THREE

1567 Words
~When you've been strong for so long, sometimes you just need time to be alone and let your tears out~ Anonim   "Mau apa lagi kamu ke sini?" tanya Ranice dingin ketika mendapati Theo menunggunya di recording room. Padahal dalam lima belas menit dia akan melakukan proses recording bersama Leander. "Aku cuma mau mengantarkan ini." Theo menyorongkan sepucuk kartu undangan ke tangan Ranice. "Kenapa harus diantar ke sini? Kenapa nggak ke rumah aja? Kamu mau memancing gosip tentang hubungan kita?" tanyanya kesal. Tidak ada lagi keinginan untuk bersikap manis dengan pria yang pernah mengisi hatinya selama tujuh tahun itu. "Aku nggak sanggup lagi ketemu sama Om Anton. Rasanya udah cukup menyiksa waktu terakhir aku jelasin semua dan minta maaf sama Om karena udah nyakitin kamu," ujar Theo tertunduk. "Lagian kalau sampai jadi gosip juga nggak apa-apa." "Konyol! Dulu waktu kita masih sama-sama, kamu nggak pernah mau hubungan kita tercium publik. Tapi sekarang, waktu hubungan kita udah tamat, kamu malah mau orang-orang tahu!" balas Ranice sinis. "Maaf. Harusnya dari dulu aku nggak perlu nutupin hubungan kita," sesalnya. "Udah, nggak perlu dibahas lagi. Makasih undangannya." Ranice mengambil dengan kasar undangan yang disodorkan oleh Theo. "Aku nggak terlalu berharap kamu bakal hadir. Aku tahu ini akan terlalu menyakitkan buat kamu, harus melihat aku menikah dengan wanita lain. Aku juga nggak yakin akan sanggup bertatapan sama kamu nanti." Suaranya terdengar sangat berat. Kalau saja keadaannya berbeda, maka Ranice tidak akan mungkin sanggup melihat Theo dalam keadaan yang menyedihkan seperti saat ini. Dia pasti akan segera memeluk pria itu untuk menghiburnya. "Hmm." Hanya itu tanggapan yang diberikannya. "Rae, apa benar-benar nggak ada lagi kesempatan buat kita?" Theo masih mencoba untuk terakhir kalinya. Meski dia tahu rasanya tidak mungkin mengubah pikiran Ranice. "Nggak perlu menanyakan hal yang kamu udah tahu jawabannya, Theo. Lagian apa kamu nggak sadar, kamu melontarkan pertanyaan tentang kelanjutan hubungan kita di saat kamu datang untuk mengantarkan undangan pernikahan?" tanyanya ketus. "Rae, aku bisa bercerai dengan Bella setelah bayinya lahir nanti. Setelah itu kita mungkin bisa kembali bersama." Theo tahu ini benar-benar langkah yang salah. Ranice akan semakin membencinya karena perkataannya ini. Tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakannya. "Apa kamu udah kehilangan semua kewarasan kamu?!" bentak Ranice. Dia jarang sekali marah, apalagi sampai membentak orang. Tapi kali ini Theo benar-benar keterlaluan. "Aku emang udah gila rasanya, Rae. Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu," balas Theo frustasi. "Theo, buat aku pernikahan cuma terjadi satu kali seumur hidup. Nggak ada yang namanya perceraian. Itu yang ditanamkan sejak kecil sama aku, dan prinsip itu yang aku pegang sampai kapan pun," balasnya dingin. "Tapi ini kasus yang berbeda, Rae. Pernikahan aku sama Bella terjadi karena kesalahan." "Nggak ada pengecualian, Theo. Nggak peduli karena apa. Jangan terus menumpuk kesalahanmu dengan kesalahan lainnya lagi," tandas Ranice. *** "Rae ..., tempo," tegur Leander dari balik kaca. "Maaf, Pak." Ranice menghela napasnya. Mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah ke mana-mana. "Kita coba lagi," ujar Leander setelah Ranice terlihat siap. Ranice kembali mencoba memainkan pianonya setelah Leander memberi tanda dari balik kaca, baru dua bar dan suara pria itu kembali terdengar. "Ranice! Perhatikan beat-nya." Leander terlihat mengatakan sesuatu kepada sound engineer yang mendampingi proses rekaman siang itu. Tidak lama kemudian sang sound engineer meninggalkan recording room. Leander berjalan tergesa mendekati Ranice, membuka pintu yang memisahkan control room dan recording room dengan kasar. "Rae, ada apa ini? Nggak biasanya kamu begini. Baru setengah jam dan kita udah tiga belas kali take! Yang bener aja, Rae! " "..." Gadis itu tertunduk dan menggeleng. "Jangan bilang nggak ada apa-apa, Rae! Ini jelas ada apa-apa. Badan kamu di sini tapi pikiran kamu sama sekali nggak ada di ruangan ini!" cecar Leander kesal. Ini bukan kali pertama Ranice melakukan proses recording, sudah cukup sering bahkan. Dan selama ini, Ranice tidak pernah bersikap seceroboh hari ini. "Maaf, Pak ...." Suaranya hampir tidak terdengar, dan dia sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menatap Leander. "Saya nggak butuh permintaan maaf kamu. Saya itu butuh kamu konsentrasi, supaya proses recording ini lancar. Lebih baik kita break dulu. Saya nggak mau kerepotan di proses editing gara-gara permainan kamu yang kacau ini. Kamu bukan musisi tembakan yang cuma asal bisa tapi mau tenar dengan segala cara. Saya tahu kualitas kamu, dan hari ini, kamu sama sekali bukan kamu." "Bapak benar. Saya memang sedang kacau," rintihnya putus asa. Suaranya bergetar menahan tangis yang sejak tadi menyesakkan dadanya. "Hei! Lihat saya!" perintah Leander. "Apa ini gara-gara Theo? Mau apa lagi dia menemui kamu?" tanyanya lagi. Leander sempat melihat Theo yang keluar dari recording room beberapa saat sebelum dia masuk tadi. "Untuk ini." Diacungkannya undangan yang tadi diantarkan oleh Theo. "Hah! Pantas kamu jadi begini. Udah, recording kita pending dulu. Mending sekarang kamu ikut saya!" seru Leander kesal. "Mau ke mana, Pak?" tanya Ranice panik ketika Leander menarik tangannya. "..." Tidak ada jawaban. Leander hanya terus berjalan dengan gusar meninggalkan recording room. "Pak!" panggilnya lagi. "..." Tetap tidak ada jawaban, dan mereka sudah berada di lobby Chord Music. "Pak Axel!" Ranice semakin panik ketika Leander menyeretnya ke dalam mobil pria itu. "Hush! Berisik! Ikut aja, nggak usah banyak tanya." Leander membuka pintu kiri mobil, memaksa Ranice masuk dan membanting pintunya. "Pak, seenggaknya biarin saya ambil dompet dan handphone saya dulu," rengeknya panik. "Nggak usah. Kamu nggak akan saya buang di tengah jalan, jadi nggak usah ketakutan gitu!" balas Leander ketus. *** "Ayo, turun!" Setelah hampir dua jam Leander mengendarai mobilnya tanpa berbicara satu kata pun, akhirnya mobil itu berhenti di Danau Setu Babakan. Tempat ini cukup sepi karena mereka datang di hari kerja. "Kenapa ke sini, Pak?" tanya Ranice heran. Dia mencoba mengejar Leander yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. "Supaya kamu bisa teriak-teriak. Mumpung sepi, Rae." Jawaban Leander sontak membuat Ranice terkejut. Sementara Leander dengan santai menyandarkan tubuhnya di pagar pembatas. "Buat apa teriak-teriak, Pak?" Ranice ikut mengambil posisi di dekat Leander. "Daripada kamu terjun bebas ke danau, terus tenggelam, terus game over. Mending teriak-teriak 'kan?" sindir Leander. "Pak Axel, saya masih waras lho!" protes Ranice kesal. Tidak ada angin tiba-tiba Leander menyuruhnya teriak-teriak. Apalagi secara tidak langsung mengatakan bahwa Ranice berniat bunuh diri. Yang benar saja. "Supaya hati kamu lega. Beban itu lebih baik dikeluarkan, bukan dipendam. Lama-lama jadi depresi." Kali ini suaranya terdengar serius. "..." Ranice tidak bisa membalas perkataan Leander kali ini. Pria itu memang tahu permasalahannya dengan Theo. "Kalau kamu pikir, dia berkhianat karena kesalahan kamu. Kamu bodoh," ujar Leander pelan. "..." Jauh di dalam hatinya, pikiran ini memang pernah terlintas. "Kalau kamu pikir, seandainya kamu terima tawaran dia untuk menikah dari dua tahun lalu, pasti kamu sekarang udah hidup bahagia sama dia. Kamu juga bodoh," lanjut Leander. "..." Ini juga benar. Entah berapa kali Ranice terus berandai-andai. Dadanya mulai kembali sesak, dan air matanya mulai menggenang. "Kalau kamu pikir, dia lebih berharga daripada mimpi kamu. Kamu benar-benar bodoh." "..." Tubuhnya mulai bergetar menahan tangis yang siap meledak. Air mata sudah membanjiri wajahnya. Sekuat tenaga dia menahan agar isaknya tidak terdengar. "Arrggghhh!!!" Satu teriakan panjang lepas dari bibir Ranice, dan lututnya luruh ke tanah. Satu tangannya berpegang pada pagar pembatas, sementara satu tangannya lagi memegangi dadanya yang terasa sesak. Kedua belah tangan Leander menarik Ranice berdiri, memeluknya dari belakang, dan meletakkan dagunya di puncak kepala gadis itu. Cukup lama Leander membiarkan Ranice menangis, sampai akhirnya bahu gadis itu berhenti berguncang dan isakannya mulai mereda. "Rae ...," panggil Leander. Setelah jeda beberapa saat ia berbisik di telinga gadis itu, "ayo kita menikah." Seketika tubuh Ranice menegang dalam pelukan Leander. "Pak? Jangan bercanda!" Ranice segera memutar badannya menghadap Leander. Ditatapnya mata pria itu untuk memastikan bahwa Leander sedang bercanda. "Saya nggak bercanda, Rae. Saya serius ngajak kamu menikah." Sama sekali tidak ada nada bercanda dalam suaranya, dan wajahnya bahkan terlihat sangat serius. "Pak, saya mungkin patah hati, tapi saya belum gila. Saya sama Bapak, nggak ada hubungan apa-apa. Gimana ceritanya tahu-tahu kita nikah, Pak?" Ranice tidak habis pikir dengan ide Leander ini. "Tapi kita punya kesamaan. Kita sama-sama nggak bisa menikah dengan orang yang kita cintai. Kamu, karena tunangan kamu mengkhianati hubungan kalian. Saya, karena orang tua saya menentang hubungan kami." "Terus kenapa juga kita harus menikah?" Ranice masih tetap tidak mengerti. Di mana korelasinya semua pembicaraan ini. "Karena orang tua saya terus mendesak saya untuk menikah. Dan saya butuh sebuah pernikahan untuk membungkam tuntutan mereka, pernikahan yang dapat menjadi tameng agar saya bisa terus berhubungan dengan Becky." Kini penjelasan Leander mulai terdengar masuk akal. "Tapi apa hubungannya dengan saya? Kenapa harus saya, Pak?" "Karena kita saling tahu permasalahan masing-masing, sehingga kita sama-sama tidak akan melibatkan perasaan dalam pernikahan ini. Dan kamu bisa menjadikan ini sebagai cara untuk membalaskan rasa sakit hati kamu terhadap Theo. Kamu bisa buktikan sama dia, kalau kamu bisa tetap melanjutkan hidup tanpa dia." Leander semakin mendesak Ranice meski dengan cara halus. "Jadi maksudnya semacam sandiwara?" "Ya, bisa dibilang begitu. Sandiwara, pernikahan kontrak, atau apa saja. Hanya untuk sementara juga, dan yang pasti saya tidak akan melarang kamu untuk terus berkarier. Bahkan mungkin dengan pernikahan ini, karier kamu malah akan terdongkrak. Sama-sama menguntungkan bukan?" Leander tersenyum penuh bujukan. "Berapa lama?" tanya Ranice akhirnya. Dia mulai mempertimbangkan ide ini sebagai hal yang baik. Cepat atau lambat ayahnya akan memintanya untuk menikah juga, karena tidak mungkin selamanya sang ayah menjaganya. Namun Ranice tahu, hatinya sudah mati. Dia tidak yakin masih bisa mencintai pria lain setelah apa yang terjadi dengan dirinya, tujuh tahun yang berakhir mengenaskan. "Belum tahu. Lima tahun mungkin?"  *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD