Beberapa hari kemudian
Cindy terus menatap ke rumah yang di pagari oleh police line di depannya. Setelah kejadian ia yang melihat empat orang yang gantung diri di rumah itu, lingkungan di sekitarnya menjadi suram. Namun Cindy tidak takut akan itu ia hanya merasa ada kejanggalan tentang kejadian waktu itu. Ia yakin jika orang-orang berpakaian formal itu yang telah membunuh mereka.
Buktinya di tubuh mereka ada bekas tembakkan dan salah satu dari korban memilikki begitu banyak bekas tonjokkan di wajahnya. Tapi.. setelah di periksa lebih dalam oleh polisi setempat, tidak di temukannya barang yang hilang atau hal lainnya dan polisi mengira hal ini tidak ada hubungannya dengan perampokkan dan pembunuhan. Di karenakan di salah satu tangan korban ada bekas seperti habis meninju sesuatu dan ada satu lagi yang memegang senapan di tangannya. Polisi pun mengambil kesimpulan jika salah satu dari mereka membunuh saudara sendiri.
Dan polisi juga mengira, pria yang memegang pistol lah yang menggantung ketiga saudaranya lalu sesaat kemudian ia menggantung dirinya sendiri dan menembak lehernya.
Cindy yang berada di sana pun langsung bersaksi, jika ia melihat sekumpulan pria berpakaian formal masuk ke rumah itu dan tampak mencurigakan. Ia mengatakan apa yang ia lihat dan ia dengar tapi.. pihak keamanan tidak mempercayai ucapannya karena Cindy berbicara tidak jelas karena saat mereka bertanya bagaimana bentuk rupa salah satu dari mereka, Cindy menjawab salah satu dari mereka memilikki mata yang tajam.
Mendengar itu, pihak keamanan hanya terdiam mendengar cerita Cindy.
Terlepas dari hari itu, Cindy hanya bisa menatap rumah yang bergaris kuning di depannya itu dengan sedih.
Ia menghela nafas lalu beranjak dari sana dan menaikki sepedanya. Ia terus mengayuh benda itu hingga sampai ke tempat yang ingin ia tuju yaitu toko kopi.
Bibi menyuruhnya kesana untuk membelikan beberapa kopi untuk Paman. Ada banyak jenis kopi yang di sediakan toko itu dan termasuk salah satu toko yang cukup laris di desa yang bisa di sebut kecil itu, karena hanya terdapat beberapa kepala keluarga yang menempatinya.
Cindy memarkirkan sepedanya lalu masuk ke dalam toko. Ia di sambut oleh aroma kopi yang memenuhi seluruh ruangan.
"Kehabisan kopi?"
Cindy menoleh ke arah suara, ia tersenyum dan mendekat ke meja kasir.
"Jika aku sudah kesini itu berarti tebakkanmu benar, Molly."
Molly, wanita tiga puluh tahun pemilik dari toko kopi namun ia sendiri tidak menyukai minuman itu.
Molly tersenyum, "baiklah, kau ingin berapa?"
"Seperti biasa,"
"Okay.. ingin yang sudah ada atau yang baru selesai aku panggang?"
Cindy memasang wajah berpikir, "mm.. aku memilih opsi yang kedua," ia dan Molly tertawa bersamaan.
"Baiklah, selagi menunggu kau bisa duduk atau melihat-lihat jenis kopi yang lain, mana tau kau tertarik."
Cindy tersenyum mengangguk, Molly berlalu dari hadapannya. Langkah kaki Cindy membawanya untuk duduk di kursi yang di sediakan di sana.
Selain merangkap menjadi toko, tempat itu bisa juga di katakan sebuah kafe karena menyediakan tempat duduk dan suasana yang sangat khas ala-ala kafe dan sangat cocok untuk para pengunjung yang suka berfoto dan meng-uplodnya ke sosial media.
Kebanyakan pengunjung datang dari kota dan menghabiskan waktu bersama pasangannya. Jika terlalu malam tiba mereka akan memilih menginap di penginapan yang ada di desa itu.
Bosan hanya duduk dan menunggu pesannya, Cindy pun memilih berdiri dan melihat-lihat pajangan kopi yang Molly sediakan.
Ia membaca semua jenis kopi yang ada di sana, karena terlalu fokus ia tidak sadar jika pesanannya sudah siap dan sudah ada di sampingnya.
Ia menoleh kiri kanan dan melihat Molly yang sedang melayani pelanggan. Tanpa ingin mengganggu Cindy berlalu, ia sudah membayar belanjaannya dan hendak ingin pulang.
Namun saat ia sudah keluar dari toko, matanya menatap horor ke sepeda milikknya yang bannya telah penyok karena tertabrak mobil.
"Sepedaku,"
"Ini milikmu?"
Cindy mendongak, menatap seorang pria tinggi yang sudah pasti si penabrak sepedanya.
"Aku akan bayar ganti rugi," ia merogoh saku jasnya, mengeluarkan dompet dan menyodorkan beberapa lembar uang kepada Cindy.
Cindy yang melihat itu langsung menerima uang dari si penabrak.
"Maaf, aku tidak sengaja menyenggol sepedamu,"
Cindy hanya diam menatapnya, entah kenapa saat melihat mata itu-tampak sangat familiar. Apa ia pernah bertemu dengannya?
"Kalau kau tidak marah, apa aku bisa pergi sekarang?"
Cindy masih diam menatapnya, sedangkan yang di tatap hanya bisa mengerjap bingung. Ia menaikkan bahu lalu memutari mobilnya.
Saat ingin masuk ke mobil, suara Cindy menghentikan gerakkannya.
"Apa kau bisa membantuku?"
Sejenak ia hanya diam di tempat, lalu mengganguk ke arah Cindy.
"Bisa, kau ingin bantuan yang-"
"Tolong antarkan aku pulang."
***
Simon terus melirik gadis yang duduk di sampingnya. Ia tidak sengaja menabrak sepeda gadis itu hingga bannya penyok.
Ia yang ingin kembali ke penginapan harus mengantar gadis yang duduk di sampingnya itu pulang dulu di karena sepedanya sudah ia rusak.
Ponsel Simon yang ada di saku jasnya terus bergetar sedari tadi dan ia yakin itu adalah telfon dari Gorge mengingat ia masih ada pertemuan dengan rekan kerjanya.
"Belok kiri, Pak." Simon tersentak.
Ia menuruti ucapan gadis itu, mobilnya terus melaju hingga Simon melihat rumah yang di pagari police line di depannya.
"Di depan berhenti, Pak." Simon kembali menuruti ucapannya.
Mobil berhenti tepat di depan rumah bertingkat dua yang di d******i oleh bangunan kayu.
Simon turun dari mobil- melihat susana sekitar lalu beralih kembali kepada gadis yang sudah berdiri di sampingnya.
"Kau.. tinggal di sini?" ujar Simon sembari menuruni sepeda Cindy dari bagasi mobil.
Cindy mengangguk, "iya, aku asli penduduk dari desa ini-"
"Cindy!!" teriakkan itu menarik perhatian Simon dan Cindy. Mereka menoleh serempak ke arah wanita paruh baya yang berlari menuju mereka.
"Bibi, kenapa berlari s-"
"Kau tak apa, sayang? Tadi Molly menelfon dan bilang sepedamu di tabrak oleh-"
"Bibi," Cindy cepat-cepat menghentikan ocehan Bibi dan menoleh sungkan ke arah Simon.
Bibi mengikuti arah tatapan Cindy dan matanya bertemu dengan mata tajam milik Simon. Seketika mata Bibi membulat dan tampak terkejut.
Dia..
"Bibi, sepedaku bukan di tabrak tapi tidak sengaja tertabrak. Pak, maaf kalau kau harus mendengar perkataan Bibiku-"
"Tak apa, aku tidak merasa tersinggung." potong Simon cepat tanpa menoleh ke arah Cindy.
Simon terus menatap Bibi yang tampak canggung di depannya. Cindy sendiri menatap kedua orang itu bergantian dengan bingung.
"Kalian..-"
"Cindy."
"Ya, Bibi?"
"Masuk lah ke dalam, buat kopi itu untuk dua orang."
Cindy semakin bingung, Bibi menyuruhnya untuk membuatkan kopi yang ia bawa untuk dua orang?
Satu untuk Pamannya dan satu lagi untuk siapa? Tidak mungkin untuk dirinya dan Bibi, mereka kan tidak suka dengan minuman itu.
Lalu untuk siapa? Apa mungkin... untuk pria yang di sampingnya ini?
"Masuk lah, Cindy. Setidaknya kita harus menjamunya. Dia sudah bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan kepada sepedamu," kebingungan Cindy langsung di jawab Bibi.
Ia menoleh ke arah Simon yang pria itu masih setia menatap Bibinya.
"Cindy,"
"Ya, Bibi?"
"Tunggu apa lagi? Masuklah, Paman sudah menunggu kopinya sedari tadi,"
Cindy mengangguk, "iya," sejenak Cindy kembali menatap Simon lalu pergi dari hadapan mereka.
Bibi menatap punggung Cindy yang makin menjauh dan menghilang di balik pintu.
Perlahan Bibi memutar tubuhnya menghadap Simon.
"Simon," Bibi menghambur kepelukkan Simon dan memeluk tubuh pria itu dengan erat. "Lama tak bertemu denganmu, nak."ujar Bibi lembut mengusap punggung Simon.
Simon membalas pelukkan Bibi sama eratnya dengan wanita itu.
Perlahan Bibi melerai pelukkannya, matanya bergerak menatap wajah Simon yang tampak lelah.
"Kau semakin tampan, nak,"
Simon tersenyum mendengar ucapan yang terlontar dari bibir Bibi.
"Aku tidak tau, jika kau tinggal di sini, Bibi. Kenapa tidak memberitahu aku?"
"Ceritanya panjang, nak. Syukur aku masih bisa hidup dan lepas dari jangkauan Alvino. Tapi.. lupakan itu dulu, ayo masuk ke dalam ada yang harus aku beritahukan kepadamu,"
Simon mengernyit, "ingin memberitahukan apa?-"
"Rahasia yang selama ini aku dan suamiku sembunyikan dari, Cindy. Hanya kau yang bisa melindunginya dari Alvino."
Simon masih tidak mengerti apa yang di ucapkan Bibi kepadanya, tapi yang terpenting lebih baik saat ini ia menuruti kemauan Bibi untuk masuk ke dalam rumah dan mendengar apa rahasia yang Bibi sembunyikan dari Cindy.
Gadis yang sangat mirip dengan seseorang yang pernah mengisi hatinya di masa lalu.
Dan ia harap gadis itu hanya sekedar mirip dan tidak punya hubungan dengan masa lalunya itu.
Ya.. ia sangat berharap akan itu.
Wed, 26 Mei 2021
Follow ig : vivi.lian23