Empat

1910 Words
Ada beberapa hal yang kusukai saat kami menikah dulu. Aku akan bangun pagi karena alarm, membangunkan Arsen untuk kewajiban sholat subuh. Kemudian aku akan memasak untuk sarapan kami berdua. Kami tidak memiliki asisten rumah tangga, segala urusan rumah aku dan Arsen sendiri yang menanggungnya. Termasuk membersihkan rumah, mengepel, mencuci baju. Aku memasak sambil membawa pakaian kotor ke mesin cuci, sedangkan Arsen memiliki tugas untuk menyapu rumah. Kegiatan itu menyenangkan tatkala Arsen sudah mulai menggodaku dengan memelukku dari belakang. Dia tidak akan menghentikan itu sampai acara masak memasakku selesai, setelah itu tangannya masuk ke dalam piyama yang kupakai dan kami melakukan aktivitas fisik di ruang tengah. Arsen akan tertawa melihat wajahku yang kelelahan dan memberikan ciuman bertubi-tubi sebelum menjauhkan diri dan mandi. Aku harus kembali memungut pakaian yang berserakan dan bergantian mandi dengannya. Dua jam rutinitas pagi yang menyenangkan. Pikiran bodoh itu muncul begitu saja saat aku menatap Arsen yang diam menikmati makanannya. Yeah, sangat menyenangkan dan jangan lupakan kami saat itu adalah pengantin baru. Tentu saja segala yang manis terlihat di masa-masa madu itu.  Dia merangkap jadi orang bisu yang irit bicara dari kemarin. Baiklah orang bisu tidak bicara. Aku tidak tau dan tidak mau tau apa yang membuatnya seperti ini. Biasanya dia lebih cerewet. Mungkin bukan aku saja yang berubah karena perpisahan kami. Aku beranjak setelah makananku habis dan mencuci piring. Setelahnya, aku mencetak file tesisku yang akan diasistensikan dalam diam. Arsen mengamatiku. Aku tau, karena tubuhku sekarang bergetar hebat. Aku tidak mungkin tenang ditelanjangi oleh tatapan tajamnya. Jengah merasa punggungku di tatapi, aku menolehkan diri ke belakang. Seharusnya aku tidak terkejut mendapati Arsen yang menatapku lekat seperti itu. Posisiku sekarang duduk di meja belajarku, sedangkan dia duduk di sofa yang tadi malam sudah merapat ke dinding. Aku menuliskan jadwal sholat dan mencari peta kota untuk dia. Dia pasti belum berganti provider. Saat imigrasi saja dia ditangkap, masih lebih baik tidak langsung dipulangkan. Untung saja sakti mau mengurusinya. Aku memberikan kertas-kertas itu padanya. Dia masih menatapku. Aku meraih tangannya dan meletakkan kertas-kertas itu di telapak tangan dan segera kembali duduk di kursi belajar, mengamati laporanku yang keluar dari mesin cetak itu. "Itu jadwal sholat sama peta kota ini. Kamu belum ganti provider kan? Nanti setelah aku ke kampus aku akan membelikannya. Kalau kamu mau makan siang, aku sudah list daftar restoran halal disana. Kamu tinggal lihat dan baca petanya" Arsen tidak menanggapiku. Membuatku menoleh ke belakang dengan cepat. "Kenapa tadi pagi pindah?" tanyanya, yang membuatku jantungan lagi. "Apanya?" tanyaku pura-pura tidak tahu. "Tidurmu. Kenapa pindah ke tempat tidur?" "Kamu jatuh dari tempat tidur ya?" sampai-sampai tidak sopan memelukku seperti itu. "Aku nggak jatuh. Aku memang tidur disamping kamu" Alasan konyol apalagi ini. "Kita udah bercerai dan aku bukan w************n yang seenaknya bisa kamu peluk kapanpun" Wajah tenang yang dari kemarin ditampilkan kini berubah tegang. Seolah aku menyulutkan emosi yang sudah menggunung di dalam dirinya. Aku menatap ke luar jendela yang dibelakangi oleh Arsen. Memandang itu jauh lebih menyenangkan dibandingkan menatap wajah garangnya sekarang. "Kita belum bercerai" Ucapan itu berhasil membuatku kembali menatapnya. Aku tidak mungkin tidak mempertimbangkan ini sebelumnya. "Aku belum tanda tangani gugatan ceraimu itu" Aku melipat tanganku di depan d**a. "Kita sudah bercerai. Kamu sudah tidak menafkahiku lahir dan batin, secara agama. Secara hukum, istri yang meninggalkan suaminya dalam dua tahun akan dianggap cerai. Kalau kamu nggak tandatangani gugatanku, dalam lima bulan kita tetap akan dinyatakan cerai" jelasku panjang kepadanya. Berusaha bersikap tenang, padahal tatapan Arsen bisa membakarku sekarang. Jengah, Aku melirik laporanku yang masih belum tercetak sepenuhnya. Aku merutuk pelan dan berjanji akan membeli printer yang kecepatannya lebih baik dari ini. "Segitu inginnya kamu berpisah denganku, Sa?" Kalau boleh memilih aku juga tidak akan meninggalkanmu. Aku juga tidak mau ada kata perceraian dalam hidupku. "Kamu sampai kapan disini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak yakin aku masih bersama urat-uratku keluar jika kami membahas ini. "Tiga minggu" "Kamu nggak kerja?" pertanyaan itu spontan. Baiklah. "Aku ada pekerjaan minggu depan dua hari disini" Aku menganggukkan kepala. "Oh. Besok kita bisa cari penginapanmu. Aku nggak mau terus-terusan tidur di lantai. Hari ini aku sibuk. Setelah ke kampus aku ada pekerjaan di kantor. Mungkin pulang malam" "Sa" panggilnya membuatku menoleh. "Apa yang membuatmu meninggalkan aku? Kamu minta pisah kamar, aku turuti. Kamu nggak pernah menyapaku lagi dirumah aku maklumi. Aku benar-benar nggak bisa mentolerir sikapmu yang kenakanakan seperti ini Sa. Menghilang tanpa kabar, membuat semua orang khawatir" Aku menghela nafas dalam. "Kenapa? Kenapa baru sekarang mencariku?" "Aku baru tau keberadaanmu tiga bulan yang lalu" "Hidupku sudah lebih baik dari sebelumnya. Jangan lagi kamu hancurkan itu"* Aku tau aku sudah gila. Bahkan lebih gila dari sebelumnya. Baru dua jam aku meninggalkannya untuk konsultasi bersama pembimbingku, pikiranku sudah kembali ke apartemen. Aku tau, kehadiran Arsen berdampak sangat luar biasa di dalam hidupku. yang baru aku tau, akan sebesar ini. * "Bagaimana?" Profesor George kembali menatapku setelah mencoret-coret beberapa lembar thesisku. Kami memang melakukan hal seprimitif ini, beliau mengatakan agar lebih intens dibandingkan konsultasi melalui email. Aku mengerjap. "Tak ada lagi yang saya tanyakan, Prof" ujarku menutup lembaran tesisku dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. Aku tak pernah terganggu konsentrasiku sebelumnya. Tapi hari ini, pikiranku sepertinya tidak berada di tempat. "UN Habitat 3 akan mengadakan konferensinya di Ceko" ujar Profesor George, yang membuatku tertahan seketika. "Kamu tidak mau mengirim papermu? Penelitianmu tentang perubahan iklim sedang menjadi isu hangat dunia. Pasti tidak akan sulit untuk bisa presentasi disana" Aku mengetahui tentang konferensi itu, aku mendapatkan informasinya dari website kampus dan teman jurusan yang sudah terpencar-pencar. aku berpikir sebentar, kalau professor George menawarkan mengirim paper padaku, berarti aku harus menyelesaikannya dalam waktu dekat. "Bagaimana? Kita bisa mendiskusikannya lusa" Aku mengangguk tanpa suara. Baru setelah teringat aku harus menggantikan berliana besok rapat dengan pemerintah. Aku baru bertanya-tanya, "Lusa prof?" Profesor George mengangguk mantap. Aku memang senang diperhatikan oleh dosen pembimbing seperti ini namun aku benar-benar tidak tau bahwa aku bisa membuat paper dalam dua hari. Baiklah bukan membuat paper tapi membuat paper dengan baik. Rapat besok akan memakan waktu lebih dari sepuluh jam, itu pasti, oleh karena itu Berliana malas datang dan memintaku menggantikannya. "Iya. Hari selanjutnya saya akan ke luar kota. Lima hari" jawab laki-laki Tua itu dengan bersemangat, aku akan sangat berdosa jika memperburuk moodnya. "kenapa? Kamu ada pekerjaan?" Aku menggelengkan cepat. "Tidak ada" jawabku lemas. Jujur saja, membayangkan Arsen berada di apartemenku membuatku tidak yakin aku akan bisa berkonsentrasi dengan baik. Dia memang tak banyak bicara tapi tatapannya yang menggangguku. "Sepertinya pikiranmu terbelah. Ada apa? Ada masalah?" Aku hanya tersenyum tipis. Menjadi seseorang yang raut wajahnya dapat dibaca tidak mengasyikkan. Dosen pembingbingku saja tau kalau aku mengalami perubahan mood yang cukup drastis, bagaimana Arsen tidak tau kalau aku menghindarinya selama beberapa bulan? Aku benar-benar tidak mengerti dengan laki-laki. "Masalah penelitianmu?" tanyanya. Aku tersenyum masam. "Masalah pribadi ya?" Ya, dan sekarang masalah itu ada di dalam kamarku. Prof George tersenyum tipis. "Jangan menjadikan masalah sebagai penghalang tujuanmu" yang membuatku benar-benar tertegun setelahnya. * Aku membuka pintu apartemen dengan lelah. Bos benar-benar sudah mengeksploitasi tenagaku. Tadi baru akan pulang, aku ditahan dan diminta untuk lembur. Karena besok aku akan pergi rapat dan pasti tidak bisa kembali ke kantor. Aku senang-senang saja lembur, tapi aku tidak tahu bahwa aku akan pulang selarut ini. Mengingat bahwa ada seseorang yang berada di tempat tinggalku sekarang. Musim gugur sudah mulai menyapa, sedikit lebih terlambat dari prediksi yang ditetapkan. Aku bisa merasakan udara berlin menusuk-nusuk hingga ke tulangku saat aku tadi pulang. Padahal baru jam sepuluh malam. Aku meletakkan tas di gantungan tas dan berniat ke kamar mandi saat melihat Arseno sedang tertidur pulas di kasurku. Jantungku masih bereaksi menatap wajah tampannya itu. namun dari semua rasa yang ingin kuledakkan sekarang, aku memilih diam dan tetap melanjutkan aktivitasku. Menatap Arseno sama saja dengan menatap kembali kepahitan yang kujalani dulu. Rasa kecewanya luar biasa. Tidak usah ditanya. Aku bahkan pernah berniat mengakhiri hidupku, untung saja aku bisa mengatasinya dengan mudah dan memilih untuk pergi di dalam hidupnya. Aku tidak bisa tidur kalau belum mandi. Apalagi setelah bekerja seharian seperti hari ini. lagipula aku harus bergadang untuk membuat paper yang diminta Profesor George. Status ganda antara mahasiswa dan pekerja bukanlah hal yang mudah. Aku harus membagi otak dan tenagaku pula menjadi dua. Benar-benar memusingkan. Saat akan mencari sesuatu yang bisa kumakan. Aku tertegun melihat satu mangkuk kosong yang berada di wastafel dan juga satu gelas yang sudah tidak ada isinya. Aku mengalihkan pandangan pada Arseno yang tengah tertidur. Jangan bilang dia belum makan dari tadi. jika memang dia sudah makan seharusnya ada beberapa piring kotor diwastafel ini. dia sangat membenci mencuci piring. Rasa khawatir yang berlebihan itu membuatku merutuki diri sendiri. tidak mungkin dia belum makan. Arseno sangat menyebalkan jika sedang lapar. Tapi aku tidak berada bersamanya sepanjang hari ini. bagaimana jika dia benar-benar belum makan? Kenapa juga aku harus peduli pada orang yang membuat hidupku seperti ini. dulu saat kami pisah kamar, aku tetap menyiapkan kebutuhannya. Itu adalah tugas seorang istri. Jika deadlineku di kantor saja bisa kutepati, bagaimana mungkin aku mengabaikan tugasku sebagai istri dirumah. Mamanya akan rewel kepadaku apabila anaknya tidak diurusi. Aku memutuskan untuk merebus kentang, setelahnya aku membuat sup dengan suwiran d**a ayam yang belum sempat kuolah. Aku juga memasak nasi dengan cepat. Aku tidak tau kenapa aku harus melakukan hal ini. otakku terlalu t***l untuk menerimanya. Bunyi berisik di dapur ternyata berhasil membangunkan Arseno dari tidurnya. Aku menyadarinya saat dia mulai duduk di kasur, sehingga aku tidak perlu terkejut jika suaranya masuk ke gendengan telingaku. Suara yang satu setengah tahun ini kurindukan. Jika biasanya melihatku memasak seperti ini Arseno akan memelukku dan mengucapkan kata-kata gombalan handalnya, kali ini dia hanya mendekatiku dan berdiri beberapa puluh senti di belakangku. "Kamu kapan pulang? Aku nunggu kamu" aku tidak membalikkan badan dan tetap memastikan bahwa ayam yang kumasak sudah matang. Aku tidak tau seberapa dekat dia denganku sekarang, yang jelas aku tidak mau terjebak lagi dengannya. "Kamu makan apa tadi?" ujarku dingin. Aku meraih mangkuk besar di lemari gantung dan memindahkan sup ayam itu kesana dengan hati-hati. Aku tidak ingin ada adegan terluka dan mengobati saat ini. Kami hanyalah dua orang asing, tidak sepatutnya aku memikirkan yang tidak-tidak. "Mie goreng" Dugaanku benar kan? Dia benar-benar bodoh. Apa salahnya berjalan ke luar untuk mencari makanan. Padahal aku sudah memetakan restoran halal dan bisa dimakannya tadi pagi. Benar-benar menyebalkan. "Kamu bisa keluar nyari makanan" aku melihat penanak nasi yang masih melakukan tugasnya dan membalikkan badan. Tubuhku langsung mundur menyentuh dinding dapur saat tahu dia berada tepat di belakangku. Jantungku terasa diremas. Aku sudah membayangkan hal yang tidak-tidak sekarang. "Aku nggak bisa bahasa jerman" Aku mendengus dan menyikut badannya agar aku bisa keluar dari dapur yang sempit ini. "Mereka bisa bahasa inggris. Banyak orang yang bisa bahasa inggris disini" aku duduk di meja belajarku dan menghidupkan laptop. Aku benar-benar kesal sekarang. Entah apa yang kukesalkan. "Aku nggak bisa mengurusi kamu dua puluh empat jam disini, Arsen. Aku juga punya kesibukan dan prioritas. kalau kamu lapar, aku udah masakin nasi sama sup ayam. Ambil sendiri" aku kaget mendengar ucapan itu dimulutku. Aku tidak ingin melihat raut wajah Arseno sekarang. Mungkin dia marah. Dia orang yang paling marah jika harga dirinya diinjak-injak. "Makasih ya. Besok aku akan cari makan sendiri. maaf merepotkan kamu" Aku terdiam beberapa saat di depan laptopku. Hatiku berdesir mendengarnya mengatakan hal itu. kenapa sekarang dia bersikap seolah-olah aku yang salah? Dia menjadi korban? Menyebalkan. Aku benar-benar kesal sekali padanya saat ini. seolah-olah melimpahkan semua kesalahan ini padaku, padahal dia sendiri yang bermain api duluan! Air mataku rasanya ingin menetes seketika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD