ONE

1423 Words
~It hurts the most when the person that made you feel special yesterday, makes you feel so unwanted today~ Anonim   "Ke mana aja kamu satu minggu ini?" tanya Theo begitu setelah Ranice membukakan pintu rumahnya. "Sibuk," jawabnya singkat. Dia belum siap bertemu dengan Theo, dia masih ingin menghindari tunangannya ini. Tapi dia tahu, cepat atau lambat mereka harus bertemu. "Jawab yang bener, kamu ke mana aja?" tuntut Theo. Tangannya terulur untuk mencengkeram lengan Ranice dan mendorong gadis itu agar mempersilakannya masuk ke dalam rumah. "Sakit, Theo! Lepas!" Ranice menyentakkan tangan Theo yang mencengkeramnya begitu erat. "Jawab dulu!" Theo berkeras. "Aku sengaja menghindari kamu." Ranice menatap tajam mata Theo yang sedang memelototinya. "Kenapa?" tanya Theo emosi. "Aku takut muntah kalau lihat muka kamu!" Ranice memicingkan matanya dan memberikan tatapan jijik untuk pria di hadapannya itu. "Rae, jangan main-main ...." Theo mendesis kesal. "Aku nggak main-main, aku lagi serius. Aku mual tiap kali bayangin kamu berhubungan sama Bella," ujar Ranice dengan nada tenang namun sinis. "Rae ...." Suara pria itu mendadak berubah tercekat. Hilang sudah sikap galak yang ditunjukkannya tadi. Seketika kakinya lemas, dan Theo memilih untuk duduk di kursi terdekat yang mampu dijangkaunya. "Kamu pikir aku nggak tahu?" tanya Ranice sinis, kemudian memberondong Theo dengan pertanyaan yang selama satu minggu ini memenuhi benaknya. "Berapa lama lagi kamu mau bohongin aku? Atau kamu berniat nutupin ini terus, bahkan tetap menikah sama aku dan memelihara Bella sebagai simpanan kamu?" Sejak Bella datang dan mengakui bahwa dirinya tengah mengandung anak Theo, Ranice tidak bisa berhenti memikirkan mengapa tunangannya itu tega mengkhianatinya? "Rae, dengerin aku dulu." Theo mencoba mengambil tangan Ranice. "Kamu yang dengar aku, Theo! Aku mau hubungan kita berakhir, dan kamu ...," balas Ranice dingin sambil mengibaskan tangannya. "Secepatnya nikahi Bella." "Aku bisa jelasin semua, Rae. Jangan kayak gini." Suaranya bergetar, jelas pria itu terkejut mendapati kenyataan bahwa Ranice akhirnya mengetahui tentang pengkhianatannya. "Nggak ada lagi yang perlu dijelasin. Semua udah terlalu jelas," tandas Ranice. "Tapi gimana dengan kita, Rae?" Theo mulai memohon. "Nggak ada lagi kita, Theo! Yang ada sekaramg cuma kamu dan aku sebagai pribadi masing-masing." Ranice mengucapkan kata 'kita' dengan penekanan yang dalam. "Tapi yang aku cintai itu kamu, Rae." Theo mulai mencoba membujuk Ranice. "Mungkin kamu masih blur dengan apa itu cinta yang sebenarnya, Theo," balas Ranice tajam. "Tapi aku butuh kamu, Rae .... Aku nggak bisa kalau kamu pergi dari aku." Pria itu mulai mengemis.          "Harusnya kamu pikirin semua itu sebelum kamu memutuskan untuk memulai semuanya dengan Bella," ujar Ranice dingin. "Rae, aku mohon. Apa kita nggak bisa terus sama-sama? Apa nggak ada lagi kesempatan buat aku memperbaiki semua?" Wajahnya begitu memohon, namun Ranice sama sekali tidak tergerak melihatnya. "Dan membiarkan Bella menanggung semuanya sendiri? Membiarkan dia melahirkan tanpa suami, dan anak kalian nggak akan pernah mengenal ayahnya sendiri?" tanya Ranice tidak percaya. Sepecundang itukah pria yang selama ini dia cintai? "Satu-satunya cara untuk memperbaiki semua kesalahan kamu adalah dengan menikahi Bella." Semarah apa pun Ranice, Bella tetaplah sahabatnya. Entah apa sekarang dia masih sanggup menganggapnya sebagai sahabat? Tapi sebelum pengkhianatan ini terjadi, Bella memang sahabatnya. "Apa kita nggak bisa tetap menikah dan merawat anak Bella?" Satu pertanyaan lagi terlontar dari mulut Theo. Pertanyaan yang membuat Ranice begitu ingin menampar pria di hadapannya itu. "Theo, stop! Berhenti buat aku makin jijik sama kamu! Berhenti buat aku makin memandang rendah kamu!" Ranice begitu muak dengan semua perkataan Theo. "Oke, Rae! Fine! Asal kamu tahu ini semua juga terjadi karena kesalahan kamu! Kalau aja kamu nggak terus menolak ajakan aku untuk secepatnya menikah-" Belum selesai Theo bicara, Ranice sudah memotongnya. "Oh ayolah, Theo! Kamu udah tahu alasannya. Kamu tahu apa yang selama ini jadi mimpi aku, sementara kamu sendiri nggak pernah kasih aku dukungan. Kalau aja kamu nggak pernah mengajukan peraturan konyol dengan melarang aku berkarier setelah kita menikah ...." Perkataanya menggantung begitu saja. "Tapi kamu udah bekerja lebih dari empat tahun, Rae. Coba lihat diri kamu sekarang! Kamu udah jadi seorang komposer berbakat di usia 26 tahun. Bukannya itu udah bisa dianggap suatu pencapaian yang hebat? Apa lagi yang kurang, Rae? Apa lagi yang mau kamu kejar?" tantang Theo. "Tapi aku masih belum mencapai apa-apa. Aku masih terlalu jauh dari mimpiku, Theo!" jerit Ranice putus asa. Bagaimana cara membuat pria ini mengerti keinginannya? "Mimpi kamu atau mimpi mendiang ibu kamu?" balas Theo dengan nada meremahkan. Inilah hal yang selama ini mengganjal bagi Ranice. Theo dengan pemikirannya yang tidak masuk akal. Theo dengan sikap arogannya yang selalu meremehkan mimpinya. Theo yang bahkan tidak pernah mengakui jiwa musik yang mengalir kental dalam darah gadis itu. Empat tahun yang lalu, Ranice mengawali kariernya hanya sebagai bagian dari team Artist and Repertoire di Chord Music. Hidupnya berubah ketika secara tidak sengaja, Leander, produser musik di Chord Music menemukan bakatnya yang tersembunyi. Pria itulah yang membimbingnya untuk mengembangkan bakatnya. Ranice perlahan mampu menuangkan melodi yang selama ini hanya berputar-putar di kepalanya menjadi sebuah lagu yang indah. Bahkan Leander mendorongnya untuk menyanyikan sendiri lagunya, dan saat ini mereka tengah dalam proses mempersiapkan single pertamanya. Semua itu tidak terlepas dari peran Leander yang begitu percaya pada bakatnya. Sementara Theo, orang yang seharusnya berdiri paling depan untuk mendukung Ranice, sama sekali tidak pernah menghargai karier gadis itu. Mungkin pria itu terlalu silau dengan kesuksesannya sendiri sebagai vokalis dari salah satu band yang namanya tengah berkibar di blantika musik Indonesia saat ini. "Sampai kapan pun kamu nggak akan pernah bisa ngerti. Sepertinya, begini memang lebih baik. Biarpun aku nggak pernah bayangin kalau pada akhirnya kita akan berpisah, apa lagi dengan cara seperti ini," ujar Ranice lirih. Hatinya begitu sakit saat ini, merasakan pengkhianatan dari pria yang sangat dicintainya. "Kalau aja kamu nggak berkeras dengan mimpi bullshit ibu kamu yang bahkan nggak akan pernah melihat kesuksesan kamu sampai kapan pun! Kalau aja kamu nggak terus jual mahal dan mau mengizinkan aku menyentuh kamu, semua nggak akan jadi kayak gini! Aku nggak mungkin cari pelampiasan di belakang kamu!" Theo yang putus asa mulai menyerang Ranice dengan menyudutkan gadis itu. "Dan sekarang kamu melemparkan semua kesalahan sama aku? Wow! Kamu benar-benar buat aku muak, Theo!" Amarah Ranice yang sudah menyurut kembali tersulut. "Aku bersyukur nggak pernah menyerahkan diri sama pria macam kamu! Aku bukan Bella yang dengan rela membuka kakinya di bawah kamu! Menjadi gadis yang rela mengangkang untuk kamu meskipun tahu kamu sudah bertunangan dengan sahabatnya sendiri! Jangan-jangan selama ini ada Bella-Bella yang lainnya!" "Jaga omongan kamu, Rae!" ancamTheo. "Kamu tahu? Aku rasa kalian memang sangat cocok! Kamu yang nggak pernah bisa menghargai wanita yang memilih berdikari, sangat serasi dengan Bella yang begitu memuja pria arogan macam kamu. Oh, aku merasa sangat bodoh! Aku nggak pernah menyadari Bella yang selalu menyanjung kamu seakan kamu adalah titisan dewa, dan aku yang selalu melarang Juro berpikiran negatif setiap kali dia memergoki kalian berduaan tanpa kami. Kalian sangat menjijikan!" maki Ranice. Tepat ketika tangan Theo melayang dan hampir mendarat di pipi Ranice, tubuh pria itu terbungkuk dengan tangan terpelintir ke belakang. "Jangan coba-coba, k*****t! Cuma banci yang lancang nampar perempuan! Lo mau gue panggil banci, hah!" ancam Juro murka. Tanpa segan Juro memutar tubuh Theo dan menyarangkan tinjunya di perut pria itu. Juro, sahabatnya, berdiri dengan napas memburu di depan pintu. Sahabat sungguhan, bukan sahabat seperti Bella yang baru dikenalnya semenjak kuliah dan berujung mengkhianatinya. Juro adalah sahabatnya sejak kecil, sahabat yang berbagi segala sesuatu dengannya. Mereka bahkan sudah bersahabat sejak masih sama-sama mengompol dan belum mempunyai gigi. Beruntung mereka tinggal berseberangan, sehingga Juro yang baru tiba di rumahnya dapat menolong Ranice sebelum Theo mungkin melakukan hal yang macam-macam pada gadis itu. "Sana pulang! Dan mulai sekarang, simpen burung lo itu rapet-rapet di dalem celana. Jangan sembarang menclok ke kandang orang terus buang kotoran di mana-mana. Pulang aja ke kandang yang udah lo kotorin!" maki Juro kesal. Sejak awal Juro tidak pernah menyukai Theo, tapi dia diam selama Ranice bahagia. Tetapi setelah Theo menghancurkan Ranice, Juro tidak punya alasan lagi untuk bersikap baik padanya. Selepas kepergian Theo, Ranice luruh dalam pelukan Juro. Dia menangis sejadinya, menangisi hatinya yang terluka. Menangisi tujuh tahun kebersamaannya dengan Theo yang berakhir seperti ini. Juro membiarkan Ranice menangisi Theo selama hampir satu jam. Bagi Juro itu sudah cukup, dan mulai saat ini dia sendiri yang akan memastikan kalau Ranice tidak akan lagi menangisi Theo. "Jangan nangis kelamaan, Rae. Baju gue jadi basah. Gue mesti pergi lagi nih, mau ketemu klien. Lo bikin gue jadi keliatan jelek, Rae. Ingus lo ke mana-mana, nih!" goda Juro. Dia mendorong Ranice menjauh, memegang pipi gadis itu kemudian menarik kedua sisi pipi gadis itu dan memaksanya untuk tersenyum. "Senyum, Rae." *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD