Satu

1874 Words
Menikah muda, baiklah dalam usia dua puluh empat tahun bukan salah satu rencana hidupku. Aku memiliki gambaran tersendiri terhadap masa depan. Setelah lulus kuliah aku akan bekerja di kantor konsultan atau developer, mengais keuntungan sebanyak-banyaknya, bekerja tanpa ada batas jam dan kesehatan, memberikan yang terbaik pada kedua orangtuaku, memberikan kesempatan untuk kedua orang yang membesarkanku itu untuk liburan dan menginjakkan kaki di tanah suci, kemudian baru menikah. Setelah menikah aku akan memikirkan rencana hidupku selanjutnya. Kalau dihitung-hitung dengan analisis kelayakan yang biasa kugunakan untuk menghitung pembiayaan suatu pembangunan, aku akan menikah pada umur dua puluh delapan menyerempet ke usia tiga puluh tahun. Usiaku sekarang. Setidaknya itu hanya berlaku sampai datang seorang laki-laki di usiaku belum genap dua puluh tiga tahun. Kami tidak pacaran. Kami langsung bertunangan. Tidak ada perjodohan seperti yang biasa k****a pada novel-novel romance favoritku. Sarah Dessen mengatakan dalam The Truth about Forever, "There is never a time or place for true love. It happens accidentally, in a heartbeat, in a single flashing, throbbing moment". Sebelumnya aku mengamininya, aku mempercayainya. Aku percaya cinta sejati tidak perlu bertahun-tahun untuk meyakinkan sebuah hati. Aku percaya bahwa hanya butuh 3 jam dalam hidup untuk mengerti bahwa aku menginginkannya. Aku melakukan hal itu. Hanya butuh tiga jam dia berbincang setelah masuk kembali dalam hidupku. Aku tau, aku menginginkannya. Tidak ada orang lain. Tapi sepertinya aku salah. Menjalin hubungan ternyata tidak semudah menganalisis permasalahan di sebuah tempat. Pernikahan juga membutuhkan analisis SWOT : Strenght, Weakness, Opportunity dan Threats. Aku ternyata telah mempertimbangkan antara kelebihan dan kekurangan, namun aku lupa merinci peluang dan ancaman dari pernikahan yang telah kupertimbangkan masak-masak. Aku lupa karena saat itu aku buta dan merasa bahwa hanya butuh cinta untuk menjalani pernikahan. Ah sudahlah! Berlarut-larut dengan masalah cinta hanya membuat hidupku kembali berantakan. Aku seorang perencana dan hidupku tidak boleh tak terencana. Dulu, aku membelokkan diri dari timeline hidup yang kususun sendiri hingga berakhir berantakan. Bukan hanya berantakan, meluluhlantakkan, membuat semua yang kupunya habis tak tersisa. Tidak ada yang tersisa dari diriku sekarang. Aku menghela nafas lelah. Membayangkan menjadi janda di usia dua puluh enam tahun bukan hal yang mudah. Kupikir pernikahan itu suci, sakral dan hanya boleh sekali. Itu hanya sampai aku sendiri yang menandatangani surat gugatan cerai itu dan tak pernah lagi tau kabar terbaru sampai sekarang. Sudah satu setengah tahun berlalu. Memang aku yang membuat semuanya berantakan. Tapi aku masih memiliki harga diri untuk dipertahankan. Jika aku tidak menandatangani surat itu, entah apa yang terjadi dengan hidupku sekarang. Mungkin berakhir di rumah sakit jiwa atau mati overdosis. Orangtuaku pasti akan lebih malu lagi membesarkanku. Aku tidak mau membayangkannya. Mengingat masa lalu hanya membuat sudut hatiku perih. Aku tidak ingin merasakannya lagi. aku sudah gagal sekali, aku harus mempertimbangkan matang-matang jika ingin melangkah lagi. Aku tidak mau jatuh di lubang yang sama. Aku benci diriku berdramaqueen seperti ini. Ya. Aku tidak pernah lagi hidup dalam perasaan damai, hanya kebencian yang menjalari hatiku, bahkan setelah satu setengah tahun berlalu dari kejadian itu. Bahkan aku masih bisa merasakan kebencian yang menggunung pada diriku sendiri, pada dia, dan pada takdir yang mempermainkan hidupku jauh diluar dugaanku. * Aku mendengar suara telepon diangkat. Ponsel yang sebelumnya kujepit antara telinga dan bahu kini tergenggam sudah di tangan kananku. Aku mengamati orang-orang sekitar dalam beberapa detik, baru setelah sapaan dari seberang sana terdengar aku baru bersuara. "Ibu sehat, Bu?" tanyaku pada Ibuku. Memang aku yang selalu menelepon dari sini. Aku tidak mau Ibu membuang pulsa dengan berlama-lama menghubungiku karena roaming. Aku sudah mandiri, tidak sepatutnya menyusahkan lagi orangtuaku. Dan juga membuat mereka sedih. "Alhamdulillah. Sasa gimana disana, sehat?" Aku tersenyum singkat. "Alhamdulillah, Bu. Sasa kepengen makan dendeng balado, Ibu. Sasa rindu masakan rumah" "Memangnya Sasa disana nggak masak" "Masak, Bu. Tapi disini harga daging mahal banget. Sasa nggak tega buang uang untuk itu. mendingan ditabung untuk masa depan" jelasku pada Ibu. Sejak kejadian itu, bukan hanya aku saja yang berubah, Ibu dan Ayah juga turut berubah, setiap aku menelepon pasti suara yang terdengar hanyalah suara kecemasan dan menahan tangis yang kudengar. Aku benci membuat orangtuaku seperti ini. "Kamu pulang kan, akhir tahun ini? Deani mau menikah" aku menghela nafas lega mendengar ucapan Ibu. Syukurlah adikku itu akhirnya menikah. Setidaknya dia bisa memberikan menantu yang diharapkan kepada Ibu dan Ayah. Aku sempat memberikannya, tapi itu dulu, Aku jelas tidak bisa memberikannya sekarang. "Liat uang Sasa dulu ya Bu. Bisa untuk beli tiket atau nggak" jawabku jujur, aku tidak mendapat kiriman apapun lagi dari orangtuaku. Aku menimba ilmu dan hidup dengan biayaku sendiri sekarang. "Memangnya berapa Sa, tiket pulang? Ibu sama Ayah bisa transfer kalau kamu mau. Kamu mau kan kasih nomor rekeningmu sekarang? Sudah lama ini Sa" U-Bahn yang siap mengantarku ke tempat kerja datang dalam hitungan beberapa detik datang. Aku segera berdiri dan masuk dengan mengantre. Untungnya keadaan transportasi ini lebih sepi dari biasanya. Aku bisa mendapatkan tempat duduk. Aku tidak begitu mendengar Ibu mengatakan apa di seberang sana. Baru setelah mendapatkan posisi yang nyaman aku fokus pada panggilanku. "Sasa usahain datang, Bu. Insyaallah" jawabku akhirnya. Sepertinya hatiku sudah cukup kuat untuk berhadapan dengan orang-orang yang menyayangiku disana. Tidak ada salahnya pulang. Aku memang mempersiapkan tabungan untuk pulang sendiri, berjaga-jaga jika aku sudah siap pulang. Tapi setelah satu tahun berlalu, aku ternyata belum siap-siap juga. "Sa.." dari nada suara Ibu aku tahu Ibu akan membahas sesuatu yang tak ingin kubahas. Aku terdiam sejenak, sepertinya aku harus mengecewakan Ibu lagi. "Bu, udahan ya? Kayaknya pulsa Sasa mau habis karena Roaming" ujarku sekenanya, aku mengucapkan salam dan mengakhiri panggilan itu. menyandarkan punggungku sepenuhnya pada sandaran kursi. Aku bisa merasakan tubuhku tak bisa rileks. Membahas masa lalu itu, aku tidak mau. Dengan siapapun. Cukup aku memendam kepedihan ini sendirian. Aku tidak mau lagi menambah raut kecewa yang ditampilkan orang lain kepadaku atau kasihan. Aku tidak mau. Aku sudah melarikan diri sejauh ini. Bermil-mil dari tempat yang kusebut rumah sebelumnya. Sekarang inilah kehidupanku, masa depanku. Aku tidak bisa membiarkan masa laluku menggores luka yang sama pada masa depanku. Tidak bisa. Terkadang, aku juga bertanya pada diriku sendiri. Sampai kapan? Sampai kapan aku melarikan diri seperti ini? * "Bryan Mcknight akan konser disini akhir bulan. Kamu mau ikut?" Berliana menyikut sikutku saat aku tengah membuat laporan strategis perencanaan yang enam bulan ini kugarap. Aku menolehkan kepala sedikit, jari-jariku masih mengetik kata-kata. Aku tidak bisa berpikir sekarang. Aku tengah fokus. Aku bukan manusia yang multitasking hingga bisa membahas dua hal berbeda dalam satu waktu. Hanya kepala yang bisa kutolehkan sedangkan perhatian dan fokusku tetap berada pada laptop. "Aku tidak mau" jawabku santai, kemudian tenggelam lagi dari deretan kata yang kuketik. Berliana menghela nafas dalam, "Sampai kapan kamu mau mengerjakan laporan itu? Sampai selesai? Kamu tau itu hanya akan berakhir dua bulan lagi" Aku mendengus. "Setidaknya aku tidak membuang akhir bulanku untuk lembur" membuat Berliana mencibir langsung. Kantor tempatku bekerja ini benar-benar aneh. Pada tanggal-tanggal muda kami tidak diizinkan untuk lembur, namun pada tanggal-tanggal tua kami seolah dipaksa lembur. Hal itu hanya terjadi jika deadline yang diberikan tidak selesai atau masih banyak yang harus dikerjakan. Aku tidak mau membuang waktu akhir bulanku untuk lembur. Terang saja. aku memiliki janji bersama teman-teman mahasiswa untuk sekedar liburan ke Ceko. Iya, Praha. Akhirnya setelah satu setengah disini aku bisa menginjakkan kaki di luar Jerman. Aku benar-benar mahasiswa yang berbakti. Uang beasiswa dari KBRI yang kuterima kusisihkan setengah untuk keperluan hidupku, juga gaji yang sedikit lumayan jika dirupiahkan kutabung untuk keperluan tak terduga. Hidup di luar negeri tidak sama dengan hidup di luar kota, dengan mata uang yang masih sama. Selama aku menerima beasiswa dan bekerja, begitu banyak pengeluaran tak terduga yang kadang mencekik leherku. Memacungku untuk terus bekerja. Karena aku sudah sarjana, aku bisa mendapatkan pekerjaan disini. Hanya perusahaan ini mengizinkan anak magang yang memiliki visa untuk bekerja. Aku lebih banyak ditolak pada awal-awal. Melihat target kerja dan pengalamanku, akhirnya aku bisa mendapatkan pekerjaan kontrak di salah satu konsultan perencanaan ini. hanya dua tahun memang, tidak apa. Aku bisa lulus sebelum itu. Patah hati ternyata tidak membodohkan otakku. Pekerjaanku tetap selesai pada waktunya, meskipun kadang aku izin untuk kuliah dan ujian. Ujian disini memang bisa membuatku gila. Kalau aku diberikan kesempatan lagi, lebih baik aku melarikan diri ke luar kota daripada luar negeri. Atau aku lebih memilih untuk pascasarjana di univesitas dalam negeri saja. Awal-awal aku pindah kesini, aku sempat stres. Belum juga merapikan hatiku, ternyata aku masih harus merapikan hidupku yang terkena culture shock. Kadang, hidup memang mengerikan. Tapi tidak lebih mengerikan dari pertanyaan laknat yang mencambukku hingga aku bisa berada disini. Tidak ada yang lebih mengerikan dari itu semua. "Mau pulang jam berapa?" Ryan datang membawa beberapa minuman Starbucks. Aku langsung menghentikan pekerjaanku dan meminta salah satu minumannya. Membuat berliana benar-benar mendengus kearahku. Berliana dan Ryan adalah Planner di kantor ini, sebenarnya aku juga. Tapi karena statusku masih mahasiswa jadi aku lebih sering menjadi asisten mereka. Aku tidak pernah mendapat pekerjaan di luar Jerman. Mereka yang lebih sering. "Jam 6 sepertinya ide yang bagus" Aku mengangguk-angguk setuju, sebelum melimpir ke kursiku untuk melanjutkan pekerjaan. Hidupku memang lebih baik sekarang. Tidak ada lagi rasa cemas yang membelengguku, tidak ada lagi ketakutan akan kehilangan. Dan yang paling penting tidak ada lagi orang yang bisa menghancurkanku sampai ke tanah. Setidaknya, hidupku sudah kembali masuk ke dalam jalurnya. Meskipun aku tetap merasa kosong. * Ada saat-saat aku merindukan rumah. Seperti saat ini. Memandang langit malam dari jendela apartemenku bisa membangkitkan kenangan-kenangan yang sudah tidak ingin aku sentuh lagi. dan ingat. Namun terkadang kenangan itu datang menyeruak begitu saja. Menyesakkan hatiku. Segala kejadian beberapa tahun lalu seperti alunan lagu yang tak pernah selesai di ingatanku. Meskipun aku merintih kesakitan dan meminta untuk berhenti, dia tak akan pernah berhenti. Aku penasaran bagaimana kabarnya saat ini. Apakah dia sudah melangsungkan pernikahan dengan wanita itu? pastinya sudah. Aku tidak perlu lagi bertanya. Dia tak pernah mencintaiku. Dia hanya tertarik dengan fisikku. Kami memang cocok, secara fisik. Tidak secara hati. Setidaknya pemikiran cocok itu datang selama satu tahun aku menjalani awal-awal pernikahan dengannya. Aku rasa kami memang cocok. Tidak ada yang terlalu dipermasalahkan. Kami menjalaninya dengan bahagia. Yeah.. aku bahagia pada saat itu. Aku pikir dia juga bahagia. Bersamaku. Ternyata aku salah. Kehancuranku dimulai pada kecurigaanku padanya yang tak pernah cemburu meskipun temanku mengantarku malam-malam ke rumah. Dan setelahnya.. Aku menghela nafas dalam. Berat sekali rasanya mataku menampung air mata. Aku mengalihkan pandangan pada tumpukan buku yang biasa k****a. Ada salah satu buku yang belum kunsentuh. True Love, novel dari Robert Fulghum. Aku memang suka membaca novel. Tapi kegiatan itu sudah lama kutinggalkan sejak aku berstatus istri dan janda seperti sekarang. Hanya sesekali aku membaca, aku lebih tertarik membaca jurnal atau laporan yang berkaitan dengan kuliah dan pekerjaanku. aku meraihnya dan membuka sebuah halaman. Seketika aku terdiam. "We're all a little weird. And life is a little weird. And when we find someone whose weirdness is compatible with ours, we join up with them and fall into mutually satisfying weirdness—and call it love—true love." Aku pikir Arseno merupakan cinta sejatiku. Aku benar-benar mencintainya, sepenuh hatiku. Tidak pernah aku merasa lebih bahagia daripada masa-masaku bersamanya. Masa-masa kami bertunangan, menikah, malam pertama kemudian malam-malam selanjutnya yang diisi kehangatan. Aku tak pernah sebahagia itu sebelumnya. Tapi aku sadar, mencintainya berarti menghancurkanku. Aku tidak mau hancur. Untuk itulah aku memilih berhenti menghancurkan diriku sendiri. Sampai hari ini.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD