6. Legenda

1363 Words
Raras mengingat tentang legenda Ratu Shima yang menguasai kerajaan Kalingga. Raras pernah mendengar kisahnya dari tetua, tentang sang ratu yang memiliki sifat yang adil dan bijaksana. Seluruh rakyatnya dikabarkan hidup makmur di bawah kekuasaannya, bahkan, tidak ada kejahatan maupun pencurian. Suatu ketika, sang Ratu ingin menguji kejujuran rakyatnya dengan menaruh sekantung emas di jalan, tetapi bahkan hingga berbulan-bulan kemudian, tidak ada yang berani mengambilnya. Hingga kemudian, putra kandung sang Ratu ketahuan mengambil kantung itu dan langsung dijatuhi hukuman potong tangan, tanpa membedakan dengan rakyatnya. Apakah, Ratu Shima juga hidup di era ini? Sepertinya Raras tidak bisa mendapat jawaban. Raras hanya menurut ketika Reina mendorongnya masuk ke dalam sebuah ruangan untuk berganti baju. Seseorang yang memperkenalkan dirinya dengan nama Sebastian berkata bahwa Raras memiliki aura seorang Ratu, bahkan hanya dengan melihatnya berdiri di tengah-tengah ruangan. Raras juga tidak tahu kenapa menurut saja ketika disuruh berganti kemban dengan desain batik yang lebih cantik. Berkali-kali mereka memuji Raras tetapi Raras hanya diam saja. Ia pikir, baju ganti baru adalah salah satu layanan yang diberikan sebelum keberangkatan ke era Majapahit. Kini, Raras didudukkan di depan sebuah cermin besar yang menampilkan wajahnya. "Kamu punya garis wajah yang khas," kata seorang penata rias di belakang Raras. Mereka bertemu pandang dalam cermin. Ia tersenyum tipis. "Namaku Jelita. Dan aku akan bikin aura wajahmu lebih bersinar." Jelita kemudian mengambil pelembab dan mulai mendandani Raras dengan telaten dan profesional. Sementara itu, Raras hanya bisa memendam kekaguman dalam dirinya. Ternyata dunia pada era ini sangatlah keren. Tak hanya gedung-gedung pencakar langit yang banyak, ternyata orang-orangnya pun ramah-ramah. Raras tidak tahu benda apa yang Jelita berikan di wajahnya. Tapi karena Raras tahu bahwa Jelita adalah gadis yang baik, Raras tak keberatan membiarkannya menyentuh wajah Raras. Ya, Raras memang mempunyai sedikit kelebihan di banding orang lain. Ia bisa melihat warna dan aura setiap orang di ruangan ini dan menebak seperti apa karakternya. Raras juga bisa langsung tahu jika mereka memiliki niat jelek karena aura di punggung mereka akan segera berubah warna menjadi lebih gelap. Jelita punya karakter yang ramah, riang dan bersahabat. Mata Jelita menyiratkan semangat meski hidupnya tidak mudah. Begitu pula Reina, ia gadis yang ceria dan polos, serta mudah bergaul dengan orang lain. "Nah, selesai. Pak Sebastian pasti akan terkaget-kaget melihatmu." Jelita tersenyum puas melihat mahakaryanya. "Mata beliau memang sangat jeli saat menilai sesuatu." "Debak, udah kuduga kalau kamu bakal secantik ini kalau dandan." Mata Reina menatap Raras tanpa berkedip. "Aku turut senang kalau kamu yang akhirnya dapat peran Ratu Shima, Raras. Kamu benar-benar terlihat anggun dan berwibawa." Jelita mengangguk-angguk setuju. "Kalau akting Raras bagus, dia pasti langsung jadi bintang besar setelah main drama ini." Jelita menepuk pundak Raras dan tersenyum tipis. "Ayo, kita temui Pak Sebastian. Beliau pasti sudah menunggu." Raras menganggukkan kepala dan berdiri. Jelita juga memberikan Raras sebuah flatshoes cantik yang tampak nyaman ketika dipakai. Raras menduga jika seseorang bernama Sebastian pastilah pemilik tempat ini, dan dia sendiri yang akan mengantarkan Raras ke lorong waktu. Tiba-tiba Raras mendadak penasaran. Apakah, orang-orang pada zaman ini bisa berpindah dimensi dengan mudah? Tepat ketika Raras dibawa ke tengah ruangan, ia mendapatkan tepuk tangan meriah dari orang-orang yang masih ada di sana. Sebastian dan dua orang lain yang duduk membelakangi meja bahkan berdiri menyambut Raras. "Drama ini pasti akan sukses dengan kehadiranmu, Raras," kata Sebastian dengan senyum lebar. "Baiklah. Sekarang giliranmu untuk menunjukkan kepada kami bakat aktingmu." Kening Raras berkerut samar. "Akting itu... apa?" Semua yang berada di dalam ruang casting itu saling pandang. Hening beberapa saat. Raras langsung menyadari sesuatunya dan tersenyum canggung. "Kupikir, aku ke sini karena akan diantar ke era Majapahit melalui portal waktu." Sebastian hendak berujar tetapi, suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian mereka. Sang CEO Patibrata Group mucul bersama kepala bagian yang menangani gedung Bintara. Raras kemudian mangalihkan pandang dan bertemu dengan mata Asoka yang sedang menatapnya. Senyum Raras langsung terlukis lebar. "Paduka Aezar! Anda datang untuk mengantarku kembali ke era Majapahit?" Sial. Aezar ingin menutup wajahnya sekarang. Bagaimana bisa Raras bicara soal Majapahit di depan banyak orang? Dan, apa tadi? Paduka Aezar? Aezar berdecak. Sikap tubuhnya tampak tak nyaman dengan berpasang-pasang mata yang memandangnya penasaran. Hingga kemudian, Sebastian seakan tersadar dengan situasi dan langsung menghampiri Aezar sambil tersenyum ramah. "Selamat sore, Pak Aezar. Ada yang bisa saya bantu?" Sebastian menganggukkan kepala hormat. "Saat ini kami sedang mengadakan casting untuk mencari wajah baru untuk drama kita." ia kemudian melirik Raras yang masih menatap Aezar dengan senyum polosnya. "Ah, apa Pak Aezar mengenal Raras?" Aezar berdeham. Sejujurnya Aezar malu mengakui Raras, tetapi cewek itu sudah terlanjur memanggilnya. Ah, panggilan sialan. Lagi pula, bukankah tujuan Aezar ke sini memang untuk menjemput Raras? Entah kenapa, Aezar tak bisa membiarkan Raras keluyuran sambil membicarakan omong kosong soal Majapahit, meski Aezar juga masih menyelidiki soal kebenarannya. "Raras, kemarilah, ada sesuatu yang harus kita bicarakan," kata Aezar. Matanya lurus menatap Raras. Ia kemudian berdeham lagi dan memandang Sebastian. "Raras ini saudara jauh saya. Dia sedang menjalani rawat jalan." "Ah, jadi begitu," Sebastian mengangguk-angguk. "Saya tadi sempat berencana untuk merekrutnya menjadi wajah baru di drama kolosal kami, karena Raras punya aura seorang Ratu." ia melirik Raras yang berjalan pelan ke arah Aezar. "Tapi sepertinya tidak bisa." Aezar tak perlu bicara panjang lebar karena orang-orang di sini pasti sudah paham dengan maksudnya. Ketika Raras sampai, Aezar menarik tangan Raras. "Kalau begitu kami permisi dulu." "Ya. Selamat malam, Pak." Sebastian mengangguk hormat. Setelahnya, Aezar pergi bersama Raras dari ruangan itu. Aezar benar-benar tak menyangka bahwa ia akan mencari Raras seorang diri. Lagi pula kerjaan Robert ngapain, sih? Tiba-tiba, Raras menghentikan langkahnya dan menatap Aezar dengan sorot bingung. "Mereka mau mengantarku ke era kerajaan Majapahit. Kenapa Paduka membawaku pergi?" Aezar menoleh dan menatap Raras tajam. "Jangan bersikap seperti orang gila, Raras. Memangnya lo tahu casting itu apa? Kenapa nurut aja pas mereka dandanin lo?" "Tapi ada banyak orang yang berpakaian sama denganku. Kupikir, mereka akan diantar kembali ke era-nya masing-masing." Raras membalas polos. "Di tahun ini, perkembangan gerbang antar dimensi sudah semakin baik ya? Kalian bisa pergi kapan saja dan ke mana pun?" Aezar memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Kenapa Raras terus saja bicara omong kosong? Dan kenapa orang seperti Aezar mau-mau saja mengurusi orang gila macam Raras? Sepertinya memang ada yang salah dengan otak Aezar. Ia bahkan nyaris percaya bahwa Raras betulan berasal dari era Majapahit. "Nggak ada yang namanya gerbang antar dimensi, Raras," balas Aezar tajam. "Kehadiran lo di sini adalah sebuah misteri yang belum bisa gue pecahkan. Ngerti?" "Ah, jadi tidak ada gerbang antar dimensi," Raras mengangguk-angguk. "Lalu, syuting dan casting itu apa?" "Sebuah pementasan drama," balas Aezar cepat. "Gue nggak mau bicara panjang lebar. Ikutin gue." Biar bagaimana pun, Raras tidak bisa membantah Aezar. Iya kan? Cuma pria itu yang bisa Raras andalkan. *** Dua kali memasuki penthouse milik Aezar tetap saja masih membuat Raras terkagum-kagum. Gorden di sebelah ruang tamu terbuka lebar, menampilkan langit malam dan jutaan sinar lampu yang terpantul dari gedung-gedung dan rumah penduduk. Mata Raras berbinar-binar saat ia mendekat. "Ini mengagumkan. Bagaimana bisa bintang-bintang berada di bawah sana dan bukannya di atas langit?" Aezar memutar bola mata melihat tingkah Raras. Ia kemudian melepas jas dan sepatunya, menaruh kedua benda itu sembarangan. Melihat Raras hanya membuat Aezar mengingat keponakannya yang masih berusia empat tahun. "Itu bukan bintang, tapi cahaya lampu." Raras menoleh dan memandang Aezar polos. "Ah, lampu. Seperti benda di atas?" Raras menujuk ke arah lampu yang menempel di langit-langit bangunan. "Hebat sekali. Jadi tidak perlu obor atau lilin untuk pencahayaan di malam hari ya?" Aezar menghela napas dan melepaskan dasinya yang terasa mencekik leher. "Lo laper nggak?" "Lapar," balas Raras cepat. Kedua bola matanya berbinar-binar. "Tadi siang aku dibelikan Reina mie instan dalam cup. Rasanya enak sekali. Paduka juga punya?" Dasar bayi. Aezar mengangguk. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman, tipis sekali. "Ayo kita ke dapur. Gue buatin." Raras tersenyum dan mengikuti langkah lebar Aezar dari belakang. Tiba-tiba, Aezar berbalik dan memandang Raras tajam. "Tapi setelah ini, lo harus kasih tahu gue gimana caranya lo bisa masuk ke penthouse gue, oke? Jawaban dari lo malam ini bakal nentuin nasib lo selanjutnya." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD