8. Mempercayai Atau Menendang Pergi?

1801 Words
Aezar sudah selesai mandi saat Raras belum juga keluar dari kamar tamu. Aezar tiba-tiba teringat jika Raras tidak punya baju ganti untuk dipakai sementara. Haruskah Aezar meminjamkan kaus dan celana pendeknya? Tetapi, Aezar tidak suka ketika ada orang asing memakai barang-barangnya. Bahkan melihat Raras di penthouse-nya saja sudah membuat Aezar merasa aneh. Apa Aezar perlu meminta Robert membelikan pakaian untuk Raras? Tapi bukankah itu terlalu berlebihan? Aezar tidak mau Robert berpikir bahwa Raras adalah sosok yang spesial. Aezar mendesah dan kembali masuk ke dalam walk in closet-nya. Ia mengambil kaus dan celana pendeknya sembarangan. Aezar tak perlu membuang uangnya untuk Raras karena cewek itu akan ia usir pergi besok pagi. Benar kan? Sambil membawa pakaian untuk Raras, Aezar mengetuk pintu kamar tamu yang ditinggali Raras. Tetapi, tidak ada tanggapan setelah lima menit berlalu. Aezar paling benci menunggu, jadi, ia langsung masuk saja. Mata Aezar seketika terbuka tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Lagi-lagi, bukannya mandi, Raras malah bersemedi di atas ranjang seperti yang ia lakukan tadi pagi. Matanya tepejam sangat erat dan punggungnya begitu tegap dengan posisi bersila. Alih-alih, Raras tampak seperti patung budha. Apa gadis ini betulan gila? "Hei, lo lagi ngapain?" tanya Aezar akhirnya, tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Kenapa belum mandi? Bukannya tadi udah gue kasih tahu tempatnya?" Aezar menaruh pakaian untuk Raras ke atas sofa, kemudian membuka pintu kamar mandi lebar-lebar. Ditatapnya Raras yang masih fokus pada kegiatan absurd-nya, seolah tak terganggu dengan kehadiran Aezar. Gadis itu bahkan tak melepas aksesori yang ia kenakan dari lokasi syuting tadi. Astaga, lama-lama Aezar bisa ikutan gila karena melihat tingkah ajaib Raras. Gadis ini kenapa, sih? Dan kenapa pula Aezar mau repot-repot mengasuhnya seperti anak bayi? "Yak! Kita harus bicara!" Aezar mencoba menarik perhatian Raras lagi, tetapi tidak membuahkan hasil. Aezar mendesah dan menyugar rambutnya yang setengah basah. Tiba-tiba ia merasa jengkel. "Kalau lo nggak bicara sekarang, gue pastikan besok lo bakalan tidur di jalanan. Ngerti?" Masih tidak ada jawaban. Aezar mendengus dan berbalik. Kalau bisa, Aezar akan menyeretnya keluar sekarang juga. Siapa yang peduli jika gadis itu akan bermalam di trotoar jalan? Tentu saja Aezar. Memangnya siapa lagi? Aezar sendiri bingung kenapa dia jadi berubah baik pada orang asing? Atau dia sedang diguna-guna? Tetapi kemudian, langkah Aezar terhenti saat suara halus Raras memanggilnya. "Paduka, tunggu." Raras turun dari ranjang dengan gesit dan menghampiri Aezar. "Aku tidak tahu di mana letak air panasnya. Kamu bilang sudah ada di dalam kamar mandi, tapi aku sudah mencarinya di berbagai sudut dan tidak ketemu." Mata Aezar seketika membulat terkejut. Ia buru-buru meletakkan punggung tangannya di dahi Raras, memeriksa apakah gadis itu sedang demam atau tidak. Hal yang tidak Aezar duga setelahnya adalah ketika Raras menepis tangan Aezar dengan kuat hingga membuat Aezar terhuyung ke samping. Kepalanya nyaris membentur lantai jika gerak refleksnya tidak baik. Lagi-lagi, Aezar dibuat terkejut. Gadis semungil Raras, bagaimana bisa membuat Aezar tampak seperti pria lemah? "Apa yang coba lo lakuin?" kata Aezar kesal saat sudah berhasil berdiri tegak di depan Raras. Raut wajahnya jelas menunjukkan ketersinggungan. Hanya saja, Raras tidak menyadarinya dan malahan tersenyum polos. "Aku tidak melakukan apapun," balas Raras. "Aku hanya tidak suka saat orang yang belum kukenal baik menyentuhku." Aezar mendengus tak percaya. "Emangnya gue mau ngelakuin apa?" Aezar mencoba menekan emosinya dan menujuk ke arah kamar mandi yang pintunya terbuka lebar. "Sekarang mandi. Setelah itu kita bicara." "Beri tahu aku di mana letak air panasnya, Paduka," balas Raras tenang. "Ini pertama kalinya untukku." Aezar tak percaya bahwa dirinya benar-benar sedang mengurus bayi besar. Apa Raras hanya mandi menggunakan gayung seumur hidupnya? Atau dia mandi dengan menceburkan diri ke sungai di hutan pedalaman? Sungguh, Aezar tidak bisa mempercayainya. Segala hal tentang Raras sama sekali tidak masuk akal dan bertentangan dengan logikanya. Dan bodohnya Aezar karena nyaris percaya dengan segala bualan dan cerita fiksi versi Raras. Meski begitu, Aezar tetap masuk ke kamar mandi dan mengajari Raras meski setengah hati. Ia memutar kran berwarna merah dan mengatur suhunya agar hangat. "Lo hanya perlu memutar ini, dan airnya akan keluar sendiri." Aezar menjauh dari shower dan membiarkan Raras mencobanya sendiri. "Sekarang, lo coba putar krannya." Raras mengangguk singkat. Dengan kepolosannya, ia memutar kran berwarna merah itu dan seketika air keluar dari shower dan membasahi kepala Raras yang berada tepat di bawahnya. Karena terkejut, Raras refleks menghambur ke sisi Aezar dengan panik. "Apa itu tadi? Kenapa ada hujan di dalam ruangan?" Aezar tertawa ngakak. Ia bahkan sampai memegangi perutnya kegelian. Ekspresi terkejut Raras benar-benar tampak sangat alami dan tampak bodoh. Mau tak mau, Aezar jadi memikirkan lagi tentang kemungkinan bahwa Raras memang berasal dari negeri antah berantah. Astaga, jika Raras ternyata hanya penipu ulung, maka Aezar akan bertepuk tangan atas kemampuan aktingnya. "Astaga, bukannya lo tadi nyari air? Tuh, airnya udah keluar." Aezar setengah menahan tawa saat menyingkirkan tangan Raras yang sedari tadi menggenggam lengan Aezar kuat-kuat. "Lo tinggal putar kran itu ke arah berlawanan kalau mau matiin airnya." Raras menganggukkan kepala dengan sopan. "Terima kasih karena telah membantuku, dan maaf karena tadi menyentuhmu." Aezar justru menyeringai. "Nggak apa-apa. Kita jadi impas sekarang. Benar, kan?" Setelah mengatakan itu, Aezar keluar dari kamar mandi dengan langkah ringan. Jika dipikir-pikir, tingkah Raras lama-lama terasa lucu juga. Di satu sisi, Raras akan terlihat seperti wanita anggun sekelas bangsawan, lalu ia bisa menjadi berani saat Aezar melewati batas yang Raras tetapkan. Dan kemudian, ia bisa bertingkah sangat manis, polos dan kekanakan seperti tadi. Mereka baru bertemu semalam. Tapi kenapa Aezar merasa jika ia sudah mengetahui semua hal tentang Raras seolah mereka adalah teman lama? Astaga, Aezar pasti sudah tidak waras gara-gara kelamaan jomblo. Dia harus segera berhenti, benar kan? *** Aezar sedang makan chicken steak saat Raras datang menggunakan kaus kebesaran milik Aezar. Tubuh mungil gadis itu seperti tenggelam dalam kaus raksasa. Rambut yang tadinya disanggul anggun, kini tergerai basah menyentuh punggungnya, sedikit acak-acakan karena tidak disisir. Aezar jadi bertanya-tanya, apakah ia perlu mengajari Raras bagaimana cara menyisir rambut yang baik dan benar? "Baunya enak sekali," kata Raras tiba-tiba, dengan mata yang memandang lekat pada piring Aezar. "Itu makanan jenis apa?" Steak ini Aezar pesan di restoran bawah selagi menunggu Raras selesai mandi. Aezar tadi memberikan jatah mie cupnya pada Raras, dan dia mendadak kelaparan. Karena tak mau repot, Aezar memesan makanan kesukaanya. Alih-alih daging wagyu kualitas terbaik, Aezar lebih suka dengan segala sesuatu yang diolah menggunakan daging ayam. Mungkin karena dulu, Bunda sering membuatkan ayam goreng untuk Aezar? Satu-satunya kenangan Aezar dengan Bunda adalah ketika mereka sedang berada di dapur. Dan sama seperti kebanyakan orang, Aezar memakan bagian kulitnya yang renyah terakhir. Aezar biasanya tidak pernah mau membagi makanannya, tetapi saat ini ia justru menawari Raras. "Lo mau?" Tanpa merasa segan, Raras mengangguk. Ia bahkan langsung mengambil tempat duduk tepat di depan Aezar dengan mata yang masih menatap lurus ke arah piring. Bukankah, Raras tampak seperti anjing yang seharian menunggu tuannya pulang untuk memberikan makan? Gadis itu sudah menghabiskan dua porsi mie, dan bisa-bisanya, dia masih tampak kelaparan. Aezar benar-benar tak habis pikir. "Oke, lo harus jawab pertanyaan gue dulu. Dan kalau jawaban lo memuaskan, lo boleh makan ini. Dan lo harus jawab sejujur-jujurnya karena gue bener-bener serius kali ini." Aezar menggeser piring itu ke samping kirinya, menjauh dari sisi Raras. "Gimana? Setuju?" "Setuju," balas Raras tegas. Bukankah, mereka berdua memang akan bicara? Hanya saja, Aezar merasa tidak tahan melihat rambut Raras yang berantakan. Ia kemudian berdiri. "Tunggu sebentar." Aezar tak menunggu jawaban Raras karena kakinya seperti bergerak sendiri menuju kamarnya untuk mengambil sisir. Aezar bahkan berpikir apakah ia perlu membeli bedak bayi untuk Raras. Gadis itu benar-benar... ah, sudahlah. Ketika Aezar kembali, Raras masih berada di posisinya. Punggungnya tegap dengan mata lekat memandang piring. Tanpa sadar sudut-sudut bibir Aezar berlekuk membentuk senyuman. Ia kemudian menaruh sisir itu ke depan Raras. "Sisir dulu rambut lo. Gue benci sama orang yang berantakan." Raras menerima sisir itu dan mulai menuruti perintah Aezar tanpa banyak bertanya. "Maaf, aku tadi tidak bisa menemukan benda ini di kamar." Aezar kembali duduk di depan Raras dan menatapnya lekat. Kini, Raras tampak terlihat lebih manusiawi. Setelah gadis itu selesai, Aezar memulai. "Oke. Pertanyaan pertama. Gimana cara lo bisa sampai ke penthouse gue?" Aezar memandang Raras lekat-lekat, seolah hendak menemukan jawaban dari ekspresi Raras. Wajah gadis itu tampak tenang seperti air danau saat menjawab, "Sebenarnya, aku sedang mencoba kabur dari istana karena sebuah masalah. Kemudian aku teringat tentang sebuah legenda yang mengatakan tentang keberadaan cermin ajaib yang bisa membuka portal antar dimensi. Aku memasuki hutan terlarang, dikejar-kejar api biru dan tiba di tempat ini." Mulut Aezar setengah terbuka tak percaya. Kemudian tawanya meledak. Bisa-bisanya, Raras mencoba mendongengi Aezar? Raras pasti bekerja sama dengan petugas yang bertanggung jawab atas CCTV di gedung ini untuk mengelabui Aezar. Rekaman itu, pasti sudah diedit untuk menyamarkan bukti. Haruskah, Aezar melakukan sesuatu yang ekstrem untuk membuat Raras bicara jujur? Seperti mengikat gadis itu di kursi dan memukulnya dengan ikat pinggang? Well, Aezar bukan sadistic gila. Setelah tawanya berhenti, Aezar memandang Raras dengan mata elangnya yang menyorot tajam dan dingin. "Lalu, lo bakal bilang kalau lo keluar dari lukisan wanita yang ada di ruang lukis gue?" Raras mengangguk mantap. Raras sudah memilih untuk meletakkan kepercayaan dan hidupnya kepada Aezar. Jadi, ia akan menjawab jujur. "Ya. Kamu tahu... wanita yang berada di dalam lukisan itu, terlihat sangat mirip denganku. Aku tidak tahu apakah ini adalah sebuah kebetulan atau semuanya saling terkait. Hanya saja, aku percaya bahwa ada sebuah alasan mengapa aku pada akhirnya berakhir di sini dan bertemu denganmu." Tiba-tiba tatapan Raras berubah lembut. "Aku juga bertanya-tanya, kenapa harus kamu dari jutaan penduduk bumi?" Aezar sejenak tertegun melihat ekspresi gadis itu, juga perkataannya yang terdengar meyakinkan. Tapi kemudian ia mendengus dan memutar bola mata. Dongeng macam apa lagi yang sedang coba Raras ceritakan kepadanya? Aezar sungguh tidak mengerti jalan pikiran Raras. Apa Aezar harus mengantar Raras ke dinas sosial? Atau langsung saja ke rumah sakit jiwa? "Gue bakal kasih kesempatan terakhir," kata Aezar tegas. "Kalau lo masih ngarang cerita dan bukannya jujur, gue bakal seret lo ke kantor polisi." Raras juga menatap Aezar tak kalah tegas. "Aku sudah meletakkan kepercayaanku di tanganmu. Sekarang, apa yang harus kulakukan agar kamu sepenuhnya percaya, Paduka Aezar?" "Buka portal antar dimensi yang lo maksud itu," kata Aezar akhirnya, menatap Raras lekat-lekat. "Jika berhasil, gue bakal percaya lo sepenuhnya." "Kalau pun bisa, bukankah seharusnya aku sudah kembali dan tidak menghabiskan waktu di sini?" balas Raras tegas. "Aku juga tidak suka berada di tempat asing terlalu lama." Aezar rupanya sudah kehilangan kesabaran dan berdiri. Ia memandang Raras dengan kekesalan yang tidak ditutup-tutupi. "Nikmati aja sisa malam ini. Karena besok, gue bakal balikin panah lo dan lo bisa pergi dari tempat gue selamanya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD