banyak tanya." Siska mendelik kesal. Ian segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Walaupun jalanan tak terlalu ramai tapi sebagai pengendara yang Baik, Ian memang lebih suka mengendarai mobil dengan kecepatan standar saja. Selama di perjalanan, Ian dan Siska lebih memilih diam dan fokus dengan kegiatan mereka masing-masing. Sampai mobil yang Ian kendarai berhenti di sebuah gedung yang cukup tinggi. "Angkasa?" tanya Siska kaget. "Yup. Kau ikut ke kantorku. Temani aku bekerja." "Hah? Tapi aku sudah ada janji dengan teman-temanku. Kau tak boleh seenaknya begini." bentak Siska. "Jadwalmu hari ini hanya temani aku bekerja Siska. Dan jangan membantah. Turunlah!!" Siska masih terkejut tak percaya. Sedangkan Ian sudah keluar lebih dulu dan berjalan menuju pintu penumpang lalu membukanya. "Keluar!" perintah Ian. Siska akhirnya memilih keluar. Namun sesampainya di luar, Siska masih mencoba untuk membantah ucapan Ian. "Ian, aku ada janji dengan teman-temanku." rengek Siska. "Akan aku temani nanti." "Ian!!" "Aku sudah katakan, nanti aku temani Siska.!" "Nggak mau." "Siska!!" "Nggak mau Ian. Aku dengan teman-temanku, ngapain kamu ikut-ikutan?" Ian mengeram melihat kekeraskepalaan Siska. Sepertinya cara lunak tak akan bisa. Ian segera meraih pergelangan tangan Siska dan menariknya ke dalam dengan sedikit kuat. Gadis itu sontak meronta bahkan sampai berteriak minta tolong karena ia akan diperkosa oleh pria yang sedang menariknya ini.   Ada yang percaya?   Jawabannya tidak. Pasalnya, di kantor Ian, semua sudah tahu jika pria itu akan menikah dan wajah calon istri Ian juga sudah wara-wiri di ingatan pegawai di sana. Apalagi Ian yang terkenal dengan sikap sopannya terhadap perempuan seketika mematahkan tuduhan Siska tadi pada pria itu. Langkah Ian berhenti di depan Lift. Menunggu Lift itu turun menuju lantai satu. Siska tak lagi berontak. Namun pergelangan tangannya masih ditahan oleh Ian. Pria itu bahkan tak ada niatan untuk melepasnya. Siska mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, dan mendapati beberapa karyawan Ian yang menatapnya aneh serta ada juga yang saling berbisik satu sama lain. Tanpa disadari, Siska merapatkan tubuhnya pada Ian. "Ian?" ucapnya pelan. Membuat Ian yang tadi menatap lurus ke depan langsung menatap Siska yang semakin merapat padanya. Bahkan tangan kiri gadis itu sudah meremas lengan Ian kuat. "Kenapa?" tanya Ian lembut. "Me--mereka.." Ian yang sadar arah pembicaraan Siska segera mengedarkan pandangannya pada sekelilingnya dan mendapati beberapa karyawan kantornya tengah menatap mereka dan ada juga yang berbisik-bisik. "Apa kalian saya gaji untuk menggosip? Kalau ia, kalian tunggu saja surat pemecatan terletak di meja kerja kalian." ancam Ian. Para pegawai yang tadi tengah berbisik dan melihat ke arah mereka segera membubarkan diri. Ian jengah melihat manusia zaman sekarang. Sedikit-sedikit gosip, sedikit-sedikit merekcoki kehidupan orang lain. Urus kehidupan masing-masing saja bisa nggak sih. Suara dentingan lift menarik kembali perhatian Ian. Ia segera melangkah ke dalam membawa Siska yang masih merapat padanya. "Sudah tidak apa-apa." ucap Ian. Siska segera melepaskan genggaman tangannya di lengan Ian. Begitupun Ian. Pria itu juga sudah melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan calon istrinya itu. Jantung Siska lagi-lagi berdetak cepat. Hanya karena perlakuan Ian tadi padanya, Ia berdetak gugup? Apa-apaan ini. Siska mencoba mengembalikan akal sehatnya. "Ian, kenapa aku dibawa ke sini sih?" "Haahh. Sudah kubilang untuk menemaniku bekerja." "Tapi--tapi aku ngapain?" "Kau bisa duduk-duduk saja nanti di dalam." "Hah? Ian aku--" Ting! Suara dentingan lift menandakan mereka sudah sampai di lantai tujuan. Ian kembali menggenggam tangan Siska membuat gadis itu mendelik malas. Siska sudah tak peduli lagi. Sepertinya memberontak pun tak akan bisa merubah apapun. Akhirnya ia memilih untuk menuruti apa maunya Ian. Soalan teman-temannya, ia akan meminta maaf nanti. Dari keluar lift sampai masuk ruangan Ian, hal yang sama kembali Siska rasakan. Yaitu ditatap pegawai Ian. Kenapa sih mereka selalu mengurusi orang lain? "Kau duduk di sana selagi aku bekerja." perintah Ian sambil menunjuk sofa panjang yang ada di ruangannya. Siska hanya menurut. Gadis itu tak lagi memberontak. Setelah mendudukkan dirinya di sofa, Siska segera meraih ponselnya dan membuka ruang Chat bersama teman-temannya.       Banci taman lawang Grub chat   Man temaaan, maafkan diriku yang tak bisa ikut kalian hari ini. Gue ditahan lagi sama si om om tua ini. Agata lagi? Yaaah. Kalau gini ceritanya kapan kita bisa kumpulnya? padahal Denis ngadain party di Club Lho!   Hendrik Lo patuh amat Nyet? bantah dikit napa...   Agata tahu ni si Siska. patuh banget sama si Om tampan. gue udah coba kabur geyyss.. tapi ketangkep terus. klean ke sini dong, jemput gue! Denis!! JEMPUT GUE!! Denis kemana? Tempat calon laki lo? yang ada digundulin o***g gue.   Agata wkwkwkwkw! Licin dong Cuk tu o***g!wkwkwk auto masuk sarang kalau gitu. Kedinginan dia nanti..wkwkwkw   Yana kalian para hamba Tuhan taubatlah. jangan bicarain si o***g lagi.   Agata Jiiaahhh. Kople per Otongan Lo nongol Rik.wkwkwkw   Hendrik Syalan Lo. Udah ah. Sis, jadi gimana? Gak tahu gue mesti gimananya..   Hendrik jangan patuh-patuh banget dong. atau Lo dibujuk sama si o***g nya Om tampan ya?   Syalan Lo. Gue masih Virgin kali... Hendrik ya siapa tahu Lo dibujuk pakek o***g nya si Om.   Bokep Boy Bicarain o***g ya? kayaknya asik nih. gede nggak? Enak nggak   Hendrik Eh si bokep nongol. Ngomongin o***g aja nongol Lo kampret!   Siska tertawa membaca percakapan tak berfaedah dari teman-temannya. Membuat Ian yang sedari tadi fokus dengan komputernya seketika melirik ke arah sofa tempat Siska berada. Ian cukup tenang melihat gadis itu tak merasa kesepian. Setidaknya Siska tak berkeliaran kemana-mana. Jika bukan karena Erik yang memohon padanya, tak mungkin semua ini mau Ian lakukan. Tapi sebenarnya semua ini sudah menjadi impian dan mimpi Ian sejak dulu. Menikahi seorang Siska, tapi tak pernah ia inginkan lebih. Ian kembali fokus pada dokumen serta komputer yang ada di depannya sampai suara ketukan mengganggu aktifitas Ian.    "Masuk!" teriak Ian.   Tak lama berselang, pintu terbuka memunculkan seorang perempuan seksi dengan pakaian super ketatnya sedang melenggak-lenggok masuk ke dalam ruangan Ian sambil membawa Map berwarna putih. Aksi perempuan itu tak luput dari pandangan Siska yang sudah menghentikan kegiatannya dari ponsel. Pandangan gadis itu tak lepas dari b****g si cewek yang terlihat begitu menonjol di balik rok kerjanya yang begitu sempit. Pandangan Siska beralih pada bagian depan kemeja perempuan itu. Kancing kemeja yang terbuka dua di atas, memperlihatkan belahan d**a yang begitu menonjol. d**a perempuan itu cukup besar. Bahkan bra yang dia kenakan tak cukup mampu menampung daging kenyal itu hingga membuatnya tumpah keluar. "Ini Boss, dokumen yang boss minta tadi." Ucap si perempuan dengan nada yang sengaja dibuat menggoda dan sexy. "baiklah. Kamu bisa letakkan di meja dan keluar dari ruangan saya." Siska terkejut melihat reaksi Ian. Mengusir tanpa melihat? Parah ni om om. Siska melihat raut kesal terpancar dari si perempuan. Dengan sedikit mendumal, perempuan itu berjalan keluar namun langkahnya terhenti saat suara Siska mengalihkan perhatiannya. "nggak kasihan Mbak?" tanya Siska sedikit meringis. Ian yang sedari tadi masih fokus dengan kegiatannya seketika menatap Siska penasaran. "Maksud anda?" "itu, baju sempit banget. Menjerit mbak dadanya. Kesakitan katanya mbak." Celetuk Siska membuat wajah si perempuan memerah seketika. Sedangkan Ian nyaris saja tertawa mendengar celetukan dari calon istrinya itu. Namun Ian juga penasaran apa yang akan Siska celetukkan berikutnya. "terserah saya mau pakai baju apa!" geram perempuan itu. "iya saya tahu. Mbak pikir saya nggak tahu juga tujuan mbak bergaya begituan. Pasti buat godain boss nya kan? Tapi sayang nggak direspon." "Kamu!!" "besok-besok, pakenya yang longgar-longgar aja mbak. Jangan sampai nanti meledak tu d**a. Kalau asli bagus, kalau silikon kan takut Duaarr.." "Buahahahaahah-" Ian tak sanggup lagi menahan tawanya. Namun berbeda dengan reaksi Ian, si perempuan justru menatap Siska sangat tajam. Dengan perasaan emosi yang begitu besar, perempuan itu akhirnya keluar. Tawa Ian belum juga reda. Malah bahkan semakin menjadi. Membuat Siska sedikit kesal. "Puas banget ketawanya Om?" tanya Siska dengan sedikit ledekan dan memanggil Ian Om. Ian mendelik mendengar panggilan Siska padanya. "Om om gini banyak yang ngantri kali." "Ih pede banget." "nggak percaya? Tu tadi buktinya ada." Siska memilih diam. Ia tak berniat membalas ucapan Ian karena jika dibalas akan semakin menjadi. Calon suaminya kan memang punya pede berlebih. "tapi kenapa tadi nggak direspon? Seksi gitu." "emang kamu mau?" "mau apa?" "calon suaminya digoda?" Seketika Siska menatap Ian dengan tatapan horror. Sedangkan Ian hanya tersenyum geli menanggapinya. Cukup lama mereka terdiam sampai Siska memutuskan untuk berdiri dan berjalan menuju pintu. "Mau kemana?" tanya Ian cepat. "keluar. Ketemu teman." "duduk Siska!" "tapi Ian-" "Duduk!" "Ian aku bosan." "kau bisa bermain dengan ponselmu!" "tidak! Aku mau keluar.!" Siska tak mengindahkan ucapan Ian. Gadis itu segera berjalan ke arah pintu kembali namun pergelangan tangannya segera ditahan oleh Ian dan memutar tubuh Siska kebelakang hingga membuat Ia menubruk d**a bidang Ian. "Ian-" Siska berteriak tertahan saat Ian mengangkat tubuhnya lalu membawa Siska menuju meja kerja bagian kursi dan mendudukkan Siska di atas meja tersebut. Sedangkan Ian duduk di kursi di depan Siska. "I-Ian?" "aku bilang jangan membantah Siska-!!" Siska terdiam saat Ian menatapnya dengan tatapan intimidasi. Namun yang membuat Siska terdiam bukan karena tatapan Ian, melainkan posisi mereka saat ini. Ian bahkan sudah masuk ke dalam sela antara dua paha Siska dan memeluk pinggul gadis yang kini sedang duduk di atas meja kerja pria itu. Kalian bisa membayangkan bagaimana posisinya kan? Dan hal itu disengajai oleh Ian. Pria itu sengaja membuka lebar kedua paha Siska lalu mendekatkan tubuhnya pada sela-sela paha calon istrinya tersebut. Jika kalian diposisi Siska, bagaimana kondisi jantung kalian? Seperti itulah kondisi jantung Siska saat ini. "I-Ian?" "masih mau membantah?" Siska menggeleng cepat. Terlalu bahaya untuk membantah Ian sekarang. "bagus.! Karena jangan sampai aku menertibkanmu dengan caraku sayang.!"   GLEK!   Sungguh. Siska sungguh kesusahan meneguk salivanya sendiri. Seolah tengah menelan batu besar di kerongkongannya. Jantungnya berdegup kencang, suasana hatinya sudah tak menentu. Dan dia yakin wajahnya sudah merona saat ini. Pandangan mata mereka saling bertemu. Saling menatap satu sama lain. 'Ya Tuhaaaan. Ian kenapa sih sebenarnya? Kenapa tiba-tiba jadi begini? Jantungku. Dan ini lagi posisinya nggak enak banget.' Ucap Siska membatin. "jangan berbicara dalam hati Siska. Kau tahu, itu akan menyebabkan kesalahpahaman." Bisik Ian pelan. Bahkan bisa dibilang lembut. Ian masih belum melepaskan pelukannya dari pinggul gadis itu. Malah kini tangan Ian semakin naik memeluk pinggang Siska. Ian menyentak tubuh Siska ke depan membuat gadis itu terkejut dan terdorong ke depan membuat kedua tangan Siska langsung tertumpu pada pundak Ian. Karena ulah jahil Ian tadi, kini jarak wajah mereka hanya berkisar satu jengkal. Hembusan aroma Mint dari nafas Ian saja bisa tercium oleh Siska. "Eggheem. I-Ian?" "bisa jadi gadis penurut?" tanya Ian sembari berbisik lembut. Siska terdiam menatap lekat ke mata Ian. Seolah terhipnotis, gadis itu akhirnya mengangguk. "Bagus. Sekarang duduk diam di sini!" titah Ian. Ian melanjutkan pekerjaannya dengan Siska yang masih duduk di depannya. Bahkan Ian menjadikan paha siska sebagai alas untuk ia menandatangani dokumen yang tadi sudah menumpuk di mejanya. Emejing bukan? Ian si Om tampan yang begitu posesif dan mendebarkan dalam satu momen.   *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD