12. Keputusan Yang Tepat

1371 Words
Baru sekali ini, Raras melihat benda yang dinamakan panggangan. Benda itu bisa mengeluarkan panas serupa api, tetapi tidak ada bara api atau asap tebal di bawahnya. Benda itu bahkan bisa dengan mudah ditaruh di atas meja dan dibawa ke mana-mana. Bukankah, ini terlihat sangat menakjubkan? Raras bahkan tidak mengedipkan mata saat Haru meletakkan irisan daging ke atas panggangan dan terdengar suara nyes yang khas. Aroma daging panggang yang gurih seketika menguar di udara. Di atas meja, tersaji banyak sekali jenis makanan yang ditaruh dalam mangkuk-mangkuk kecil, mulai dari saus, daun selada hijau yang segar, irisan bawang bombai, hingga semangkuk ramyeon yang masih panas. Raras tadi bertanya apakah restoran ini mempunyai mie cup, dan Haru memesankan ramyeon untuknya. Dilihat dari bentuk dan aromanya, Raras yakin bahwa ia akan sangat menyukainya. Raras menggeser mangkuk ramyeon itu dan mengambil garpu. Kemudian tiba-tiba, Haru meletakkan irisan daging yang sudah matang ke atas garpu milik Raras yang sudah dililit mie. Raras menatap Haru dan tersenyum tipis. "Ramyeon akan sangat enak jika dimakan dengan daging panggang," kata Haru menjelaskan. "Kamu juga juga harus mencoba daging panggang ini dengan selada dan bawang bombay tumis. Rasanya akan enak sekali." Raras mengangguk singkat. "Tentu." Mie cup punya rasa yang kuat, sementara ramyeon, kuahnya lebih berbumbu dan mie-nya lebih terasa lembut dan kenyal. Ada sayuran segar di dalam kuahnya, dan rasanya lebih pedas dan segar. Ketika dimakan dengan daging, perpaduan itu seperti meledak di mulut Raras. Tentu saja, ramyeon akan segera menggeser rasa mie cup di daftar makanan yang disukai Raras. "Kamu dan Aezar sudah lama dekat?" tanya Haru tenang, sambil menaruh daging lagi ke dalam mangkuk Raras. "Aku jarang melihat Aezar membawa seorang perempuan ke rumahnya." Raras menelan suapannya dan membalas tatapan Haru. "Kami bertemu pertama kali dua hari yang lalu. Dan dia adalah orang pertama yang aku lihat saat menginjakkan kaki di sini, seperti sebuah takdir yang sudah ditulis." "Ah, kamu dari luar kota? Apa ada pekerjaan yang mengharuskanmu ke sini?" tanya Haru penasaran. Raras mengerjab. Setelah dua hari, Raras menyadari bahwa dunianya dengan era ini sangat berbeda. Ia sudah banyak belajar dan mengamati. Orang-orang di era ini tak percaya dengan perjalanan waktu, atau gerbang yang menghubungkan antar dimensi. Orang-orang di dunia ini juga dimanjakan oleh berbagai jenis teknologi yang bahkan Raras merasa takjub tiap kali melihatnya. Kemudian, Aezar... Raras bisa mengerti kenapa cowok itu selalu curiga pada Raras dan mengatakan bahwa Raras hanya bicara dongeng dan omong kosong. Jika dia bercerita soal Majapahit pada Haru, maka Haru akan memandang Raras seperti Aezar menatapnya. Raras jelas tak mau menambah daftar orang-orang yang mengetahui latar belakangnya. "Ya, aku dari kota yang sangat jauh," balas Raras, tersenyum tipis. "Tiap kali melihat sesuatu yang baru, aku merasa sangat takjub," Raras melirik irisan daging yang dibalik oleh Haru. "Seperti panggangan ini, misalnya. Aku baru pertama kali melihatnya." "Ah, begitu." Haru mengangguk paham. "Kota Garuda baru berdiri dua puluh tahun yang lalu, tetapi pembangunan di tempat ini sudah sangat cepat dan masif. Di bandingkan Jakarta tempo dulu, kota ini lebih seperti peradaban yang sudah maju jika dibandingkan kota-kota lain di Indonesia." Memang benar. Indonesia di era ini, berhasil memanfaatkan bonus demografi dengan tepat dan juga memindahkan ibukotanya dari kota Jakarta ke kota Garuda yang berada di provinsi Kalimantan. Berkat investasi di dunia perfilman dua puluh tiga tahun silam, Indonesia kini mampu bersaing dengan Korea dan China dalam produksi film dan drama, serta menjadi yang terbaik nomor dua di Asia. Karena itulah, Indonesia semakin dikenal di mancanegara dan menjadi negara dengan destinasi wisata yang sering dikunjungi dunia. Bahkan jumlahnya terus bertambah setiap tahun. Indonesia tak lagi hanya terkenal karena Bali dan candi Borobudur, tetapi juga provinsi-provinsi yang lain, seperti Nusa Tenggara dan Papua. Hanya saja, kemajuan pesat itu tak merata di setiap kota, dan mungkin kota tempat tinggal Raras menjadi salah satunya. Ponsel Haru tiba-tiba berdering dan menariknya dari lamunan. Ia melihat layar ponselnya dan melihat nama Aezar. Kebetulan sekali. Kenapa cowok itu menelpon saat Haru sedang membicarakannya dengan Raras? Apa dia punya semacam bakat cenayang? Haru terkekeh kecil dan mengangkat panggilan Aezar. Dia sudah bertekad untuk tidak memberitahu Aezar soal pertemuannya dengan Raras. "Halo, ada apa nelpon malam-malam?" Haru memulai percakapan dengan santai. Hanya saja, jawaban Aezar kemudian di luar dugaan. "Raras masih sama lo?" Haru mengerjabkan mata dan menatap Raras yang masih fokus pada kegiatannya menyeruput kuah ramyeon. Haru berdiri dan menutup speaker teleponnya. Ia berdeham untuk mengalihkan antensi Raras. "Aku harus menjawab panggilan di luar. Bisakah kamu mengurus dagingnya?" Setelah mendapat anggukan dari Raras, Haru meletakkan kembali ponselnya ke dekat telinga dan berjalan keluar restoran. Setelah keluar dari pintu, Haru berdeham sebelum menjawab pertanyaan Aezar. "Sorry. Lo tadi ngomong apa? Gue harus keluar karena suara lo nggak kedengeran." Aezar terdengar mengembuskan napas dengan jengkel. "Raras masih sama lo?" "Raras siapa yang lo maksud?" balas Haru pura-pura bingung. Hanya saja, ia lupa bahwa Aezar sangat sulit untuk dikelabuhi. "Nggak usah bohong. Robert lagi dalam perjalanan buat jemput Raras. Lo jagain dia sampai Robert datang, oke?" Haru mendesah dan menyugar rambutnya. "Kenapa gue harus jagain Raras buat lo? Emang lo siapanya Raras?" "Udah gue bilang kalau dia cewek gue," balas Aezar dingin. "Gue bakal hajar lo habis-habisan kalau Robert pulang tanpa bawa Raras." Aezar tak mau menunggu balasan Haru karena ia segera menutup panggilannya, membuat Haru mendengus kesal. Jika saja jabatan Aezar tak lebih tinggi darinya, dan andai saja Haru tidak bergantung hidup pada perusahaan milik keluarga Aezar, Haru tentu saja akan membantah perintah Aezar. Cowok itu memang sahabatnya sejak kecil, tetapi Haru sudah cukup muak dengan sikapnya yang bossy dan tukang perintah. Tiba-tiba Haru terpikir sesuatu. Dari mana Aezar bisa tahu jika Raras sedang bersamanya? Apa Aezar memasang pelacak di tubuh Raras? Atau ada kamera tersembunyi di pakaiannya? Pertanyaan Haru kemudian terjawab saat ia melihat Kyra dan suaminya berjalan berdampingan keluar restoran. Astaga, jadi Kyra biang keladinya? **** Aezar melemparkan ponselnya ke atas meja ruang tamu dan ia berbaring di sofa. Ia mendengus kesal saat menyadari bahwa Haru berbohong kepadanya soal Raras. Cowok itu benar-benar. Jika Aezar tak mengingat persahabatan mereka, Aezar akan menghajar Haru karena berani membohonginya. Apa yang hendak Haru rencanakan dengan mencoba untuk menyembunyikan Raras? Ah, sial. Kenapa Kyra harus menelponnya dan memberitahukan keberadaan Raras? Dan kenapa pula Aezar menarik semua perkataannya dan menyuruh Robert untuk menjemput Raras? Dasar Aezar labil. Bisa-bisanya ia berbuat bodoh lagi seperti kemarin. Dan bisa-bisanya Aezar mencoba mempercayai dongeng bodoh yang keluar dari mulut Raras. Aezar pasti sudah tertular virus gila yang disebarkan Raras. Benar, kan? Sebenarnya apa yang dimiliki Raras hingga Aezar bertingkah seperti ini? Selain... wajah cantiknya? Aezar mendesah dan mengacak rambutnya. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke arah lukisan yang tadi pagi dipanah Raras. Aezar mengambil panah itu, sedikit kesusahan tetapi berhasil mengambilnya. Aezar mengamati benda itu dalam diam dan membersihkan serpihan di ujung anak panahnya yang tampak tajam dan berkilauan. Haruskah Aezar menyimpan kembali benda ini dan membuat Raras meletakkan kepercayaannya kembali? Namun, apakah gadis itu akan kembali mempercayai Aezar meski sudah dikhianati? **** Ketika Haru pergi, Raras mengambil benda yang tadi digunakan Haru untuk membalik daging. Tiba-tiba saja, seseorang menempati bangku yang tadinya diduduki Haru. Mata Raras seketika membulat saat menyadari sosok itu. Dia adalah Kyra, kakaknya Aezar yang waktu itu pernah berkunjung. Bagaimana mungkin, takdir membawa Kyra pada dua orang yang dekat dengan Aezar? "Haloo, Raras. Kita ketemu lagi. Kamu masih ingat sama aku kan?" Kyra menyapa ceria. "Aku ke sini lagi jemput suamiku yang kebetulan ada pekerjaan di dekat sini. Kamu sendiri? Tinggal di kota ini?" Raras menggeleng. "Aku tinggal di tempat yang lebih jauh." Kyra mengangguk. "Kamu dan Aezar, beneran nggak ada hubungan apa-apa?" Raras mengerjabkan mata dan memandang Kyra bingung. Raras tidak tahu harus bagaimana menjawab Kyra, jadi ia menjawab sesuatu yang belum pasti. "Aku dan Aezar hanya berteman." "Benarkah? Tapi aku melihat Aezar memandangmu dengan cara berbeda." Kyra mencondongakan tubuhnya agar bisa berbisik pada Raras. "Dengarkan aku baik-baik Raras. Jika dua jam lagi Aezar datang dan menjemputmu, artinya Aezar menyukaimu." Kening Raras berkerut. Rasanya tidak mungkin jika Aezar menyukai Raras. Aezar yang mengusir Raras ke tempat ini. "Dan jika tidak?" Kyra tersenyum dan mengusap puncak kepala Raras lembut. "Berarti firasatku salah dan dia hanya menganggapmu sebagai teman."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD