Selamat membaca!
"Viola enggak mau dijodohin, Ayah. Ini kan bukan jaman Siti Nurbaya, emang masih jaman apa dijodohin?"
"Kamu harus tetep menikah sama pilihan Ayah! Pokoknya, Ayah nggak mau tahu."
"Nggak, Ayah! Viola nggak mau dijodohin, titik!" Baru kali Viola sampai berucap dengan suara tinggi. Biasanya, dalam hal apa pun Viola selalu menuruti keinginan sang ayah. Hanya saja, tidak kali ini. Viola benar-benar tidak bisa. Menikah muda di usia 21 tahun tentu saja bukan rencana hidupnya. Impian untuk menjadi wanita karir setelah lulus kuliah seolah buyar. Bagaimana mungkin, mimpinya itu harus pupus dengan menjadi ibu rumah tangga di usia muda.
"Memang apa sih yang bikin kamu enggak mau? Udah kamu turuti saja kemauan Ayah kamu, Vi! Kamu coba kenalan dulu aja! Nanti kalau udah kenal kamu pasti nggak akan nolak." Dina–ibu Viola coba meyakinkan putrinya bahwa pilihan suaminya tidak mungkin salah. Lagi pula tidak ada satu pun orang tua di dunia ini yang sembarangan memilih jodoh untuk anak-anak mereka. Semua orang tua mau yang terbaik.
"Tapi, Bu–"
"Viola, tolong jangan ngebantah perintah Ayah!"
"Pokoknya Viola nggak mau!" Tanpa menunggu jawaban Bimo–ayahnya, Viola pergi begitu saja. Gadis itu langsung masuk kamar. Menutup dengan keras dan tak memedulikan panggilan ayah dan ibunya. Viola bahkan sampai menguncinya. Tak membiarkan orang tuanya masuk meski mereka sudah berulang kali meminta agar Viola mau menemui pria yang akan dijodohkan olehnya. Ya, pria itu dan keluarganya sudah tiba di rumah Viola dari beberapa menit lalu. Namun, Viola tetap tidak ingin menemuinya.
***
Dua minggu sejak kejadian itu, Viola memilih untuk tak bertanya pada orang tuanya perihal perjodohan yang sempat disampaikan sang ayah. Aksinya dengan mengurung diri di kamar selama satu Minggu sukses membuat orang tuanya tak lagi memaksa. Bahkan, baik Bimo dan Dina sama sekali tak membahas masalah perjodohan itu.
"Viola, kamu sudah bangun, 'kan?" Suara panggilan itu terdengar dari depan kamar Viola yang baru saja terjaga setelah sempat memimpikan cinta pertamanya. Ya, gadis itu punya kenangan manis di masa lalu. Cinta pertama pada sang dosen. Meski cintanya belum sempat terbalas. Namun, Viola merasa suatu saat nanti ada hari di mana ia pasti akan bertemu kembali dengan pria yang merupakan dosen di kampus lamanya. Itulah alasan kenapa Viola menolak keras perjodohan yang sempat diatur orang tuanya.
"Sudah, Bu. Kenapa?" tanya Viola saat melihat ibunya berdiri di ambang pintu kamar.
"Ayo cepat mandi, terus sarapan! Bukannya ini hari pertama kamu masuk kuliah di kampus baru kamu?"
Viola menepuk dahi. Ia benar-benar lupa bahwa hari ini sudah mulai masuk kampus.
"Oh iya, kok aku bisa lupa, ya?" Viola pun bergegas bangkit, lalu duduk di tepi ranjang sambil melipat selimut yang jatuh teronggok di lantai.
"Makanya, jangan kebanyakan begadang nonton drakor terus!"
"Iya, Bu, iya, habis seru, Bu." Viola hanya menanggapi dengan senyumnya yang lebar.
"Udah sana cepat mandi!"
"Ya udah, Viola mandi dulu."
"Jangan nyanyi-nyanyi di kamar mandi, nanti kalau lama, Ayah nggak mau nganterin kamu lho."
"Nasib-nasib, jadi anak Ayah. Selalu pindah-pindah. Makanya, aku sampai enggak punya teman. Please, Bu, kota ini terakhir, ya!"
"Ya, Ibu juga maunya gitu, Vi. Tapi, tergantung dari kantor Ayah kamu."
Begitulah kehidupan Viola. Gadis itu terpaksa harus pindah kuliah dari kota satu ke kota lain mengikuti ayahnya yang masih sering dipindahtugaskan oleh kantornya.
"Ya, semoga aja Ayah enggak dipindahkan lagi." Viola menghela napas kasar, lalu bangkit, dan mulai melangkah menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar. Kamar baru yang ukurannya tidak terlalu besar, tetapi cukup nyaman untuk Viola tempati. Sebuah rumah yang didapat ayahnya sebagai fasilitas kantor untuk mereka tempati selama bertugas di Jakarta.
***
"Kamu hati-hati ya, Vi. Pokoknya, harus bisa pilih-pilih teman, terutama laki-laki."
Begitulah nasihat Bimo setibanya di depan kampus. Pria paruh baya yang usianya sudah memasuki 42 tahun.
"Iya, Yah. Lagi pula aku juga enggak pintar bergaul, apalagi yang aku tahu anak-anak di kota ini kalau berteman suka ngelihat status keluarganya."
"Enggak semuanya kok. Nanti pasti kamu bisa dapat temen yang baik di sini, tapi saran Ayah sih kamu lebih baik fokus aja belajar. Kejar nilai biar kamu dapat IP yang tinggi apalagi kamu pindah sebenarnya tanggung banget karena kamu udah semester akhir. Ingat! Janji yang pernah kamu bilang ke Ayah saat kamu menolak perjodohan kemarin itu!"
Tentu saja Viola ingat akan hal itu. Janji yang ia ucapkan pada sang ayah saat mengurung diri di kamar. "Iya, Ayah, makasih Ayah enggak maksa Viola lagi. Pokoknya Ayah nggak usah khawatir, ya! Viola janji, Viola nggak akan ngecewain Ayah. Ya udah, Viola masuk dulu ya, Yah." Viola meraih dan mencium punggung tangan Bimo sebelum berlalu meninggalkan ayahnya yang kembali masuk ke mobil, lalu pergi dari pelataran kampus.
Setelah melepas kepergian Bimo, Viola pun masuk ke lobi. Langkahnya langsung tertuju pada sebuah lift di mana ia harus sudah tiba di lantai dua dengan cepat karena kelas pertamanya akan segera dimulai dalam beberapa menit. Beruntung, kemarin ayahnya sudah mengurus semua administrasi dan keperluan Viola untuk bisa kuliah di kampus barunya. Jadi hari ini, Viola bisa langsung mengikuti kelas pertamanya tanpa harus direpotkan dengan masalah administrasi dan hal lain yang memang paling enggan dilakukannya.
Setibanya di dalam ruang kelas, Viola mendapatkan kursi paling belakang di barisan tengah. Pandangannya langsung tertuju pada mahasiswa dan mahasiswi yang ada di kiri juga kanannya.
"Hai, lo baru pindah, ya? Kayanya ini pertama kalinya gue ngelihat lo." Seorang wanita yang kelihatan cantik dengan rambut pendek sebahu tampak menegurnya. Wanita itu terlihat baik dengan senyum ramah menyapa Viola.
"Iya, ini hari pertama gue masuk. Kenalin, nama gue, Viola. Lo siapa?"
Wanita yang duduk tepat di sampingnya itu mulai mengulurkan tangan, lalu keduanya pun saling berjabat tangan.
"Salam kenal juga ya, gue Karen Oktavia, panggil aja gue, Tari."
"Tari? Kok bisa dipanggil Tari." Viola merasa heran. Raut wajahnya tampak penuh tanda tanya saat menatap wanita yang baru mengurai jabatan tangannya.
"Iya, jadi Tari itu nama kecil gue."
"Oh gitu … berarti semua teman-teman di sini manggil lo Tari ya?"
Wanita itu diam sejenak. Lalu, tersenyum lebar sambil menggaruk kepalanya. "Ya enggak juga sih, kebanyakan malah tahunya Karen."
"Terus kenapa gue harus manggil lo, Tari?"
"Ya, biar akrab aja." Wanita yang ingin dipanggil Tari itu pun terkekeh singkat sebelum akhirnya ia kembali mengunci bibirnya untuk diam saat pintu ruangan terdengar dibuka.
"Ingat, ya! Kelas hari ini dosennya killer banget. Jangan sampai lo enggak dengerin dia ngomong, nanti lo bakal kena masalah. Pokoknya, mata lo tuh harus terus ngelihat dia, nggak boleh berpaling sedikit pun."
"Apa semenakutkan itu?" Penasaran dengan sosok dosen yang baru saja masuk ke ruangan itu, akhirnya Viola mulai mengarahkan pandangan matanya ke arah depan. "Pak Devan …." Sulit rasanya mengucapkan nama itu di tengah keterkejutannya saat ini. Kedua matanya tampak berkedip berulang kali sambil terus mengusap dengan jemarinya. "Ternyata benar, dia Pak Devan, cinta pertama gue. Ya Allah, akhirnya gue bisa ketemu lagi sama dia. Apa ini memang udah takdir?"
Viola terus memperhatikan Devan yang kelihatan masih sama dengan yang terakhir kali dilihatnya. Ingatannya seketika tertarik jauh ke belakang. Tepat saat itu, waktu Viola menyatakan cinta pada sang dosen tampan yang terkenal killer di kampus lamanya.
"Pak, saya suka sama Bapak."
Viola dengan berani mengatakannya. Gadis itu seolah tidak takut, padahal selama ini dosen yang kerap di bilang killer oleh teman-temannya itu memang sangat menyebalkan di mata semua mahasiswa dan mahasiswi di kampus. Siapa yang tidak tahu, Devan Alvaro. Pria blesteran Belanda itu benar-benar sangat dingin saat mengajar. Tak hanya di kelas, bahkan saat di luar pun, Devan terbilang tak bersahabat. Minim bicara dan seperti enggan membalas sapaan mereka. Namun, dari semua hal itu, Viola tak peduli. Cintanya sudah kadung besar untuk sang dosen. Tepatnya di saat Devan menolongnya dari perundungan saat gadis itu di-ospek oleh para senior. Sejak hari itu, rasa kagum dan cintanya terus tumbuh tanpa sedikit pun pudar.
"Kamu enggak boleh suka sama saya! Lupakan!"
"Tapi, Pak, saya serius." Viola kembali menghalangi jalan Devan yang hendak melewatinya.
"Saya juga serius!"
"Enggak, Bapak pasti bohong, kan? Orang Bapak sering ngelihatin saya kok pas ngajar di kelas. Pasti Bapak juga suka sama saya, kan? Bapak itu cuma gengsi, makanya enggak mau ngaku."
Devan tersenyum kecut. Baru kali ini dalam hidupnya bertemu dengan mahasiswi yang begitu kepedean, padahal Devan sering melihat Viola karena memang gadis itu kerap sekali bicara dengan teman di sampingnya saat pria itu mengajar.
"Minggir! Saya enggak punya waktu buat nanggepin cinta-cintaan kamu!" Devan pun melengos dengan cepat ke sisi kiri. Namun, secara sigap Viola berhasil berpindah ke sisi yang sama hingga langkah Devan kembali terhenti.
"Bapak enggak boleh pergi dulu! Bapak harus jujur sama saya. Pak, Bapak tenang aja, kita bisa backstreet dari semua orang. Saya enggak akan comel, kita bisa rahasiain hubungan kita."
Sejak tadi menahan kesal, Devan pun merasa tak sanggup. Pria itu terlihat menghela napas. Lalu, tanpa memedulikan Viola, Devan berpura-pura ke sisi lain, kemudian melangkah ke sisi sebaliknya mirip seperti pemainan galasin yang sering dimainkannya semasa kecil.
"Sial, dia bohongin gue." Keseimbangan Viola terganggu, gadis cantik itu jatuh ke samping. Menahan sakit karena benturan dengan lantai di bagian kakinya. Ingatan yang tak pernah sedikit pun Viola lupakan meski sudah berlalu tiga tahun lalu.
Bersambung ✍️