Page 3

1055 Words
"Buku apa yang Anda cari?" tanya salah satu penjaga perpustakaan yang sudah tidak asing lagi dengan kehadiran seorang gadis berambut coklat muda di perpustakaan tersebut. Si gadis menoleh ke arah penjaga dan memberikan senyum paling manis yang ia punya. "Buku tentang bagaimana caranya mendapatkan seorang teman!" seru si gadis dengan mata bersinar-sinar. Si penjaga menatap si gadis dengan tatapan heran, ia tidak pernah berpikir jika ada seseorang yang membutuhkan panduan buku hanya untuk sekadar berteman. "Haha, Anda sungguh-sungguh? Aku tidak tahu jika ada buku seperti itu, tetapi jika Anda butuh buku yang bisa mengembangkan kemampuan sosial Anda, kami punya, raknya ada di ujung sana di dekat deretan Novel misteri," jawabnya ramah sembari menunjuk ke arah rak yang ada di bagian belakang sebelah kiri. Si gadis dengan bola mata berwarna hijau itu menatap ke arah yang ditunjuk. Ia mengangguk perlahan lalu membungkukkan badannya singkat. "Terima kasih bantuannya," salamnya seraya melambaikan tangan dan berjalan menuju rak yang ditunjuk pegawai. Langkahnya ringan, bibirnya bersenandung, ia begitu bersemangat untuk menemukan buku itu. Sudah lama ia mencoba mendapatkan teman dan selalu berujung gagal, dirinya tidak pandai beradaptasi, tidak juga mengerti tentang pakaian terlaris atau terbaru dunia. Pakaian yang ia pakai saat ini pun tergolong kuno dan tidak ada lagi yang memakainya. Si gadis tahun ini menginjak usia enam belas, satu tahun lagi masa sekolahnya akan berakhir. Perjalanan di sekolahnya tidak begitu buruk tetapi tidak baik juga, teman-teman kelas hanya mengajaknya bicara untuk membicarakan pelajaran atau sekadar mengingatkan piket. Si gadis selalu iri ketika melihat teman-teman lainnya pergi jalan-jalan setelah jam pulang sekolah atau saling berkunjung rumah. "Apa ini rak bukunya? Hm?" tanyanya pada diri sendiri dengan kening yang berkerut. Selain buku, ia temukan benda lain di sana, sebuah ponsel tahun-tahun belakangan. Ponsel berukuran kecil berwarna hitam itu menyala dengan banyak pesan pada layarnya. Si gadis mengambil ponsel tersebut bersamaan dengan bukunya, ia bermaksud untuk memberikan ponsel itu pada penjaga perpustakaan. "Pemiliknya pasti khawatir sekali, apa dia terlalu fokus baca buku hingga lupa menyimpan ponsel di sini?" batinnya dalam hati. Belum sempat disimpan, ponsel itu menyala lagi, kali ini karena ada panggilan. Si gadis diam tidak berani menjawab, tidak sopan menurutnya menjawab panggilan yang bukan ditujukan padanya, dan lagi bukan ponsel miliknya. Setelah hening beberapa saat, panggilan terulang lagi dan terus seperti itu hingga empat kali. Si gadis mulai bingung, ia tidak temukan si penjaga dan ponsel terus berdering. Banyak orang sudah menatapnya dengan tatapan sinis, dengan terpaksa ia memutuskan menjawab panggilan tersebut. "Ha ... halo?" "Halo! Akhirnya diangkat! Hai, uhm ... apa kau temukan ponselnya di rak buku?" Terdengar suara dari balik benda segi empat itu, suara ramah pria dengan nada lega. Tidak tahu kenapa si gadis juga merasa lega mendengarnya. "Iya benar, aku temukan ponselnya di dekat deretan buku. Aku ingin titipkan pada penjaga perpustakaan tadinya, tapi aku tidak temukan dia dan aku putuskan untuk menjawab panggilannya. Uhm, maaf," bisiknya agar tidak terdengar orang-orang di sekitar. Ia sudah cukup menimbulkan keributan bagi orang di sekitarnya. "Begitu? Tidak apa-apa, instingku mengatakan kau bisa dipercaya, hehe. Boleh aku minta tolong?" Si gadis menatapi sekitar, ia letakkan kembali buku yang tadinya ingin dipinjam sebelum melangkah keluar meninggalkan perpustakaan kesayangannya. Sinar matahari segera menyambut, membuatnya harus menyipitkan matanya yang tergolong kecil. "Tolong? Tolong apa? Kau mau aku antarkan ponsel ini?" tebaknya. Terdengar suara tawa dari arah sana, tawa renyah yang seolah terhibur karena tebakannya. "Tidak usah, tidak usah diantar. Aku yang akan ambil ponselnya, mungkin tidak hari ini, tidak juga besok. Jadi, aku ingin minta tolong simpan ponselku. Kalau nanti aku hubungi, jawab saja, jangan ragu. Begitu juga kalau ada yang kirim pesan padamu, untuk hal-hal penting sudah aku amankan." Suaranya terdengar tenang dan penuh percaya diri ketika menjelaskan pada si gadis, sementara si gadis hanya diam mendengarkan. Ia berpikir mungkin ini kesempatan untuknya punya teman baru. "Baiklah, akan aku simpan, jangan khawatir. Namaku Chairey, namamu siapa?" tanya Chairey dengan senyum mengembang. Jantungnya berdebar karena ia akan punya teman baru. "Namaku Rei, senang berkenalan denganmu Chairey. Chairey apa masih sekolah? Kau tinggal di mana?" "Tahun terakhir, enam bulan lagi aku lulus. Aku tinggal di rumah peninggalan orang tua angkatku, tidak jauh dari perpustakaan ini. Ah! Aku akan kirimkan lewat pesan alamat lengkap rumahku, aku kirim ke mana?" Langkah Chairey terhenti, ia menatap ke arah kanan dan kiri jalan bergantian. Menunggu untuk menyeberang jalan, mengingat perpustakaan tersebut berada di pinggir jalan utama dan harus menyeberangi jalan utama untuk kembali ke jalan menuju rumahnya. Suara tawa Rei terdengar lagi, Chairey merasa bingung dengan teman bicaranya ini, ia tidak merasa sedang mengajak Rei bercanda atau memberikan cerita lucu. "Kenapa tertawa?" selidik Chairey kebingungan. "Lucu! Chairey benar-benar lucu! Haha, jangan kirimkan alamatmu, bahaya. Apa kau akan berikan alamat rumahmu pada setiap orang asing yang baru kau kenal? Bagaimana kalau aku berniat jahat?" Kali ini, Chairey yang tertawa karena ucapan Rei. Chairey menyeberangi jalan santai dengan senyum ringan di wajah cantiknya. "Tidak begitu, tetapi Rei punya alasan untuk tahu alamat rumahku. Aku juga punya insting, Rei bukan orang jahat, lagi pula kalau Rei ingin berniat jahat pasti tidak akan memberitahuku hal ini dan tidak akan tertawa. Aku tahu Rei bukan orang jahat," ungkapnya perlahan. Tidak terdengar jawaban dari seberang sana hingga beberapa saat kemudian. "Rei?" panggil Chairey, memastikan jika mereka masih tersambung dalam telfon. "Oh! Maaf, tadi ada yang mengajakku bicara. Aku senang dianggap begitu, tetap, jangan kirim alamat rumahmu sampai kita bertemu secara langsung. Karena nama Chairey terlalu sulit, akan aku panggil Rey saja, setuju, 'kan? Omong-omong, kau di jalan? Bahaya bicara sambil berjalan, tutup ponselnya dan kabari aku kalau sudah di rumah. Kita bisa bicara lagi saat Rey sudah ada di rumah, baik?" "Baik! Sampai jumpa lagi Rey," putusnya sebelum menekan salah satu tombol yang ada di ponsel tersebut. Chairey segera menyimpan ponsel di dalam tas kecilnya, takut-takut jika ponsel itu sampai hilang. Kini matanya tertuju pada ragam ice cream yang disusun di balik etalase kaca kedai. "Chocolate mint, ukuran besar untuk dibawa pulang." "Baik!" Chairey suka makan ice cream, Chairey suka hujan dan suka baca buku. Banyak hal-hal kecil yang ia senangi dan membuatnya bahagia, ia tidak tahu tentang orang tua kandungnya, ia juga tidak tahu bagaimana masa lalunya. Namun, sedikit juga pikiran itu tidak pernah mengganggunya. Chairey merasa hidupnya lengkap, ia hanya butuh teman dan semuanya akan sempurna. Tanpa Chairey sadar, jika kehidupan sederhananya itu akan segera ia tinggalkan karena keputusan yang ia buat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD