Tiga

1938 Words
Perasaanku menelusuri jalanan menuju KBRI tidak bisa dikatakan santai. Aku tidak tau kenapa, yang jelas, aku menelusuri jalanan dan turun dari S-Bahn cepat. Aku bahkan hampir menabrak beberapa orang jika aku tidak segera menghindar. Ada apa denganku? Tidak mungkin hanya karena bertemu Sakti aku seperti ini kan? Sakti : Datang dulu aja   Aku berusaha mengenyahkan pikiran burukku. Dari tadi, aku berusaha menghubungi Sakti, namun laki-laki itu tidak berusaha membalas chatku. Dia malah memintaku untuk segera kesana. Aku benar-benar tidak mengerti. Gedung KBRI sudah tampak di depan mata. Pandanganku sekilas pada sebuah pohon yang biasa kupandangi. Aku tidak memiliki waktu untuk berlama-lama sekarang. Kudorong pintu itu cepat, jantungku berdegup cepat seperti sesuatu yang buruk akan segera terjadi padaku. Sakti ternyata sudah menungguku di loby kantor itu. "Kenapa?" Tanyaku, berusaha mengatur nafasku yang hampir habis karena terlalu cepat berjalan. Aku sedikit kaget dengan ekspresi serius dari raut wajah Sakti mendapatiku. Tanpa pikir panjang, dia segera meraih tanganku dan membawaku ke lantai dua. Jantungku masih berdegup cepat. "Ada apa sih? Lo kenapa? Jangan bikin penasaran gini dong. Berkas gue bermasalah?" cerocosku saat dia hanya menampilkan ekspresi paniknya menaiki tangga. Kami sampai di lantai dua dan aku melihat beberapa orang yang kukenal ada disana. "Lo kenal sama dia?" Tanya Sakti, otomatis membuat beberapa orang di ruangan itu menoleh pada kami. Pandanganku terkunci pada seseorang yang duduk membelakangiku. Jantungku langsung tersambar petir. Aku tidak bisa menetralkan ekspresiku yang sangat kaget saat ini. Dia tak menoleh ke arahku. Tapi tanpa dia melakukan hal itu, aku bisa menebak orang itu. Siapa lagi orang yang kuhafal begitu rinci selain orang itu. Melihat punggungnya saja, aku bisa mengenalinya dengan cepat. Aku menoleh ke arah Sakti. "Ada apa ini?" baru setelah kalimat itu keluar, dia membalikkan badannya padaku. Aku benar. Tebakanku akan dia tak pernah salah. Arseno berada di kursi itu. Tatapan kami bertemu. Sekujur tubuhku langsung merinding melihat matanya langsung menatap pada mataku. Begitu dalam. Sesaat kami hanya bertatapan, setelah akhirnya aku mengalihkan pandangan pada Sakti. "Dia bikin masalah di imigrasi. Kita dipanggil tadi. Tapi masalahnya udah selesai" Aku menghela nafas dalam. "Masalah?" Sakti mengangguk dan membawaku masuk ke dalam ruangan. Tangannya masih berada di punggungku saat membawaku mendekat ke arah orang yang kuhindari mati-matian. Lucu sekali. Lucu sekali takdir mempermainkan hidupku. Sakti menyandarkan badannya ke meja. "Dia nggak jawab pertanyaan dari pihak sana, trus kita di telepon. Setelah liat, ternyata alamat visanya itu alamat lo" aku menegang di tempatku, menelan ludahku pelan. Aku tidak memberanikan diri menoleh ke arahnya. "Dia juga nunjukin ini" Sakti memberikanku sesuatu yang tak pernah lagi kulihat. Buku bersampul hijau yang menyatakan bahwa aku sudah sah menjadi seorang istri beberapa tahun yang lalu. Tanganku bergetar menerimanya. Aku menelan ludah saat membaca tulisan yang ada di dalamnya. Sebelum goyah, aku menyerahkannya pada Sakti. "Gue bisa langsung bawa ke alamat lo. Tapi kata lo, lo udah..." pikiranku kacau balau sekarang. Tidak ada lagi yang bisa kupikirkan sekarang. "Makanya gue tahan disini dulu, sampai lo datang" jelas Sakti kepadaku. Aku membuang wajahku. "Dia ditempat lo dulu, bisa?" ujarku padanya, lebih ke meminta. "Lo tau birokrasi Jerman ribet banget, Sa. Gue nggak mau ambil resiko" aku menoleh ke arah Arseno yang diam tidak berkutik sama sekali. Tatapanku menjadi sangat tajam kearahnya. "Maksud lo, gue harus nampung dia?" aku tidak peduli dengan ekspresi yang ada di belakangku. Aku tau aku sudah terlalu ketus dan kasar sekarang. Tapi siapa peduli? Darimana dia dapat alamatku dan langsung menuliskannya di visanya. Membuat dia bisa terkena masalah saja selama disini. "Gue nggak bisa bantu apa-apa" jawab Sakti merasa bersalah. Kami membicarakan beberapa hal sebelum pulang. Aku memaksa Sakti untuk bersama kami. Aku meminta maaf atas masalah yang dibuat. Sepanjang perjalanan, aku dan sakti terus berbicara. Aku yang memaksa sakti untuk menanggapi setiap perkataanku. Biasanya aku lebih diam, aku tidak tau kehadirannya sekarang seolah ancaman padaku. Aku harus waspada. * Aku membuka pintu apartemenku dengan cepat. Dia dan Sakti mengekori di belakang. Sakti memang memutuskan untuk mengantar sampai ke kamarku. Sedangkan Arsen tak berbicara apa-apa. Dia lebih memilih diam. Aku tidak tau apa yang salah dengan mantan suamiku itu, tapi yang jelas kedatangannya sudah mengganggu ketenangan jiwaku. "Gue tinggal ya?" Nada bicara Sakti terdengar cemas. Aku menabahkan diri lebih lama sebelum mengangguk. Kami sudah memiliki solusi, dia akan tinggal beberapa hari disini kemudian kami akan mencarikan tempat tinggal sementara untuknya. Visanya akan berubah dalam satu minggu. "Nggak apa-apa" jawabku seadanya. Aku hanya melihat kepergian sakti sebelum menutup pintu. Jantungku yang tadi berdetak cepat sekarang mengkhianati otakku untuk membenci laki-laki di depanku ini. dia memandangi apartemenku, aku tidak bisa membaca ekspresinya karena sekarang aku berada di belakangnya. Aku menahan diri untuk tidak mencecarnya saat ini juga. Tapi sepertinya itu juga tidak akan bisa. "Kamu mau mandi, tasnya di taro di meja sana" ujarku melewatinya. Berhati-hati agar kami tidak bersinggungan. Aku membereskan apartemenku yang sedikit berantakan di depannya. Berusaha tidak peduli dengan apa yang dilakukannya atau dipandanginya. Merasa jengah dilihat, aku menolehkan kepala. "Kamu nggak mau mandi?" tanyaku datar, namun mataku berkilat tidak suka. Aku bergidik melihat ekspresinya yang datar sekarang. Dia masih tidak mau bicara. Apa berpisah denganku membuatnya bisu? "Kemana hijab kamu?" Aku tidak menyangka hal itu yang dipertanyakan pertama kali. Aku menghindari tatapannya. "Hilang" aku berdiri menatapnya dengan tajam. "Bukan itu yang harusnya dipertanyakan disini. Kamu belum makan? Aku siapkan" aku berusaha menghindarinya dan mulai sibuk dengan dapur. Air mataku rasanya ingin meluruh. Mantan istri mana yang masih berani menyiapkan makanan untuk mantan suaminya? Rasanya aku sulit untuk tidak melakukan aktivitas lama kami. Aku menghela nafas satu-satu agar aku tidak menangis. Pertanyaan itu membuatku ditampar dengan keras. Aku memang melepas pashminaku. Kerudung yang sudah menutupi kepalaku sepanjang pernikahanku dengannya. Aku memang sudah mendurhakai diriku sendiri dan kewajibanku atas itu. Tapi satu hal yang kupelajari dari itu semua, jangan pernah menjadikan seseorang alasan akan perubahanmu. Setelah Arsen hilang, hijabku juga hilang. Aku memang masih mengenakan sesekali. Jika aku ingin dan aku rindu. Tapi tidak lagi memakainya setiap hari seperti dulu. Perpisahan memang tak membuat IQ ku menurun, tapi akal sehatku. Aku memang setengah gila kan? Aku bahkan tidak merasa takut akan azab Tuhan yang siap membelengguku. Seharusnya aku bertaubat, bukan malah semakin nyeleneh seperti ini. Aku tidak tau apa yang salah dengan diriku dari hari itu. Yang kurasakan hanya kekecewaan. Aku kecewa pada takdir yang kupilih dan aku kecewa pada diriku sendiri. Aku tersentak mendengar suara kamar mandi terbuka tepat dibelakangku. Aku menahan diri untuk tidak menolehkan kepala. Biasanya, aku akan dengan senang hati memelototinya yang telanjang d**a dan kemudian kami akan melakukan aktivitas paling nikmat didunia. Dulu, sebelum dia memproklamirkan sesuatu. Aku tidak merindukannya. Semoga saja aku tidak hanya menyangkal. Kami sudah berpisah sejauh ini, untuk apa dia mendatangiku? Apa membuatku menderita selama ini belum cukup baginya? Aku ingin tertawa. Akulah yang memilih takdirku sendiri. Akulah yang memilih jalan hidupku sendiri. Aku tidak mengatakan apa-apa lagi saat menyodorkannya sepiring nasi dan lauknya di meja tengah TV samping tempat tidurku. Apartemenku kecil, tidak ada kamar tambahan. Hanya ada satu ruangan yang merangkap menjadi kamar tidur, ruang TV dan kamar ganti disini. Aku melewatinya tanpa memandangnya, membuka lemariku dan mengambil pakaian ganti. Aku kemudian berjalan ke kamar mandi dan menghidupkan shower. Air mataku meluruh seketika. * Aku duduk di pinggiran kasurku dan memandangnya menatap kosong kearah TV. Tidak ada tamu yang lebih kurang ajar dari dirinya. Dia dengan seenaknya menyentuh barang-barangku dan menghidupkan televisi, padahal dia tidak mengerti bahasanya dan sepertinya dia tidak menontonnya. Aku hanya sibuk memandanginya. Aku berdiri sambil menghela nafas dalam. Arsen menoleh seketika. Aku berusaha menghindari tatapannya. Aku tidak suka dia menatapku. Dia menghidupkan getaran-getaran yang sudah selama ini aku kubur dalam-dalam. Ingat Sa, dia selingkuh. Aku mengambil kasur lipat dan selimut yang ada di lemariku. Memang aku mempersiapkannya. Sudah sangat lama. Kadang saat musim dingin, aku mendouble kasurku dengan kasur lipat itu juga mendouble selimutku. Sebelum aku memiliki penghangat ruangan seperti sekarang. Aku berdiri di sampingnya. "Cuma ada satu tempat tidur disini—" Arsen berdiri di depanku. "Kita bisa satu kasur" membuatku langsung membelalakkan mata. Aku menggeleng cepat. "Karena kamu baru dari perjalanan jauh, aku akan tidur dibawah sekarang. Kamu tidurlah" aku segera menyingkirkan satu-satunya sofa yang ada disana merapat ke dinding. Aku dengan cepat mengalas tempat tidurku dengan kasur lipat itu dan selimut. "Kamu nggak tidur?" jawabku sambil melirik kasur yang ada di belakangnya. "Aku nggak bisa biarin kamu tidur dibawah" Aku mendelik beberapa detik dan mengabaikannya. Aku masuk ke dalam selimut dan tidur memunggunyinya. "Matiin lampunya kalau mau tidur" "Kenapa kamu nggak mau kita tidur satu ranjang" Sudah lama juga kita tidak melakukannya kan? "Bukan mahram" balasku. Aku menutup mataku setelah itu. * Ada yang salah saat aku membuka mata. Tadi malam, tidak peduli dengan perdebatan yang ingin dilakukan Arsen aku tetap tidur. Tubuhku seketika menjadi lelah. Seperti ada pekerjaan yang tiga hari kulakukan beruturut-turut namun tidak selesai juga. Hal itulah yang mendorongku untuk segera terlelap. Aku sedikit kesusahan bergerak. Baru setelah nyawaku terkumpul. Jantungku berdegup kencang seketika. Sebuah tangan melingkari pinggangku. Aku ingat siapa yang berada di apartemen ini. Arsen tengah memelukku. Apa yang dia lakukan dengan tidur di lantai bersamaku seperti ini? Aku tidak peduli. Aku benci reaksi tubuh yang membawaku mengingat kembali kenangan itu. Aku menyingkirkan tangannya pelan-pelan dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Aku selalu terbangun pukul tiga pagi, untuk sholat subuh. Pashminaku memang sudah lepas, kewajibanku yang lain tidak. Aku masih rutin sholat, satu-satunya tempatku bergantung sekarang adalah Tuhan. Aku tau Tuhan tidak akan mengecewakanku, disaat orang lain berlomba melakukannya. Selesai Sholat subuh disisi lain apartemenku. Aku memandangi wajah terlelap Arsen dari tempat tidurku. Dia tampan sekali. Aku menyukai berlama-lama memandang wajahnya seperti ini. Dulu. Aku bahkan tidak segan-segan menciumnya karena gemas. Wajahnya damai sekali. Mata tajam yang bisa menggetarkan seluruh tubuhku itu terlelap. Aku bahkan tidak merasakan sesuatu yang berubah setelah sekian lama kami terpisah. Kilasan pertemuan pertamaku dengannya langsung menyerbak dari memori. Aku dan Arsen adalah satu organisasi saat kuliah. Dia melamarku setelah kami tidak sengaja lagi bertemu untuk urusan pekerjaan. Kami langsung bertunangan, ingat? Tapi dia tak pernah tau bahwa aku sempat menyukainya kala itu , memandangi wajahnya lama-lama saat dia menjabat sebagai ketua departemen di organisasi kami. Untuk apa dia kesini? Aku yakin tujuannya kesini jelas mencariku. Dari visa dan alamatnya saja dia sepertinya tau bahwa aku sudah lama berada disini. Dia mempersiapkan segalanya dengan matang. Apa mungkin dia datang untuk memberi penjelasan atas kejadian dimasa lalu? Haha! aku menertawakan spekulasi bodohku. Mungkin dia hanya menemuiku untuk menebus rasa bersalah karena aku meninggalkannya dengan lancang. Tidak mungkin dia marah karena aku meninggalkannya. Aku sudah menjelaskannya beserta surat gugatan cerai yang kutinggalkan. Dia juga tidak pernah peduli padaku. Tidak pernah sepeduli itu. Apapun yang kulakukan tidak akan pernah berharga dimatanya. Karena dia memang tidak mencintaiku. Aku terlalu bodoh mengartikan sikap baiknya selama ini. Kupikir cinta bisa datang karena terbiasa, tapi mengingat dia hanya menggunakan tubuhku untuk pemenuh kebutuhan biologisnya sedangkan wanita lain yang ada dipikirannya cukup merobek harga diriku. Aku seperti w************n. Itu juga yang mendorongku untuk menolak bersenggama dengannya saat itu. Tidak ada jaminan dia tidak membayangkan wanita lain di bawah tubuhnya. Semuanya sudah terlihat dengan jelas oleh kedua mataku. Aku tidak akan membangun rencana kalau tidak ada permasalahannya. Spekulasiku benar, argumenku tepat. Aku sudah menyelidikinya jauh sebelum aku melayangkan gugatan cerai dan pindah bersama beasiswa yang kudapatkan. Aku tidak mungkin salah melangkah saat itu. Yang tidak kumengerti saat ini. Mengapa dia kembali? Aku menghela nafas dalam dan membaringkan tubuhku di tempat tidur. Tidur beberapa jam akan mengembalikan staminaku yang terkuras karena berpikir. Aku nanti harus menemui pembimbingku untuk konsultasi thesis dan juga konferensi yang akan diadakan dua bulan lagi. Aku mengirim paperku ke konferensi itu. Seharusnya bukan keberadaan Arsen di kamarku yang menggangguku sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD