Suasana temaram di dalam kamar dan alunan musik opera menemani Simon dengan segelas wine di tangannya. Mata tajamnya menutup setiap kali musik opera yang ia putar menyapa gendang teliganya.
Ketukan pintu tidak mengganggu kenyaman Simon.
"Apa ada berita bagus?" ujarnya tanpa melihat siapa yang menemuinya.
"Ada, Pak." suara itu mampu membuat Simon membuka matanya. Kepalanya menoleh ke kanan tepatnya ke arah si informan yang biasa ia panggil Gorge.
Simon menegakkan tubuhnya dan meletakkan gelas wine-nya.
"Apa itu?" ujarnya tanpa menatap ke salah satu anak buahnya itu.
"Saya sudah mendapatkan lokasi tempat tinggal salah satu bawahan dari Alvino, Pak."
Mendengar kabar yang cukup menyenangkan dari Gorge membuat smirk Simon keluar.
"Apa kita bisa langsung kesana?"
Suara Simon merendah, Gorge yang paham akan watak bossnya itu pun langsung menggangguk pelan- mengiyakan ucapan Simon.
"Bisa, Pak."
***
Mata Simon melirik kesana kemari tempat tinggal orang yang ia cari.
"Disini?" ujarnya menatap jijik rumah kecil di depannya.
Gorge yang mengerti Simon berbicara padanya memutar tubuhnya menghadap pria itu.
"Benar, Pak. Di sini tempatnya."
Simon tersenyum remeh, "tidak aneh lagi, bekas bawahan Alvino memang seperti ini,"
Setelah mengatakan itu Simon keluar dari mobil dengan di ikuti beberapa anak buahnya.
"Kalian tunggu di sini," ujarnya pelan melirik mereka melalui bahu.
Mereka mengangguk serentak dan Simon pun dengan santai menekan bel rumah itu.
Baru satu kali menekan bel, pintu rumah langsung terbuka dan menampilkan sosok pria yang Simon cari-cari beberapa hari ini.
Pria itu tampak langsung terkejut ketika melihat Simon yang di depannya.
"Kau.."
"Hai,"
^^^
"A..aku tidak tau.. dimana dia," suara lirih dari pria pemilik rumah tak mampu membuat Simon mengasihaninya.
Ia yang di hajar habis-habisan oleh Simon tidak bisa berkutik ketika pria itu terus menghajar wajahnya.
Simon yang duduk di kursi menatap jengah pria itu yang bersujud di depannya di tambah lagi ada tiga anggota keluarganya yang menatap takut ke arah Simon.
Simon mengeluarkan ponselnya dari dalam jas yang ia kenakan.
"Masuklah," ujarnya, setelah itu mematikan ponselnya kembali.
Gorge yang mendapatkan panggilan dari Simom langsung masuk ke dalam rumah ketika di perintah oleh bossnya itu.
Sesaat ia nampak sedikit terkejut melihat pemandangan yang tersaji di depannya.
"Gorge,"
"Ya, Pak?"
"Menurutmu apa yang harus aku lakukan ke pada mereka?" ujar Simon sembari memperhatikan pistol yang ada di tangannya.
Gorge sendiri menatap bergantian empat orang yang ketakutan itu. Lalu pandangannya kembali lagi kepada Simon.
"Sepertinya dia tidak ingin mengatakannya kepada Anda, Pak." ujar Gorge yang tertuju kepada pria yang bersujud ke arah Simon.
Simon mengangguk-angguk, "kau memang pintar, Gorge. Lalu kau ingin aku melakukan apa?" Simon menatap wajah Gorge yang datar di depannya.
Sedangkan ke empat orang itu semakin ketakutan ketika mendengar percakapan kedua orang yang menakutkan di depan mereka.
"Bagaimana jika, Anda mengintrogasi mereka bertiga, Pak?" tunjuk Gorge ke tiga orang yang duduk di sudut ruangan dengan takut.
"Great job. Itu yang ingin aku dengar darimu." sanjung Simon dengan senang.
Gorge membalas dengan senyuman yang terukir di bibirnya.
Simon berdiri dari duduknya, melangkah mendekat ke arah mereka bertiga yang makin ketakutan di tempatnya.
Simon berjongkok di hadapan mereka dengan masih memainkan pistol di tangannya.
"Aku tidak akan bertanya lagi. Lebih baik kalian katakan kepadaku sekarang!"
Mereka bertiga bergeming, dan salah satunya melirik ke arah pria yang bersujud ke arah Simon. Ia memberikan isyarat dengan menggelengkan kepala ke arahnya.
Simon yang mengetahui itu melirik Gorge dan seperti mengerti Gorge pun langsung mengangguk.
"Jangan menguji kesabaranku!! Katakan sekarang!!" teriak Simon.
"Jangan katakan, jangan beritahu dia!!" Gorge menarik kerah baju pria yang di depan-hendak ingin membawanya keluar.
Simon yang mendengar itu tanpa ragu menarik pelatuknya dan menembakkannya tepat ke d**a pria itu.
Seketika suasana menjadi hening. Gorge yang sudah terbiasa akan itu tampak biasa-biasa saja. Ia menoleh ke arah Simon.
"Biarkan mayat itu di sini. Mereka akan seperti itu jika melawanku!" Simon mengarahkan tatapannya kesalah satu pria.
Moncong pistol, Simon arahkan ke rahang pria yang di berikan isyarat tadi, "katakan, dimana dia!" suara rendah Simon membuat pria itu bergidik.
Namun, biarpun begitu ia tetap tidak membuka suara.
"Hahaha, apa benar kau seorang mafia? Kenapa kau tidak bisa menemukan orang yang kau cari?" ujar pria yang duduk di tengah. Ia menatap remeh Simon.
Gorge yang mendengar ucapan pria itu pun langsung mengeluarkan pistolnya dan hendak mengarahkan kepada pria itu,
"Tahan, Gorge." ujar Simon menghentikan gerakkan Gorge.
Gorge sendiri langsung menurunkan pistolnya dan kembali menyimpan benda itu.
Mata Simon yang tajam mengarah kepada pria itu-yang masih menatapnya dengan pandangan yang sama.
"Sepertinya kau tidak takut mati!"
Pria itu tersenyum sinis, "mati? Siapa yang tidak takut akan itu?! Aku takut mati! Tapi aku tidak takut jika harus mati di tanganmu, b******k!-"
Dor!!
Cipratan darah dari tubuh pria itu mendarat tepat ke wajah Simon. Ia menoleh ke arah Gorge-senapan pria itu yang telah mengenai leher pria yang telah tersungkur di depan Simon.
"Gorge!" umpat tertahan Simon, ia menata kesal pria itu.
"Maaf, Pak. Aku tidak tahan mendengar dia mengumpatimu." ujar Gorge menundukkan kepalanya.
Simon berdecih, ia mengelap darah segar yang mengenai wajahnya lalu bangkit berdiri dan kembali duduk di kursi yang ada di sana-menatap kedua pria penghuni rumah yang kini makin ketakutan.
Sudah dua orang yang mati di depan mereka entah siapa berikutnya nanti.
"Masih tidak ingin mengatakannya?-"
"Alvino ada di California-"
"Kevlar!!"
"Apa kau ingin mati?!! Apa gunanya kita menyembunyikan pria b******k itu!! Dia tidak bisa menjamin kehidupan kita lalu untuk apa merahasiakan keberadaannya!!"
Simon menyaksikan perdebatan kedua pria itu. Apa yang ia inginkan sudah ia dapatkan kini tinggal menghabiskan kedua pria itu.
Ia melirik Gorge. Gorge mengangguk mengerti dan sesaat kemudian peluru pistol yang di tangan Gorge sudah mendarat di kedua leher pria itu.
Mereka tersungkur ke lantai dan Simon yang melihat itu menarik sudut bibirnya ke atas lalu berdiri dari kursi.
"Urus sisanya," ujarnya melewati Gorge dan berlalu keluar dari bangunan itu.
^^^
Saat langkah kaki Simon sudah berada di luar, ia melirik kondisi tempat tinggal ke empat orang itu.
Sepi dan tenang, itu yang ia rasakan dan ia menyukainya.
Simon suka suasana yang tenang dan tidak sesak seperti di kota tempat ia tinggal, asalkan ia bisa berlama-lama di sini mungkin ia akan menghabiskan waktu untuk bersantai sejenak, tapi.. mengingat tujuannya ia mengubur niatan-nya itu dan kembali melangkah menuju mobilnya.
Ia memberikan senjata miliknya ke pada anak buahnya dan hendak masuk ke dalam mobil, namun matanya tidak sengaja melihat ke arah pohon besar yang tidak terlalu jauh dari rumah itu.
Di sana tampak ada seseorang, ia berpakaian baju putih dan matanya tak sengaja beradu pandang dengan mata Simon.
Simon cukup tertegun. Apa ia melihat sosok manusia atau.. hantu?
Di lihat dari pakaiannya sepertinya itu... bukan manusia.
Simon tidak ambil pusing. Ia tidak merasa takut akan apa yang ia lihat, ia tidak percaya akan hal seperti itu.
Simon masuk ke dalam mobil dan memainkan ponselnya dengan tenang.
Beberapa saat kemudian, Gorge dan beberapa anak buah Simon sudah memasuki mobil, mereka hendak meninggalkan tempat itu.
"Sudah di bereskan semua?"ujar Simon yang masih sibuk dengan ponselnya.
Gorge yang duduk di depan menoleh ke arah Simon. "Sudah, Pak. Kita bisa pergi sekarang."
Simon mengangguk dan mobil pun pergi dari sana.
Setelah berlama-lama di perjalanan Simon pun tiba di penginapan. Ia yang bingung kenapa berhenti di sana pun menoleh ke arah Gorge.
"Kenapa berhenti di sini? Bukankah kita langsung pulang malam ini juga?"
Gorge tidak menjawab, ia memilih turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Simon.
Simon menurut, ia turun dari mobil dan melirik kiri kanan tempat itu atau tempat penginapan yang sudah Gorge siapkan untuk Simon.
Gorge menatap kebingungan yang amat jelas di mata Simon. Mata pria itu beradu pandang dengannya dan seketika ia langsung menurunkan pandangannya dan menundukkan kepala.
"Apa yang ingin kau sampaikan?" Simon yang mengerti akan gelagat Gorge yang seperti itu langsung bersedakap d**a dan menatap tajam Gorge.
"M-maaf, Pak. A-aku lupa memberitahukanmu.. j-jika kau ada pertemuan dengan kolega-"
"Gorge!!" teriak marah Simon dan membuat Gorge terkesiap.
"M-maaf, Pak."
"Kenapa baru sekarang kau beritahu!"
"Aku lupa, Pak. Aku terlalu fokus untuk mencari alamat dari anak buah Alvino dan.. baru ingat jika lokasinya sama-"
"Stop.. ah.. salahku mempekerjakanmu menjadi sekretarisku!"
Gorge hanya bisa menunduk dan menerima omelan yang keluar dari bibir Simon dan untungnya itu tidak di saksikan oleh anak buah Simon yang lain, karena mereka sudah Gorge perintahkan untuk masuk ke dalam penginapan terlebih dahulu.
Setidaknya mereka tidak melihat adegan memalukan ia yang di marahi Simon.
Simon menatap jengkel Gorge, "padahal aku sudah berharap untuk pulang sekarang dan menemukan pria itu! Tapi.. aku harus tertahan di sini karena informasi yang telat dari sekretarisku!"
Gorge meringis, ia memberanikan diri menatap Simon, namun orang yang ingin ia lihat sudah hilang dari pandangannya dan masuk ke dalam penginapan.
"Pak!! Tunggu aku!!"
Tues, 18 Mei 2021
Follow ig : vivi.lian23