7. Kedatangan Kyra Dan Rahasia Lukisan

1299 Words
Aezar biasanya menyuruh Robert membelikan makanan di luar jika ia tak sempat makan sebelum pulang. Aezar jarang membuka stok mie instan cup di lemari dapurnya jika tidak dalam keadaan terdesak. Penghabis mie di lemarinya adalah teman-teman maupun kakaknya yang kebetulan berkunjung. Beruntung, meski Aezar tidak bisa memasak, ia masih bisa merebus air. Setelah menuangkan bumbu dan air panas ke dalam cup, Aezar meletakkan mie yang masih mengeluarkan uap panas itu ke depan Raras yang menunggu dengan tenang seperti anak kecil. Aezar ikut duduk di depan Raras dan mengamatinya. Cara gadis itu memegang garpu dan meniupi mie yang masih panas itu entah kenapa terlihat lucu di mata Aezar. Ia bukannya menggunakan jari telunjuk dan jempol untuk memegang sendok, melainkan dengan seluruh jarinya! Astaga, gadis ini... apa benar memang berasal dari era Majapahit? Atau selama ini ia ternyata tinggal di hutan? Aezar kemudian mengamati kain jarik yang membebat tubuh gadis itu, berikut aksesori yang ia kenakan, juga sapuan make up yang menonjolkan bagian tertentu wajahnya. Auranya yang terpancar dari Raras benar-benar... mengagumkan. Bahkan dengan cara makan yang tidak manusiawi seperti itu, ia masih terlihat anggun. Pantas saja Sebastian menginginkan Raras untuk memainkan peran seorang Ratu. "Paduka Aezar tidak makan?" tanya Raras tiba-tiba, menatap Aezar dengan sorot matanya yang polos. "Mie-nya enak sekali. Rasanya agak berbeda dengan tadi siang tapi tetap enak." Aezar menggeleng dan menggeser jatah mie cupnya ke arah Raras. "Gue nggak laper. Makan aja sepuasnya." Mata Raras seketika berbinar-binar seperti memenangkan lotre. "Sungguh?" ia tersenyum manis, menampilkan lekukan kecil di ujung bibirnya. "Terima kasih, Paduka!" "Jangan panggil gue Paduka." Aezar bangkit dari posisinya dan bersedekap. Matanya memandang Raras tajam. "Setelah makan, temui gue di ruang lukisan. Kita harus bicara." Raras mengangguk. "Baik, Paduka." Aezar memasang raut wajah dingin. "Udah dibilang jangan panggil gue Paduka," kata Aezar kesal. "Lantas, aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?" tanya Raras, sambil mengerjab polos. "Aezar saja. Sepertinya kita seumuran," balas Aezar datar. Raras tersenyum tipis. "Baiklah, Aezar." Baru kali ini, Aezar membiarkan orang asing memanggilnya hanya dengan sebutan nama. Semua orang di kota ini bahkan merasa segan jika bertemu dengannya. Namun, kenapa mandadak Aezar menyukai ketika Raras memanggilnya hanya dengan nama Aezar saja? Aezar pasti sudah gila. Iya kan? **** Aezar memasuki ruangan dan pandangannya langsung tertuju pada sebuah lukisan yang berada di tengah-tengah ruangan. Lukisan itu Aezar beli pada acara lelang dua minggu yang lalu. Entah kenapa, ia langsung terpesona pada sosok wanita yang berada di dalam lukisan itu dan merasa akrab. Karenanya, Aezar tidak keberatan saat harus membayar dengan harga mahal. Aezar hobi mengumpulkan lukisan dari berbagai belahan dunia, dan berniat akan mengadakan pameran suatu hari nanti ketika ia merasa koleksinya cukup. Lama mengamati lukisan itu, Aezar merasa ada sesuatu yang aneh. Keningnya berkerut dalam. Bukankah, wanita yang berada di dalam lukisan begitu mirip dengan Raras? Sorot mata dan garis wajah itu nyaris serupa. Tapi... benarkah? Aezar baru akan menyentuh lukisan itu sebelum suara ribut-ribut dari luar mengganggunya. Aezar mengenali suara lantang itu sebagai kakak ke-duanya, Kyra. Kenapa ia datang kemari tanpa mengabari? Ah, Aezar menyesal karena tidak mengubah sandi di pintunya. Ketika Aezar sampai di dapur, ia bisa melihat wajah ceria Kyra yang sedang memandangi Raras dengan tatapan terpukau. Sudah beberapa tahun belakangan kakaknya itu meninggalkan pekerjaannya sebagai aktris. Jadi, ia pasti merasa seperti bertemu dengan teman lama saat melihat Kyra dan langsung akrab. "Kak Kyra ngapain ke sini?" tanya Aezar, seketika membuat atensi Kyra teralih. "Kenapa kamu nggak bilang kalau punya pacar aktris?" Kyra berujar dengan nada penuh selidik. Kedua tangannya bersedekap. "Kalian udah tinggal bareng ya?" "Sembarangan aja kalau ngomong." Aezar mendekati sang kakak dan mendorong pundaknya dari belakang agar segera pergi. "Udah sana balik ke kandang, jangan gangguin hidup orang." Kyra melotot tidak terima. "Yak! Emangnya kamu nggak kangen sama Kakak? Udah setengah tahun enggak ketemu lho ini." Ia menyentak tangan Aezar dan berkacak pinggang. "Mana enggak pernah nelpon atau sms sama sekali. Seenggaknya basa-basi kek, pura-pura jadi adek yang berbakti." Aezar memutar bola matanya malas. Mana perlu Aezar mengirimkan pesan atau menelpon kalau kakaknya itu sudah rutin melakukannya seminggu empat kali? "Udah belom?" "Seharusnya kamu ngenalin pacar baru kamu, bukannya main ngusir aja!" Kyra mencubit lengan Aezar kesal. "Udah sejak kapan? Hmm?" "Dia bukan pacarku," balas Aezar, sambil melirik Raras yang masih sibuk memakan mie-nya tanpa rasa canggung. Ia bahkan tidak repot-repot minta dikenalkan atau bertanya siapa Kyra. "Dan dia bukan aktris, jadi, kalian nggak satu frekuensi." "Terus kenapa tampilannya begitu?" Kyra setengah berbisik pada Aezar agar Raras tidak mendengarkan ucapan mereka. "Kamu punya fetish kain jarik ya? Kamu yang nyuruh dia pakai baju begitu?" Mata Aezar seketika membulat. "Yak! Emangnya aku apaan?" "Terus kamu bisa jelasin kenapa dia berpakaian begitu kalau bukan aktris?" sebelah alis Kyra terangkat menyelidik. Siapa yang tahu jika ternyata Aezar punya kelainan setelah setengah tahun ditinggal pergi? Aezar menyugar rambutnya dan mendesah. Kyra itu, Aezar sudah paham dengan karakternya. Ia tak akan berhenti bertanya sampai semua rasa penasarannya terjawab. Kyra adalah cewek paling cerewet se-dinasti Patibrata. Sungguh jauh bertolak belakang dengan kakak sulungnya, Ayudia, yang cenderung selalu serius dan masa bodoh dengan kehidupan pribadi adiknya. Maka dari itu, Aezar akan mencari alasan agar Kyra berhenti mengusiknya. Aezar menyeret lengan Kyra agar mengikutinya ke ruang tamu. Setelah sampai, ia mendudukkan Kyra di sofa dan ia berdiri menjulang di depannya seolah hendak mengintimidasi. Tatapan Aezar berubah serius. "Namanya Raras. Dia temennya Haru yang kondisi kejiwaannya agak terganggu. Kita nggak sengaja ketemu di jalan, jadi, aku bawa dia ke sini. Bentar lagi Haru datang buat jemput dia." Kyra menutup mulutnya tak percaya. "Yang bener? Tapi dia kelihatan normal. Normal, berkharisma dan cantik. Bagaimana bisa?" "Dia punya ambisi pengin jadi aktris, tapi nggak berhasil dan akhirnya gila. Puas?" Mulut Kyra setengah terbuka tak percaya. Tapi kemudian ia mengangguk-angguk paham. "Wah, kasihan banget. Tapi kenapa kamu tiba-tiba baik banget sampai bawa dia ke penthouse?" lagi-lagi, Kyra memandang Aezar penuh selidik. "Aku tahu kamu luar dalam, Aezar. Kamu nggak akan bawa orang asing ke sini meski itu teman Haru sekali pun." Aezar nyaris gila mendengarkan ucapan Kyra. Bisa tidak sih, dia pergi saja dan jangan banyak bertanya? Aezar bukan tipe orang yang pandai mencari-cari alasan. Ketika itulah, ponsel Kyra berdering, bagai penyelamat bagi hidup Aezar. Kyra mengangkat panggilan itu dan seketika wajahnya berubah masam. Itu pasti telpon dari suaminya yang meminta dia segera pulang. Diam-diam, Aezar menyeringai puas saat Kyra berdiri sambil membawa tasnya. "Kamu selamat hari ini. Tapi lain kali, aku bakal nemu kebenarannya." Kyra memandang Aezar penuh tekad. Sedetik kemudian ia tersenyum manis, berjijit dan mengecup pipi Aezar cepat. "Sampai jumpa, adik kecil!" Kemudian Kyra setengah berlari meninggalkan Aezar sambil tersenyum puas. Sementara itu, Aezar hanya bisa berdecak kesal dan menghapus bekas ciuman Kyra di pipinya. Ah, sial. Ingatkan Aezar untuk mengubah kode sandi pintunya setelah ini. Saat menemui Raras di dapur, Aezar bisa menemukan dua cup mie yang isinya sudah kosong, tidak tersisa sedikit pun meski hanya kuahnya. Dilihatnya Raras yang sedang mengelap bibirnya dengan tisu. Mata mereka kemudian bertemu dan Raras tersenyum tipis. "Itu tadi saudara perempuanmu ya? Dia tampak baik dan peduli padamu. Kalian pasti senang sekali karena sudah lama tidak bertemu. Dia langsung pergi meninggalkan suaminya di bandara buat ketemu kamu." Kening Aezar berkerut. "Bandara? Lo tahu apa itu bandara?" Raras menggeleng polos. "Aku tidak tahu. Aku hanya membacanya." "Membacanya?" tanya Aezar bingung. Dia bisa membaca? Wah. Aezar pasti sudah tertipu dengan wajah polosnya. Iya kan? Raras bukan berasal dari era Majapahit seperti katanya. Dia hanya berpura-pura. "Iya. Dan dia juga takjub saat melihatku, dan memandangku sebagai aktris berbakat. Sama seperti yang dipikirkan orang-orang di dalam gedung besar itu." Raras kemudian berdiri. "Kita jadi bicara?" ia menggerakkan tubuhnya dan tampak tak nyaman. "Tapi... bisakah Paduka mengambilkan aku air hangat? Aku ingin mandi." ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD