14. Terpesona

1117 Words
Raras terkejut saat menemukan beberapa paperbag tergeletak di atas kasur kamar tamu yang biasa ia tempati. Paperbag itu berisi setelan pakaian yang sangat cantik, beberapa dress dan pakaian dalam. Raras tidak menyangka bahwa selain menjemputnya kembali, Aezar juga repot-repot membelikan semua ini. Apa Raras sudah menjadi sosok yang sedikit istimewa di mata Aezar? Hanya saja, Raras tiba-tiba merasa takut bahwa besok akan menjadi hari terakhirnya bersama Aezar. Raras khawatir jika ia tak bisa memuaskan Aezar dan berakhir dengan diusir selamanya. Raras masih ingin kembali ke dunianya dan tak mau menghabiskan sisa hidupnya di sini. Raras merindukan dengan Ibu dan Romo-nya. Bahkan Raras juga merindukan Nakula, adik laki-lakinya yang super menyebalkan itu. Meski saat Raras kabur mereka sedang terlibat masalah, tetapi Raras kini ingin bertanggung jawab. Raras siap jika harus menikah dengan Adipati Suryarama, agar kedudukan keluarga Raras semakin kuat sebagai pemimpin daerah. Raras juga penasaran, apakah selama Raras menghilang, orangtuanya juga akan khawatir? Apa mereka mencari Raras? Atau menganggap Raras sudah mati dimakan hewan buas? Apapun itu, Raras tetap merindukan mereka. Raras meninggalkan paperbag itu dan melangkah keluar kamar. Ia ingin melihat lagi lukisan wanita cantik di ruangan itu dan mencari cara untuk membuka pintu gerbang antar dimensi. Siapa yang tahu jika di bagian belakangnya ada sebuah tombol tersembunyi? Atau sebuah tulisan mengandung teka-teki yang kemudian harus Raras pecahkan agar bisa kembali? Dengan jantung berdebar penuh antusiasme, Raras membuka ganggang pintu itu dan masuk ke dalam ruangan. Dan meski ini bukan pertama kalinya Raras memasuki ruangan lukis ini, tetap saja Raras merasa takjub dengan kumpulan lukisan yang dimiliki Aezar. Raras jadi bertanya-tanya, apakah Aezar yang melukis semua ini, atau ia hanya membeli lukisan milik orang lain dan memajangnya? Lalu lukisan yang menjadi perantara Raras bisa masuk ke era ini, di mana Aezar mendapatkannya? **** "Kenapa lo bisa sama Haru kemarin?" tanya Aezar saat mereka dengan sarapan di dapur. Seperti biasa, Robert yang bertugas untuk membawakan sarapan untuk Aezar tepat pukul tujuh pagi. Raras menghentikan suapan pancake-nya dan menatap Aezar datar. "Aku tidak sengaja bertemu dengannya di depan restoran, seperti takdir." Raras memotong pinggiran pancake itu dan menusuknya dengan tenang. "Kupikir malah kamu yang menyuruh temanmu untuk menemuiku." Sebelah alis Aezar terangkat naik. "Dan kenapa gue harus ngelakuin itu?" Raras tersenyum tipis. "Karena kamu khawatir padaku?" "Tidak mungkin." Aezar memasang senyum sinis. "Udah gue bilang, kalau takdir mempertemukan kita kembali, gue janji bakal bantuin lo. Jika bukan Kyra yang memberitahu soal lo, gue nggak akan bertindak sampai sejauh ini." "Ah, begitu." Raras mengangguk-angguk. Bola matanya tampak bebinar cerah. "Terima kasih karena menjaga janjimu, Aezar." Aezar berdeham saat tiba-tiba saja, ia merasa salah tingkah. "Di kantor nanti, kemungkinan besar lo bakalan ketemu sama Haru. Dan kalau itu terjadi, lo harus pura-pura nggak kenal sama dia." "Kenapa aku harus melakukan itu?" kening Raras berkerut dalam. "Kemarin Haru sudah begitu baik padaku. Bagaimana mungkin aku pura-pura tidak mengenalnya?" Aezar meletakkan sendok dan garpunya, kemudian menatap Raras tajam, tatapan yang biasa Aezar berikan pada bawahannya bahwa keputusan yang dibuat Aezar sudah final dan tidak ada penawaran lagi. "Raras, lo harus ngelakuin itu kalau nggak mau perjanjian kita batal. Mengerti?" Raras menatap Aezar dengan pandangan menyelidik, berusaha menggali sesuatu. Tetapi, Raras tetap tidak menemukan alasan mengapa Aezar harus melakukan ini. Raras juga tak menyangka jika Aezar bisa punya sifat ini. "Aku akan merasa tidak enak jika memperlakukan Haru seperti itu." "Semuanya tergantung sama lo, Raras." Aezar mengusap bibirnya dengan tisu dan berdiri. "Perjanjian kita batal kalau gue lihat lo sekali aja ngomong sama Haru. Nggak ada negosiasi." Aezar kemudian berbalik, hendak menuju kamar untuk mengambil setelan jasnya. Tapi kemudian terhenti saat mengingat sesuatu. Ia melirik jam yang melingkar indah di pergelangan tangannya. "Satu menit lagi, bakal ada orang yang bantuin lo dandan. Nurut aja sama mereka." Tanpa menoleh lagi, Aezar meninggalkan Raras yang terpaku melihat punggungnya yang perlahan menjauh. Kening Raras berkerut dalam, tetapi pada akhirnya ia menghela napas panjang. Jika Aezar sudah berkata seperti itu, maka Raras hanya perlu menurutinya. Karena sekarang, hidup Raras bergantung pada Aezar. Setidaknya Raras harus lebih bersabar menghadapi cowok itu, hanya sampai Raras bisa kembali ke dunianya. *** Orang-orang yang dimaksud Aezar muncul tak lama kemudian. Raras tersenyum menyambut uluran tangan mereka, dan merasa nyaman karena mereka mempunyai aura dan warna yang baik. Raras disuruh berganti baju dengan pakaian yang mereka bawakan, lalu Raras didudukkan di depan cermin saat mereka sibuk menata rambut Raras. Rasanya sama seperti ketika Raras datang ke gedung itu. Hanya saja, mungkin penampilan yang akan Raras dapatkan berbeda dengan sebelumnya. "Anda memiliki rambut yang bagus," kata gadis itu, tersenyum sambil menyisir rambut Raras yang berwarna hitam berkilau dan lurus. Raras balas tersenyum dan membalas. "Ya, aku sering keramas dengan abu hitam dari batang padi pilihan. Aku punya koleksi khusus di kamar mandi pribadiku." Memang benar. Pelayan kerajaan menyiapkan semuanya untuk Raras. Seminggu sekali, Raras akan melakukan perawatan pada rambutnya dengan dibantu beberapa pelayan pribadinya. Abu padi yang Raras dapatkan sengaja dibuat khusus untuknya, dari jenis terbaik. Raras juga akan menambahkan madu dan s**u murni sebagai campuran, agar rambutnya terasa lebih halus. Kemudian ketika Raras masuk ke era ini, Aezar memperkenalkan sesuatu yang dinamakan shampo. Aromanya memang sangat enak, tetapi Raras tidak suka memakainya karena terlalu banyak busa yang membuat matanya pedih. Raras bisa melihat wanita itu memandangnya bingung, tetapi akhirnya hanya tersenyum canggung. Tiba-tiba Raras merasa menyesal dan meruntukki bibirnya sendiri. Kenapa Raras harus membicarakan kehidupannya di era Majapahit? Mereka pasti tidak akan mengerti dan memandang Raras aneh. Akhirnya, Raras hanya diam sementara mereka menyelesaikan tugasnya menata rambut Raras dan merias wajahnya. **** Aezar tidak menyangka jika make up dan pakaian bisa mengubah penampilan Raras menjadi luar biasa anggun dan dewasa. Karena tubuh Raras tinggi semampai, setelan kantor itu tampak sangat cantik membalut tubuhnya. Rambut hitam Raras yang biasa digerai, kini disanggul tinggi dengan menyisakan anak-anak rambut yang membingkai wajahnya dengan begitu manis. Sapuan make up dari tangan-tangan ahli itu membuat keanggunan dari garis wajah Raras semakin menonjol. Ia terlihat dewasa dan anggun, tetapi tetap menyimpan sisi polos dan lugu. Bagaimana bisa Raras tampak sangat... menawan? "Paduka Aezar, bagaimana jika kita membuat kesepakatan dulu sebelum berangkat?" Raras bertanya saat orang-orang suruhan Aezar sudah pergi. "Jika aku nanti berhasil memenuhi ekspektasimu, bisakah kamu mencarikan seseorang yang membuat lukisan gadis yang mirip denganku? Aku harus tahu dari mana lukisan itu berasal." Aezar mengerjab seolah tersadar. Pipi Aezar tiba-tiba terasa panas tanpa ia duga. Ia berdeham. "Gue bisa ngelakuin itu, tapi waktunya akan sedikit lama karena itu lukisan yang usianya lebih dari dua ratus tahun." Aezar melangkah mendekati Raras untuk menatap gadis itu lebih dekat dan mengagumi kecantikannya. "Pastikan saja lo nggak buat kesalahan, Raras. Dan kita bisa bicarakan permintaan lo nanti." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD