11. Takdir Yang Saling Terkait

1499 Words
Aezar melonggarkan ikatan dasi yang mencekik leher dan melemparkannya ke atas sofa, menyusul jasnya kemudian. Aezar menatap sekeliling dan mendesah. Sudah tiga tahun belakangan ini Aezar tinggal sendirian di penthouse, tetapi baru kali ini merasa agak sepi. Ah, sial. Aezar melepaskan pantopel-nya begitu saja dan melangkah ke dalam kamar untuk mandi. Saat itulah mata Aezar melirik ke arah dapur dan menemukan sesuatu yang terasa tidak asing. Setelah jaraknya semakin dekat, Aezar bisa menemukan busur dan anak panah milik Raras yang ditata rapi di atas meja makan. Ada sebuah post it note di sebelahnya, yang langsung Aezar ambil. Aezar mengenali tulisan di kertas ini. Jelas bukan tulisan Raras, melainkan Robert. "Setelah aku pergi, aku akan berusaha menemukanmu kembali, Paduka Aezar. Namun jika ternyata kita tidak bertemu lagi, berarti takdir kita tak saling berhubungan. Aku akan segera menemukan cara untuk kembali ke duniaku." Raras. Aezar tanpa sadar tersenyum. Raras pasti tidak bisa menulis sampai menyuruh Robert untuk melakukannya. Ya, Raras memang benar. Aezar sudah membuang Raras ke luar kota. Dan jika ia menemukan cara untuk kembali pada Aezar dengan tak terduga, mungkin Aezar akan mempertimbangkan untuk menampung Raras lagi. Ia akan mengajari Raras bagaimana cara menjadi asisten rumah tangga yang baik. Wah. Kenapa Aezar mendadak antusias hanya dengan memikirkannya saja? Ponsel di saku celana Aezar berbunyi. Panggilan dari Kyra. Dengan setengah hati, Aezar menggeser ikon hijau dan menjawab panggilan. Ia berjalan ke arah konter dan mengambil gelas. "Ya?" "Kamu putus sama Raras?" Gerakan Aezar yang hendak menggulir air dari dispenser seketika terhenti. "Maksudnya?" "Kebetulan aku lagi ke luar kota buat jemput Asoka. Terus nggak sengaja lihat Raras lagi makan di restoran Korea sama Haru. Mereka keliatan deket banget. Jadi aku tanya kamu. Kalian putus?" Wah. Aezar tak menyangka jika takdir sebercanda ini dengannya. Ia baru saja membaca pesan Raras, dan Kyra langsung menelponnya untuk mengatakan keberadaan Raras. Sungguh, ini adalah kebetulan yang sangat tidak masuk akal. Aezar tentu tak cukup gila untuk menempuh perjalanan dua jam hanya untuk menjemput Raras. Gadis itu belum cukup berharga untuk Aezar meski takdir seakan mendekatkannya kembali dengan Raras. Haru bisa mengurus Raras dengan baik. Tapi... Bukannya Haru sempat melihat wajah Raras tadi pagi? Bagaimana jika ia bertanya macam-macam pada Raras? Apa Raras juga akan bicara omong kosong soal dongeng Majapahit pada Haru? Ah, sudahlah. Bukan urusan Aezar. Raras cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri. Ia pasti punya keluarga yang bisa dimintai tolong. Benar kan? Pertemuan dengan Haru, barangkali juga sebuah takdir yang direncanakan oleh semesta. "Haloooo, Aezar. Adikku tercinta..." suara lantang Kyra membuat Aezar tersadar dari lamunannya. Aezar berdeham untuk melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba kering. "Bukannya aku udah bilang kalau Raras itu temennya Haru? Kenapa nanya lagi sih? Aku sama Raras nggak ada hubungan apa-apa." Tawa renyah Kyra terdengar dari ujung telepon. "Ah iya, lupa. Kamu juga bilang kalau kejiwaan Raras agak terganggu. Tapi aku tiba-tiba pengin nyapa mereka. Nggak apa-apa kan?" Dasar Kyra. Dengan ingatan pendek seperti itu, Aezar heran sendiri kenapa dulu kakaknya itu bisa menjadi seorang aktris papan atas. Payah sekali, padahal baru kemarin mereka bertemu. "Jangan," balas Aezar cepat. "Nggak usah, lagian Raras mungkin udah lupa sama Kak Kyra. Otaknya agak terganggu." "Kamu bener. Tapi seenggaknya aku harus ngecek sesuatu," nada suara Kyra terdengar misterius di ujung telepon. "Aku masih nggak percaya kalau kamu sama Raras nggak ada hubungan apa-apa, Aezar. Omongan kamu nggak bisa dijadikan patokan." Dengan begitu, Kyra memutus sambungan telepon secara sepihak, membuat Aezar mendesah dan melempar ponselnya ke atas meja makan. Jiwa kepo seorang Kyra benar-benar membawa malapetaka. Aezar lupa sejak kapan Kyra jadi se-kepo ini dengan kehidupan Aezar. Mungkin lima tahun lalu? Entahlah. Karena seingat Aezar, saat kecil mereka tak terlalu dekat. Aezar kemudian duduk dan meminum air di gelas beningnya, dengan mata terpaku pada busur dan anak panah milik Raras. Benda itu tampak biasa saja, nyaris seperti barang bekas yang diambil dari tong sampah. Namun, ajaibnya, ujung panahnya bisa menembus lukisan dan menancap di dinding. Aezar jadi penasaran, apa memang sekuat itu? Di mana Raras membelinya? Ah, sial. Berhenti, Aezar. Berhenti memikirkan Raras. Jika cewek itu sedang bersama Haru sekarang, pasti Raras akan baik-baik saja. Benar, kan? Biarkan saja takdir mengikat Raras dengan Haru. Aezar hanya perlu menjalankan tugasnya untuk memperkuat kerajaan bisnis Patibrata. **** Raras masih berada di halte setelah menanyai berbagai orang yang ia temui yang mempunyai aura baik. Raras juga sudah tahu bahwa uang tiga ratus ribu rupiah yang ia miliki mempunyai nilai yang cukup banyak. Raras bisa menggunakannya untuk bertahan kira-kira lima belas hari jika menghabiskan dua puluh ribu per harinya. Tetapi, Raras jelas tidak akan punya tempat tinggal. Kata beberapa orang, penginapan paling murah di kota ini sekitar enam puluh ribu rupiah per malam, itu pun jika pandai memilih tempat. Jangankan memilih tempat. Raras bahkan tidak tahu siapa saja yang mempunyai penginapan. Arum bilang, Raras bisa mencari segala hal yang ia butuhkan lewat benda persegi panjang yang disebut ponsel. Raras terkejut saat Arum memperlihatkan banyak gambar yang ada di sana. Wajah Raras bahkan bisa terperangkap ke dalam. Sungguh, sihir di era ini pasti sangat keren. Tetapi mereka tak mengakuinya sebagai sihir, melainkan kemajuan teknologi. Baiklah. Raras bahkan tidak tahu teknologi itu apa. Ia juga tak paham tulisan dan angka di era ini meski secara ajaib bisa berkomunikasi dan menyesuaikan diri. Setelah matahari beranjak turun, perut Raras keroncongan. Makanan terakhir yang masuk ke perutnya adalah bubur dan roti isi yang ia makan di rumah Aezar. Sekarang, Raras harus mencari warung kaki lima seperti yang direkomendasikan Arum. Hanya saja, Raras agak bingung. Bagaimana bisa benda yang tidak bergerak mempunyai lima kaki? Seperti apa bentuknya? Hidung Raras mencium sesuatu yang harum dan menggoda saat melewati sebuah rumah yang dinding-dindingnya terbuat dari kaca, persis seperti yang ada di tempat Aezar. Aromanya seperti daging segar yang dipanggang di atas bara api, diberi olesan rempah-rempah yang membuatnya gurih. Dari balik kaca, Raras bisa melihat orang-orang makan dengan lahap. Apa yang terhidang di depan mereka tampak sangat lezat dan menggugah selera. Bisakah Raras menggunakan uangnya untuk membeli sepotong daging? Berapa harganya? Rasa lapar Raras semakin tak tertahankan. Ia nekat masuk dan bertanya pada salah satu pembeli di sana tentang bagaimana cara memesan daging itu dan berapa uang yang harus Raras keluarkan. Setelah mendengar harganya, mata Raras terbelalak kaget dan ia langsung melangkah keluar. Raras hanya bisa bertahan tiga hari jika menuruti egonya memakan daging. Belum lagi, Raras juga harus menyisihkan uangnya untuk naik bus. Ia hendak kembali ke tempat Aezar, tetapi bingung karena tidak tahu alamatnya. Raras benar-benar menyesal karena tidak bertanya pada Robert. Raras bahkan tidak pernah memikirkannya. Kalau sudah begini, bagaimana cara Raras menemukan Aezar? Tempat ini terlalu luas untuk ditelusuri satu-satu. "Hei, bukannya kamu yang tadi pagi di rumah Aezar?" Seseorang menyapa dan Raras langsung menolehkan kepala. Kening Raras berkerut saat menatapnya, mencoba menggali ingatan, kemudian tersenyum lebar saat ingat pria ini mengunjungi rumah Aezar tadi pagi. Dia punya aura cerah di belakang punggungnya, berwana kuning cenderung jingga. Raras mengulurkan tangannya dengan ceria. Bukankah ini seperti takdir? "Ah, ya. Namaku Raras. Kamu temannya Paduka Aezar?" Ada senyum tertahan di ujung bibir Haru. Tetapi ia menyambut uluran tangan Raras hangat. "Namaku Haru. Dan kenapa kamu memanggil Aezar dengan sebutan Paduka? Memangnya dia Raja?" Raras tersenyum tipis. Kini Raras tahu bahwa Aezar berbohong soal kerajaan Patibrata. Kata orang-orang, era ini dipimpin oleh presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam jangka waktu lima tahun sekali. Siapapun bisa menjadi presiden asal dicalonkan oleh partai politik. Raras tak begitu paham keseluruhannya, tetapi, ia tahu garis besarnya. "Kamu mau masuk?" Haru menunjuk restoran yang penuh aroma daging itu dengan dagunya. "Ayo, kita makan sama-sama. Aku ingin mengenal lebih jauh dengan wanita yang menjadi teman Aezar." Raras menggeleng. "Aku tidak punya banyak uang untuk makan di sana." "Tidak apa-apa, biar aku yang traktir," balas Haru lembut. Senyumnya juga terlukis tipis. Haru tak biasanya melihat Aezar memperlakukan wanita panggilan dengan cara spesial. Karena itulah, Haru yakin jika ada sesuatu di antara mereka. Tadinya Haru sedang ada pekerjaan di daerah ini, dan kebetulan ia bisa bertemu Raras. Bukankah, ini seperti lingkaran takdir yang aneh? Lagipula, kecantikan Raras tampak begitu alami. Ia bukan tipe perempuan yang menghabiskan belasan juta hanya untuk membeli make up dan berdandan. Raras juga punya sesuatu yang membuatnya tampak begitu anggun dan polos secara bersamaan. Dia unik dengan caranya sendiri, dan entah kenapa, Haru menyukainya. "Traktir itu apa?" tanya Raras polos. Haru terkekeh. "Ayo, masuk saja. Biar aku yang bayar makanannya. Kamu boleh pesan sepuasnya." Bola mata Raras yang lebar langsung berbinar cerah. Begitu pula dengan senyumnya yang tampak menawan. "Benarkah? Terima kasih." Haru mengangguk dan tersenyum tipis. Haru tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Hanya saja, ia merasa harus melindungi Raras dan langsung menyukai gadis itu didetik pertama mereka bertemu. Bukankah itu sedikit aneh? Bagaimana jika ternyata Raras adalah gadis milik Aezar? Haru tentu akan kalah jika saingannya adalah Aezar, dari dulu hingga sekarang. Hanya saja, untuk gadis secantik Raras, Haru tidak keberatan untuk menentang Aezar hingga titik darah penghabisan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD