Dua

1485 Words
"WHERE ARE YOU?!" Aku menjauhkan diriku dari ponsel seketika mendengar teriakan Adara di seberang sana. Kami terhubung dengan aplikasi skype. Aku tiba-tiba ingin mengaktifkannya. Entah karena apa. Setelah melihat diriku online, Adara langsung menghubungkannya denganku. "Somewhere outside" balasku ringan kemudian aku terkekeh pelan. Senang sekali aku melihat reaksi Adara seperti ini. aku jadi membayangkan bagaimana ekspresi teman-teman kami yang lain saat mengetahui keberadaanku. Aku menghilang. Memang. Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Dan aku membuktikannya. Aku tidak pernah berbicara mengenai keberadaanku pada keluarga dan teman-temanku. Itu hanya sebuah tindakan waspada agar aku tidak segera ditemukan. Aku membutuhkan waktu cukup lama untuk menghadapi mereka. Awalnya aku menghubungi keluargaku melalui email kepada Deani, yang langsung dibalas Deani dengan umpatan dan kalimat panjang yang berhasil meloloskan tabung air mataku malam itu. Aku merasa bersalah. Setelah hari itu, aku pelan-pelan menghubungi keluargaku. Awalnya hanya rutin membalas email sampai Ayah dan Ibu mengaktifkan email baru untuk menghubungiku. Keluargaku tidak ada yang pintar IT, jadi bisa kupastikan melacak keberadaanku melalui email bukanlah suatu hal yang terpikirkan. Setelah pulang waktu itu, aku memang minta izin untuk pergi dua minggu setelahnya. Setelah aku mengatakan kepada Ibu dan Ayah bahwa aku sudah tidak kuat menjalani pernikahan. Ayah dan Ibu akhirnya mengizinkanku untuk kembali pulang, membicarakan masalah secara baik-baik, tanpa perlu ada kata perceraian. "Cerai itu di laknat Tuhan, Sa" Aku tahu, melihat diriku sekarang sepertinya aku sudah dilaknat habis-habisan oleh karmaku. Aku mempercayai pembalasan, dan saat itu yang kupikirkan hanyalah pembalasan kepada suamiku yang akan segera menjadi mantan suami. Dia pantas mendapatkannya. Tapi aku memang sudah tidak kuat. Aku memang setengah gila. Seharusnya aku masuk rumah sakit jiwa saja agar kembali normal. Menjalani hidup yang tak kuinginkan bukanlah keinginanku. Aku berjanji akan segera bertaubat, tunggu sampai aku mau melakukannya sendiri. Menjadi istri durhaka, membuka aurat setelah menutupinya. Bukankah aku sudah benar-benar gila menjalani kehidupan ini? Itu tidak termasuk dalam rencana hidupku. Takdirlah yang membimbingku kesana. Menjadi iblis pada diriku sendiri, siap menghancurkanku pada lubang neraka jika aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku sekarang. Yang kurasakan hanya kebencian, kebencian yang menggelora. Bahkan rasa cinta yang kurasakan dulu terkikis habis oleh kebencianku. Aku benci dikhianati, aku sangat membenci pengkhianat. "Kabar kamu gimana?" Adara kembali menanyakan kabarku. Aku mengangkat bahu. "Better than before. Makasih ya, Ra. Kamu udah bantuin aku, mau jadi pengacara buat aku" aku belum sempat berterimakasih pada Adara yang menjadi kuasa hukumku satu setengah tahun yang lalu. Karena aku memutuskan menghilang. Adara tampak kaget dengan ucapanku. Dari mimik wajahnya aku bisa memperhatikan bahwa dia kaget sekali. Seperti ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya. "Sa, kamu tau dia..." Aku menghela nafas dalam. "Aku nggak mau mencari tahu tentang kejadian di masa lalu, Ra. Bisa kita nggak bahas itu?" Aku berusaha tersenyum, tapi dari layar kecil yang menampilkan wajahku. Aku bisa melihat diriku menyedihkan. Sangat menyedihkan. * Berkunjung ke KBRI adalah hal yang rutin kulakukan. Selain mengikuti acara-acara yang diadakah oleh kedutaan itu, aku juga lebih sering mengambil job sampingan apabila ada data yang harus diinput. Selain itu semua, aku lebih sering kesana untuk bermain. Yeah. Bermain. Bersosialisasi. Aku hanya pegawai kontrak, jadwalku memang sampai jumat namun kadang itu tidak selamanya full time. Kecuali beberapa bulan terakhir sih. Hari ini aku memutuskan untuk datang ke KBRI untuk mengupdate data-data keperluan beasiswaku. "Udah semingguan ini nggak kelihatan, neng" aku tersenyum kecil kepada satpam yang sangat hafal wajahku, saking seringnya aku datang kesini. aku berbasa basi sebentar kemudian baru masuk lebih dalam ke resepsionis. Aku mengutarakan niatku untuk lapor diri. "Sa, udah lama banget lo nggak kesini" Aku tertawa kecil menimpali ucapannya. Sakti, dia bekerja di KBRI dan juga memiliki flat yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Kami merupakan teman akrab dengan beberapa mahasiswa lain yang menempuh pendidikan disini. Sakti sudah lulus kuliah tahun lalu. Dia adalah teman makanku saat pertama kali kesini, kemudian kebiasaan itu terus berlanjut sampai aku sibuk beberapa bulan terakhir. Sakti membawaku ke ruangan di lantai tiga. Dia menemaniku untuk mengurus urusanku. Tidak sampai satu jam, kami kembali ke lantai dasar untuk mengantarku pulang. Ada satu hal yang biasa kulakukan sampai di kantor ini. ini gila memang, aku berlama-lama berdiri di depan sebuah pohon yang berada tepat di depan kantor yang mirip ruko ini. Aku hanya diam beberapa saat, sampai sebuah tangan mengelus pundakku lemah. Aku tersenyum kepada Sakti, yang ditanggapi baik oleh pemuda itu. Aku kembali melamun dengan pandangan lurus kedepan. Tidak lagi peduli dengan usapan-usapan lain yang dicoba Sakti untuk menghentikan tangisku yang akan menyeruak keluar. Aku menghela nafas dalam, berusaha untuk tidak menangis. Tidak ada gunanya aku melamun disini, akan lebih baik aku segera pulang dan masak untuk makan malamku. Persediaan makananku sudah habis di apartemen. "Nanti mau makan bareng?" tawar sakti, kadang itu sangat ampuh untuk memperbaiki moodku yang rusak. Aku menggeleng pelan, berusaha menolak tawarannya sehalus mungkin. "Gue udah masak" Sakti tampak agak kecewa, yang bisa kumaklumi. "Oh. Oke. Tapi lo nggak apa-apa?" sakti tau pertanyaan itu tak akan pernah kujawab. Aku pamit setelahnya, memandang kantor itu sebentar dan memandang sakti bergantian. Sudah satu setengah tahun sejak pertama kali aku menginjakkan kaki disini untuk tes beasiswa lanjutan. Aku bertemu sakti saat itu dan kami cepat akrab. Kemudian dia menjadi salah satu orang penting dalam hidupku disini. Aku segera berjalan menuju stasiun terdekat. Aku tidak bisa membiarkan pertahananku hancur di jalan. Orang-orang bisa menganggapku gila sungguhan dan tidak sungkan membawaku ke rumah sakit jiwa. Mana ada orang disiang bolong menangis meraung-raung di tengah jalan? Baiklah. Itu hanya berlebihan. Karena sebagaimana diriku, aku tau, saat paling tersedih di dalam hidupku pun aku hanya bisa menangis dalam diam. Menenggelamkan wajah ke bantal dan menangis tanpa suara, membuat barang-barang dikamarku menjadi saksi bisu kesakitan yang kualami selama ini. Seharusnya, aku sudah lebih tegar bukan? Tapi sepertinya, aku hanya berusaha membohongi diriku terus-terusan. * "Aku tidak pernah lagi melihat temanmu datang kesini" Aku mengerinyitkan dahi dan menyeruput minuman dari Bubble king yang kubayar beberapa menit yang lalu. Kami break. Aku, Berliana dan Ryan memutuskan untuk membeli minuman segar di dekat kantor. Hari ini cuaca cukup cerah, padahal akan memasuki musim gugur. "Siapa?" tanyaku yang kebingungan. Ryan yang duduk disebelahku menyenggol bahuku. "Sakti" dia melafalkan nama Sakti dengan sedikit aneh. Aku langsung menggeleng cepat. Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Sakti kecuali persahabatan. Dia sudah terlalu banyak membantuku, tidak seharusnya aku terus-terusan merepotkannya. "Dia bukan pacarku, untuk apa mengunjungiku" sanggahku cepat. "Kalian dekat? Kalian tinggal bersama bukan?" darimana pula pemikiran bahwa aku dan Sakti tinggal di atap yang sama? Mereka hanya membual tanpa tahu kebenaran. Lagipula, memang salahku tidak memproklamirkan dari awal hubunganku dengan Sakti. Membiarkan spekulasi liar mereka melebar kemana-mana. "Tidak. Dia hanya teman baikku" jelasku lagi. Menekan pada kata teman. Mereka tergelak seketika. Aku tidak tau poin mana yang lucu dari perkataanku, hingga yang bisa kulakukan hanya diam. Pada semester ini, aku memang hanya memiliki satu mata kuliah di kelas, selebihnya aku sibuk mengurusi tesisku. Aku memang sudah jarang datang ke kampus, jika tidak bimbingan dan jika tidak diperlukan. Lebih baik aku bekerja. "Kita bisa pesta malam ini. Kau bisa membawa temanmu itu" usul Ryan, yang membuatku tidak terlalu kaget. Isi otaknya hanya pesta dan seks, dan tentu saja pekerjaannya. Aku mendengus. "Dan kami mengurusi orang mabuk? Tidak. Terima kasih" tolakku cepat, mereka lagi-lagi tertawa. Aku kadang heran dengan hal itu, aku tidak bermaksud melucu sama sekali. Apa mungkin mereka memandangku seperti badut. Aku dan Sakti bukan peminum. Jika orangtuaku tau, aku pasti akan dicoret dari daftar ahli waris keluarga. Sudah merusak nama keluarga dengan perceraian, sekarang merusak nama keluarga menjadi tukang mabuk. Tidak akan ada orang yang percaya bahwa aku masih wanita baik-baik. "Kamu butuh liburan, Tsania" Aku mendengus. "Aku akan ke Praha, akhir bulan" jawabku sambil tersenyum. Mereka langsung kaget seketika. Berliana melotot. "Jadi karena hal itu kamu rela lembur akhir-akhir ini?" aku tidak benar-benar lembur, aku hanya pulang lewat batas jam pulang. Dan tentu saja itu akan membuat pekerjaanku lebih cepat selesai. Aku mengangguk mengiyakan. "Aku ikut" ujar Ryan. Aku menggeleng cepat. "Aku pergi bersama teman-teman dari Indonesia. Kamu sebagai orang asing tidak diundang" "Menyedihkan sekali" "Sakti ikut?" Aku memutar bola mataku. Tentu saja laki-laki itu ikut, kami kan teman dekat, dan teman dekatku adalah teman-teman dekatnya Sakti. Aku yang masuk dalam lingkar pertemanan mereka. Dan mereka menerimaku begitu hangat. "Kamu akan liburan dengannya?" Aku mendengus lagi. "Aku tidak liburan berdua" entah kenapa aku mulai risih dijodoh-jodohkan dengan Sakti. Ini memang bukan pertama kali, tapi aku hanya menganggapnya sebagai teman, dan dia sepertinya juga begitu. Tidak ada yang harus dispesialkan dari kami. Tidak ada. Karena hatiku masih tertaut pada orang itu. Orang yang pernah kuanggap sebagai laki-laki terakhir yang akan berjuang demi kebahagiaanku. Tapi ternyata, dia tak berjuang sama sekali. Dia tak mau, lebih tepatnya. Kenapa aku jadi memiikirkan dia? Lamunanku berakhir beriringan dengan pesan yang dikirim Sakti masuk ke ponselku. Aku mengerinyitkan dahi, kami memang sering bertukar pesan, tapi tidak pernah sepertinya Sakti mengirimkan pesan sekaku ini kepadaku. Sakti : Sa, bisa ke kantor nanti? Aku membalasnya dengan cepat.   Ada apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD