Selamat membaca!
Sepanjang mengajar di kelas, Devan masih tak menyadari keberadaan Viola. Pria itu sangat fokus dengan materi yang tengah dibawakannya dan itu sudah menjadi hal biasa bagi gadis yang sampai detik ini masih terus memandangi tanpa teralihkan. Wajah itu sejujurnya sangat ia rindukan. Sering datang ke dalam mimpi dan masih begitu jelas terlihat di sana.
"Vi, lo kenapa ngeliatin Pak Devan terus? Jangan bilang lo naksir ya sama dia," celetuk Tari sambil menyenggol siku Viola hingga gadis itu langsung menoleh ke arahnya.
"Gue emang udah naksir dia dari dulu."
"Maksudnya?" Raut wajah Tari tampak bingung. Masih dengan berbisik, ia bertanya pada Viola yang saat ini juga melihatnya.
"Jadi, gue itu udah kenal Pak Devan sejak dia ngajar di kampus lama gue yang dulu."
"Oh, begitu ...."
"Iya, terus ... entah kenapa dia pindah kampus gitu aja dan sejak itu juga gue udah nggak pernah lagi ngeliat dia."
Pikiran Viola seketika tertarik jauh ke belakang. Waktu di mana ia tanpa sengaja mendengar percakapan Devan di telepon.
"Kayanya gue udah nggak mau lagi deh ngobatin penyakit impoten gue, No. Gue udah capek ah! Lagian juga kayanya gue nggak bakal nikah kok."
Viola yang baru saja tiba di depan ruangan Devan seketika membeku. Diam tak bergerak. Mematung tanpa suara.
"Jadi, Pak Devan impoten ...." Viola berkata dalam hati. Ragu, apa niatnya bertemu Devan harus diteruskan atau pergi dan pura-pura tidak mendengar rahasia sang dosen.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba pundaknya ditepuk hingga gadis itu terperanjat dan bersuara keras sampai membuat Devan sadar bahwa ada orang lain di depan ruangannya.
"Vi, lo ngapain diem doang? Emang Pak Devan enggak ada di dalam?"
"Ah, enggak tahu gue. Gue mau ke kantin dulu, kayanya hp gue ketinggalan di sana deh."
Dengan gugup Viola pergi. Gadis itu memutuskan untuk tak menemui Devan seperti jadwal yang sudah ditentukan sang dosen. Viola memang sengaja datang lebih awal karena ingin berlama-lama bertemu Devan. Namun siapa sangka, gadis itu harus mendengar rahasia besar sang dosen. Siapa pun pasti tidak akan ada yang menyangka jika pria sesempurna Devan ternyata memiliki kekurangan. Ya, impoten atau bahasa kedokterannya disebut Disfungsi Ereksi.
Sambil terus bergegas pergi, Viola sesekali masih menoleh ke belakang. Terlihat Devan sudah keluar dari ruangan dengan sorot mata yang begitu tajam menatap ke arahnya.
"Vi, kok malah bengong sih?" tanya Tari memanggil.
Panggilan Tari membuyarkan lamunan Viola. Menyadarkan gadis itu dari ingatan masa lalunya. Viola pun kembali menoleh. Melihat Tari yang ada di sebelahnya tengah menatap heran.
"Nggak apa-apa. Gue cuma keingetan aja, apa mungkin Pak Devan pindah kampus itu gara-gara gue, ya?" Viola tampak berpikir. Raut wajahnya begitu serius. Kedua alisnya pun saling bertaut.
"Kok gara-gara lo, emang lo kenapa?"
"Gara-gara apa?" Devan tiba-tiba menggebrak meja cukup keras hingga membuat Tari langsung berdiri. Tanpa mereka sadari sang dosen ternyata sudah ada di dekat mereka dengan sorot mata yang tajam.
"Enggak ada apa-apa, Pak. Saya janji nggak akan ngobrol lagi di kelas." Setelah mengatakan itu, Tari langsung mengambil tas dan sebuah buku miliknya yang ada di atas meja.
"Eh, Tar, lo mau ke mana?"
Tari kembali menoleh. Melihat Viola yang masih duduk nyaman di kursinya seolah tak terintimidasi dengan keberadaan Devan yang baru saja membentaknya. "Keluar dari kelaslah, emang ke mana lagi, Vi, masa ke warteg. Udah ayo!" Dengan nada berbisik, Tari mengatakan itu sambil melirik Devan yang masih melihat wajahnya dengan sorot tajam.
"Lho, ngapain keluar?"
"Tahu ah." Tari pun kembali melangkah menuju pintu kelas dan keluar begitu saja tanpa menunggu jawaban Viola.
"Kamu kenapa masih di sini?" Suara lantang itu terdengar menakutkan hingga masih dapat didengar Tari yang baru saja keluar dari kelas. Namun, sejak tadi Viola masih menundukkan kepala hingga Devan tak bisa melihat wajahnya.
"Ya ampun, baru aja ketemu lagi, tapi gue malah buat masalah," batin Viola mulai menengadahkan kepala, melihat Devan dengan malu-malu.
"Hai, Pak, apa kabar?"
Kedua mata Devan membulat sempurna. Tentu saja ia sangat terkejut saat melihat Viola. Gadis yang menjadi alasannya pindah ke Jakarta dan meninggalkan Surabaya–kota kelahirannya.
"Kamu ...."
Viola tersenyum canggung saat melihat Devan. Memang tak ada yang berubah dari penampilan Viola selain hijab yang kini menutupi rambutnya. Namun meski begitu, Devan masih bisa mengenalinya.
"Kamu juga keluar dari ruangan saya! Cepat!"
Baru saja merasa senang, suara lantang Devan terdengar mengejutkan. Viola pun langsung bangkit dari posisi duduknya. Tanpa mengatakan apa-apa, gadis itu melangkah pergi menuju pintu ruangan di mana Tari tampak mengintip, melihat apa yang terjadi dengannya.
"Nah, kan udah gue bilang, sebelum diusir mending keluar aja." Tari menutup pintu yang sempat dibukanya sedikit, lalu berdiri di sebelah pintu dan bersandar pada dinding sambil menghela napas dengan kasar. Ini pertama kali baginya mendapatkan hukuman dari Devan, padahal selama ini, ia selalu bersikap baik karena tahu jika dosennya itu memang terkenal killer.
Sementara Viola masih terus berjalan sambil sesekali memandangi teman sekelas di ruangan itu yang tengah melihat rendah ke arahnya. Namun, Viola tampak cuek dengan pandangan mereka.
"Pak Devan nggak pernah berubah ya, dari dulu tetap aja killer, tapi nggak tahu kenapa, gue jadi makin cinta sama dia," batin Viola yang baru saja keluar dari ruangan.
"Gimana rasanya diomelin, Pak Devan?" Tari menanyakan itu saat Viola tiba tepat di sampingnya dan bersandar pada dinding ruangan sama sepertinya.
"Gue udah biasa ngeliat dia kaya gitu."
"Berarti lo juga tahu dong gimana caranya bisa dapat nilai bagus dari doi."
"Enggak tahu, gue cuma tahu gimana cara mengagumi, Pak Devan?"
"Dosen killer gitu lo kagumi. Mending Arya tuh anak kelas sebelah, udah ganteng, baik, tajir lagi."
"Arya?"
"Iya, yang rambutnya wangi itu. Semua cewek di kampus pasti tergila-gila sama dia. Kalaupun ada yang nggak suka, mungkin cuma orang yang nggak waras aja."
"Wangi? Itu rambut apa minyak wangi? Tapi tetap aja, mau sewangi atau setampan apa pun si Arya itu, gue nggak akan suka sama dia. Gue cuma suka sama Pak Devan aja."
"Ya, itu karena lo belum ketemu sama Arya, coba nanti kalau lo udah lihat tuh cowok, pasti naksir deh."
Di tengah perdebatan sengit keduanya, tiba-tiba pintu terbuka. Sosok Devan pun muncul dengan wajah yang penuh amarah.
"Kalian ini, udah dihukum, tapi masih aja berisik! Sekarang lebih baik kalian ke lapangan aja, di sana kalian bisa ngobrol sesuka hati tanpa mengganggu yang lain."
"Tapi, Pak, kan panas siang-siang begini?" Dengan raut cemberut, Tari coba menolak perintah Devan.
"Berani kamu bantah saya!" Suara Devan semakin lantang. Tak terelakkan lagi jika pria itu benar-benar geram dengan Tari dan juga Viola.
"Udah ayo, Tar! Percuma aja kita ngebantah perintah dosen killer ini, yang ada nanti kita dikasih nilai jelek sama dia. Benar kata Pak Devan, lebih baik kita ke lapangan, lagi pula gue punya cerita yang seru kok buat diceritain soal doi." Viola pun melangkah sambil menarik lengan Tari setelah melirik Devan yang tampak berang dengan jawaban itu.
"Cerita apaan tuh, Vi?" Tari terdengar bertanya saat mau tak mau harus mengikuti Viola yang memaksanya untuk pergi.
"Jangan-jangan dia mau cerita soal rahasia ….” Devan yang tiba-tiba takut, merasa harus bertindak sebelum dugaannya menjadi kenyataan.
Tanpa menunggu lama, Devan pun masuk ke dalam ruang kelas dan beberapa detik kemudian, pria itu kembali keluar dengan terburu-buru.
Bersambung✍️