Dentingan sendok bertemu piring menemani suasana sarapan pagi Simon dan Cindy. Mereka fokus dengan makanan masing-masing dan Bibi Yuma yang bolak-balik ke dapur untuk menyajikan makanan yang mereka inginkan.
"Aku sudah selesai," ujar Simon mengelap mulutnya dengan serbet lalu berdiri dari kursi.
Cindy mendongak dan menatap gerak-gerik Simon. Matanya terus mengikuti pria itu hingga ia sudah mendekat ke arah pintu.
"Pak," suara Cindy menghentikan langkah Simon, pria itu memutar tubuhnya ke arah gadis itu.
Cindy berdiri, ia melangkah ke arah Simon.
"Kenapa?" tanya Simon saat Cindy sudah berdiri di depannya.
Cindy menatap ragu wajah Simon, ia memilin-milin jarinya.
Simon yang melihat itu menatap datar Cindy. Apa lagi yang akan di lakukan gadis ini kepadanya?! Apa tiap pagi ia harus membuang-buang waktu berharganya seperti ini?!!
"Cindy-"
"Ijinkan aku untuk keluar rumah hari ini." ujar Cindy dengan sekali tarikkan nafas.
Simon menarik alisnya sebelah, ia tidak salah dengarkan? Gadis di depannya ini meminta ijin kepadanya? Bukankah baru semalam ia mengatakan kalau ia takut dan merasa lingkungan di sini asing baginya? Lalu sekarang ia malah ingin keluar rumah?
"Cindy-"
"Pak, aku mohon ijinkan aku. Aku hanya ingin pergi jalan-jalan, aku bosan di rumah terus. Aku ingin mencuci mataku, aku ingin melihat pemandangan di luar sana-"
"Stop!"
Cindy menutup bibirnya dan menelan ludah dengan gugup.
"Apa kau berpikir dulu sebelum berbicara?"
"Apa?"
"Kau tidak ingat apa yang kau katakan kepadaku semalam?.. oh.. apa mungkin kau mengalami amnesia?"
"Pak," rengek Cindy dengan kesal.
"Jangan menguji kesabaranku tiap pagi, Cindy."
Setelah mengucapkan itu, Simon kembali melanjutkan langkahnya. Di luar sudah ada Gorge yang menunggunya di samping mobil.
"Kau bilang akan menuruti semua apa yang aku katakan!! Kau berbohong kepadaku, Pak!!" Cindy berteriak sekeras mungkin.. tapi mobil Simon sudah pergi meninggalkan perkarangan rumah.
Cindy berusaha mengatur nafasnya, ia menatap mobil Simon yang kian menjauh.
Senyum di bibir Cindy terbit, "entah kenapa aku senang melihat wajahmu yang kesal itu, Pak." bisiknya lalu kembali masuk ke dalam rumah.
Cindy melangkah menuju meja makan-untuk melanjutkan sarapan paginya yang tertunda tadi. Bibi Yuma yang keluar dari arah dapur mendekatinya yang duduk di meja makan.
"Tampaknya, Nona suka menggoda, Tuan." ujar Bibi Yuma membereskan piring sisa makanan milik Simon.
Cindy mendongakkan kepala ke arah Bibi Yuma, mulutnya yang mengunyah makanan tersenyum sembari menganggukkan kepala.
"Tapi, jangan sering-sering melakukannya. Tuan Simon itu orang yang sulit di tebak, misalnya dia bersikap baik hari ini denganmu maka besoknya dia belum tentu seperti itu. Jadi Bibi harap Nona tidak terlalu mengganggu Tuan-"
"Kalau aku tetap ingin melakukannya, bagaimana?"
Mendengar ucapan dari Cindy membuat Bibi Yuma langsung mengarahkan tatapannya ke arah gadis itu.
"Bibi tidak salah dengar-"
"Tidak. Bibi tidak salah dengar, apa jawaban Bibi jika aku tidak ingin berhenti menggoda, Simon? Apa yang akan terjadi kepadaku? Apa aku akan di buang ke jalanan?"
Cindy berdiri dari duduknya, ia membawa piringnya yang sudah kosong dan meletakkan ke tumpukkan piring di hadapan Bibi Yuma yang terdiam di tempatnya.
"Bibi Yuma, terimakasih atas saran yang kau berikan ke padaku.. aku tau kau sudah sangat mengenal Simon, bahkan kau sudah mengasuhnya dari kecil dan melihat pertumbuhannya hingga sudah menjadi pria dewasa yang mapan seperti sekarang. Tapi, Bibi aku mohon jangan menyuruhku untuk tidak mengganggu, Simon."
Bibi Yuma mengernyitkan kening mendengar ucapan Cindy.
"A-apa maksud-"
"Bibi.. aku menyukai Simon."
***
"Apa ada lagi file yang perlu aku tanda tangani?" tanya Simon ke pada Gorge yang berdiri di depannya.
"Tidak, Pak."
Simon memberikan file yang sudah selesai ia tanda tangani kepada Gorge.
"Apa aku sudah boleh pulang sekarang?"
"Ya?"
Gorge mengerjap menatap bingung bossnya. Ia menggaruk lehernya yang tidak gatal.
Kenapa seseorang seperti Simon mengajukan pertanyaan seperti itu? Dan juga.. kenapa ia terlihat sangat ingin pulang ke rumah?
"Pak, Anda ingin pulang cepat-cepat untuk apa? Ini masih pukul empat sore,"
"Memangnya salah kalau aku ingin pulang cepat?"
Gorge menggangguk, "tentu, Pak. Baru kali aku melihat Anda sangat ingin pulang, padahal kan Anda sangat anti dengan pulang cepat, biasanya Anda akan memilih berlama-lama di kantor atau tidak sibuk mencari-cari keberadaan Alvino."
Mendengar semua ucapan yang terlontar dari bibir Gorge, membuat Simon memikirkan kebiasaannya itu.
Apa iya dirinya seperti itu? Ia bahkan tidak mempercayai setengah ucapan dari Gorge. Masa iya dirinya anti pulang cepat ke rumah, Gorge pasti membual.
"Gorge-"
"Aku tau kenapa Anda sangat ingin cepat pulang, Pak."
Gorge sepertinya masih ingin membahas tentang itu, baiklah sebagai boss yang baik Simon akan meladeni percakapan ini.
"Karena apa, Gorge?"
"Karena Anda ingin melihat Nona, Cindy."
"What? "
Gorge berusaha menahan untuk tidak tertawa, "Saya cuma bercanda, Pak."
Simon menatap datar Gorge. Sepertinya Gorge sangat senang mempermainkannya, semalam pria itu memaksa dirinya dan sekarang ia tampak menahan tawa, apa dirinya ini tampak lucu di depan matanya sekarang?!!
"Gorge,"
"Ya, Pak."
"Sepertinya kau sangat senang mempermainkanku,"
Wajah tegang Gorge tak dapat ia tutupi. Simon menatapnya dengan datar dan juga suara bossnya kini berubah menjadi rendah.
Sepertinya ia sudah melewati batas.
Gorge menundukkan sedikit kepalanya, "maaf, Pak. Saya tidak bermaksud seperti itu."
Simon berdiri dari duduknya, "kali ini, aku hanya membiarkanmu.. tapi jika kesabaranku sudah habis maka kau tidak akan ku lepaskan."
Gorge menutup matanya erat-erat, sepertinya hanya sampai di sini ia bisa menggoda Simon. Bossnya benar-benar serius dan tidak bisa di ajak bercanda sedikit pun.
^^^
Malam harinya, Simon pulang dengan ekspresi wajah yang sangat sulit di tebak. Ia membanting pintu mobilnya dan melangkah dengan cepat.
Pintu berwarna putih di depannya tak luput jadi objek kemarahan, Simon. Ia membuka pintu itu dengan keras hingga mengejutkan Cindy dan Bibi Yuma yang sedang asik bersenda gurau di ruang tengah.
Cindy reflek berdiri dan memandang Simon yang tampak berantakkan. Dasinya miring, rambutnya acak-acakkan dan kemejanya yang mencuat keluar dari dalam celana.
Ada apa dengan pria itu?
Simon memandangi Cindy yang menatapnya dengan heran di ujung sana.
Bibi Yuma yang ada di sana ikut berdiri dari duduknya, ia melangkah menuju Simon.
"Simon, kenapa-"
"Bibi, saat ini emosiku sedang tidak stabil. Aku mohon jangan ajak aku bicara." ujar Simon rendah namun tidak melihat ke arah Bibi Yuma melainkan matanya tertuju kepada Cindy.
Cindy yang masih di tempatnya terus menatap Simon yang tampak kacau, ia ingin menghampiri pria itu namun langkahnya terlalu lambat hingga Simon lebih dulu bergerak dari tempatnya-menuju kamar.
Cindy ingin mengikuti Simon, namun suara Bibi Yuma menghentikan gerakkannya.
"Jangan, Nona. Saat ini emosi Tuan sedang tidak stabil.. jika kau mendekatinya, aku takut dia akan- Nona!!"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Cindy sudah pergi dari tempatnya dan membuat Bibi Yuma berteriak dan kalang kabut di tempatnya.
"Akan sangat berbahaya jika Nona mendekat ke arah, Simon. Tempramen pria itu tidak bisa di kontrol, bisa-bisa Nona, Cindy akan terkena lemparan barang yang ada di kamarnya nanti."
Cindy tidak mengacuhkan apa yang di katakan Bibi Yuma, yang terpenting saat ini ia harus melihat keadaan Simon. Pria itu tampak kacau, apa yang terjadi padanya? Kenapa ia tampak sangat marah? Sorot matanya juga berbeda dari sebelumnya.
Cindy terus menaikki anak tangga dengan cepat dan saat sudah ada di depan kamar Simon, ia mencoba menggedor-ngedor pintu itu dengan keras.
"Pak!! Buka pintunya!!.. apa yang terjadi padamu?!! Pak!! Apa kau marah kepadaku?!! Apa ini masih tentang kejadian tadi pagi?!!.. oke, aku minta maaf tentang itu!! Aku tidak bermaksud melakukannya!!... Pak, buka pintunya!!"
Prang!!
Terdengar bunyi pecahan dari dalam, apa yang di lemparkan oleh Simon?
"Pak!!"
"Pergi!!"
"Aku tidak akan pergi, sampai kau membuka pintu kamarmu!!" teriak Cindy tidak mau kalah.
Ia menyentuh knop pintu kamar Simon-berharap pria itu membukakan pintu kamarnya.
"Pak, buka pintunya!!.. apa yang terjadi kepadamu?!! Kenapa kau seperti ini?!!"
Tidak ada sautan dari dalam. Cindy yang emosinya ikut terpancing karena ulah Simon, kembali mencoba membujuk pria itu dengan suaranya yang melemah.
"Pak, jika kau punya masalah, kau bisa ceritakan kepadaku. Aku siap mendengarkan keluh kesahmu. Aku mohon buka pintunya."
"Pergilah!! Aku tidak butuh orang sepertimu!! Apa yang kau ketahui tentangku, hah!!.. kau hanya seseorang yang harus aku beri tumpangan agar kau bisa hidup dengan layak!!"
Mendengar perkataan kasar dari Simon, membuat kemarahan Cindy keluar.
Apa dia bilang? Jadi.. selama ini dia tidak ikhlas melakukan apa yang di minta oleh Bibi kepadanya?
Cindy mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh. "Iya!! Aku hanya orang yang harus kau beri tumpangan untuk hidup dengan layak!! Apa kau tidak ikhlas melakukannya!! Lalu untuk apa kau menerima tawaran Bibi untuk membawaku kesini?!! Dasar pria br*ngs*k!! Jika kau tidak suka aku di sini katakan kepadaku!! Jangan menghina diriku seperti itu!!" teriak Cindy dengan keras.
Dadanya sesak dan ia tidak bisa menahan tangisannya lagi. "Aku pikir kau benar-benar baik kepadaku. Tapi nyatanya.. terimakasih kau sudah memperlihatkan sikapmu yang sebenarnya kepadaku. Aku benci kepadamu! Aku benci kau, Simon."
Cindy pergi dari sana, ia berlari menuruni anak tangga dengan terus menangis. Bibi Yuma yang masih setia di tempatnya mencoba menahan Cindy, namun gadis itu mendorong pelan tubuhnya dan berlari keluar dari rumah.
Cindy terus berlari tak tau arah, gemuruh langit tanda akan hujan menemani kesedihannya saat ini. Kakinya yang tidak memakai sendal terus bergerak meninggalkan perkarangan rumah Simon.
Kau hanya seseorang yang harus aku beri tumpangan agar kau bisa hidup dengan layak
Kata-kata dari mulut Simon terus terngiang-ngiang di telinganya.
"Aakkhh!!" Cindy menutup kedua telinganya, ia menangis sejadi-jadinya di tengah hujan yang sudah membasahi jalanan. "Aku tidak lebih dari seorang pengemis di matanya," Cindy terus menangis, ia terduduk di jalanan yang kosong.
Tubuhnya sudah basah oleh hujan, ia kedinginan, dan merasa kesepian. Ia ingin pulang ke desa. Ke desa kecil dimana tidak ada satu pun orang yang akan menyakiti dan menghina dirinya.
"Aku merindukanmu, Paman!!" teriak Cindy-menengadah ke langit. "Aku ingin pulang, aku tidak ingin disini!!"
"Cindy."
Cindy terkesiap,
Suara itu..
"A-aku minta maaf-"
"Berhenti." ujar Cindy tanpa menoleh kebelakang.
Ia tau, itu Simon dan pria itu berusaha mendekat ke arahnya.
"Cindy-"
"Jangan sebut namaku!"
"A-aku minta maaf, aku sudah menyakiti perasaanmu-"
Simon menghentikan ucapannya ketika melihat Cindy berdiri dan menghadap ke arahnya. Baju gadis itu sudah basah kuyup dan sialnya baju yang di kenakannya berwarna putih dan sangat tipis. Simon bisa melihat pakaian dalam yang di kenakan gadis itu.
Sial!
Simon yang berpayungan mendekat ke arah Cindy.
"Berhenti."
"Kau sudah kedinginan, Cindy-"
"Jangan sebut namaku!!" teriak Cindy-menutup kedua telinganya sembari terus menangis. "Aku seperti ini salah siapa?! Aku basah kuyup dan kedinginan ini salah siapa?!!"
"Salahku!! Oke, aku minta maaf, aku minta maaf karena-"
"Kau selalu seperti itu, kemaren kau juga minta maaf karena telah membentakku, dan sekarang kau melakukan hal yang sama, tapi.. kali ini aku tidak bisa memaafkanmu lebih dulu! Kau sudah menghinaku, aku hanya seorang pengemis di matamu!! Aku tidak lebih dari itu kan?!!"
"Siapa yang bilang seperti itu-"
"Kau yang mengatakannya sendiri! Kau jahat, kau kasar kepadaku! Aku benci padamu. Aku membencimu, Simon!!"
"Cindy-"
"Jangan sentuh aku!!" Cindy berusaha menghindari Simon yang mendekat dan menyentuh tangannya dan sialnya tangannya tak sengaja menyenggol payung yang ada di tangan Simon dan membuat payung itu jatuh dan kini tubuh Simon ikutan basah seperti dirinya.
"Tenanglah!!" teriak Simon-berhasil menangkap kedua tangan Cindy.
Mata mereka saling pandang. Cindy masih berusaha untuk melepaskan cengkraman Simon pada tangannya.
"Kau sungguh keras kepala, Cindy-"
"Iya!! Aku gadis yang keras kepala, kenapa? Kau tidak suka? Kau tidak suka gadis yang keras kepala inimmpphh."
Simon membukam bibir Cindy dengan ciumannya. Mata Cindy membulat dan ia berusaha untuk mendorong tubuh pria itu. Mungkin karena kalah akan tenaga, Cindy yang ingin mendorong tubuh Simon untuk menjauh darinya, malah Simon lah yang berhasil mendorong tubuhnya ke pohon yang ada di tepi jalan itu.
Simon mengurung tubuh kecil Cindy di pohon itu dan terus mencumbu bibirnya. Tangan Cindy yang masih ia cengkram, ia bawa ke atas kepala Cindy dan terus menciumi bibir gadis itu dengan rakus.
Cindy yang berusaha menolak sentuhan Simon tak bisa berkutik lagi, ia tidak mampu melawan Simon. Dengan lemah, ia membuka bibirnya dan membiarkan lidah Simon masuk.
Simon yang tak mendapati penolakkan dari Cindy, tersenyum di sela cumbuannya. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia terus melanjutkan aksinya, menggigit dan menghisap bibir Cindy.
Bibir gadis itu sungguh kecil, namun terasa penuh dan juga manis. Baru kali ini ia merasa sangat bernafsu mencium seorang wanita.
Apa benar Cindy baru berusia dulu puluh tahun? Tapi.. kenapa ia sangat lihai membalas sentuhannya? Ia tampak sudah terbiasa. Apa ia pernah melakukannya sebelumnya?
Mungkin saja, ini hanya ciuman tidak lebih dari apa pun.
Perlahan Simon melepaskan bibirnya. Dengan jarak yang sangat dekat seperti itu, bisa ia lihat mata sembab Cindy dan juga bibirnya yang basah.
Simon melepaskan tangannya dari tangan Cindy dan mengusap bibir gadis itu dengan lembut.
"Maaf, aku sudah membuatmu marah dan takut. Aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku hanya ingin kau pergi dari kamarku dan tidak menggedor-menggedornya. Aku butuh waktu sendiri, Cindy. Emosiku sedang tidak stabil dan aku tidak sadar sudah berbicara kasar seperti itu. Maaf kan aku."
Cindy memalingkan wajahnya, air matanya kembali keluar.
Ah.. kenapa ia sangat cengeng? Tidak bisakah air matanya di tahan dulu? Ia tampak sangat lemah sekarang!
"Ayo, kita pulang. Bajumu sudah sangat basah."
Pandangan Cindy turun, ia memperhatikan bajunya yang sudah tembus pandang.
Sial! Sudah berapa lama pria itu melihat tubuhnya!!
Cindy reflek menyilangkan kedua tangannya di depan tubuh. Simon yang melihat itu menarik ujung bibirnya ke atas.
Ia melepaskan jas yang masih ia kenakan dan memasangkannya ke bahu Cindy.
"Setidaknya ini bisa menutupi-"
Cindy membekap bibir Simon dengan tangannya. "Diamlah," ujar Cindy dengan pipi yang memerah. Ia melepaskan tangannya dari bibir Simon lalu dengan cepat berlari menuju mobil Simon yang terparkir tidak jauh dari sana.
Di tempatnya Simon tersenyum simpul lalu melangkah menuju mobilnya.
^^^
Mobil Simon berhenti di depan rumahnya. Hujan sudah reda beberapa menit yang lalu, tapi air hujan masih menggenangi area halaman rumahnya.
Simon turun dari mobil, mengitarinya lalu membuka pintu mobil dan menggendong Cindy dengan bridal stayle.
"Aku bisa jalan,"
"Kau ingin Bibi Yuma dan Gorge melihat tubuhmu?.. kalau itu keinginanmu baik lah-"
"Tidak tidak.. aku tidak mau." Cindy mengeratkan rangkulan lengannya di leher Simon.
Ia memeluk leher pria itu dan menyerukkan kepalanya di leher Simon.
Simon tersenyum melihat Cindy yang patuh dengannya. Ia melangkah menuju pintu rumah.
"Nona, Cindy." ujar Bibi Yuma sesaat Simon sudah masuk ke dalam.
Bibi Yuma berdiri dari duduknya, "Cindy tak apa, Bi. Hanya sedikit kedinginan."
Bibi Yuma tidak berbicara lagi, Gorge yang muncul dari luar karena sebelumnya menerima telpon dari Simon, berdiri di belakang pria itu dan menatap khawatir Cindy yang ada di gendongan bossnya.
"Gorge,"
"Ya, Pak?"
"Apa jadwalku untuk besok pagi?"
"Besok Anda ada rapat jam sepuluh pagi, Pak."
"Apa jam-nya bisa di ganti? Sepertinya besok aku akan bangun terlambat."
Mendengar ucapan yang di lontarkan oleh Simon, membuat Bibi Yuma tersenyum penuh arti di tempatnya sedangkan Gorge mengerjap bingung.
"Pak, ayo." Cindy mengeratkan pelukkannya.
"Bagaimana, Gorge? Bisakan?"
"B-bisa, Pak."
"Bagus-lah. Kalian berdua istirahat lah sekarang. Selamat malam."
"Malam, Pak."
"Malam, Simon." ujar Bibi Yuma serempak dengan Gorge.
Simon menaikki anak tangga satu persatu, langkahnya berhenti di depan kamar Cindy. Cindy yang merasa tidak ada pergerakkan dari Simon membuka matanya dan mendongak ke arah pria itu.
"Apa boleh?"
Cindy yang tidak mengerti maksud dari ucapan Simon hanya menganggukkan kepala. Mungkin saja, Simon meminta ijin kepadanya untuk masuk ke dalam kamarnya, bukankah itu salah satu tempat yang sangat pribadi dan tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke dalam, ia benarkan?
Perlahan Simon menyentuh knop pintu kamar Cindy, membuka pintu itu-masuk ke dalamnya lalu mengunci pintunya dari dalam.
Fri, 11 June 2021
Follow Ig : vivi.lian23