Page 2

1014 Words
Gadis kecil berwajah bulat dan bermata jernih itu masih betah menatapi laki-laki asing di hadapannya. Sejak bangun tidur, orang tuanya berkata jika anak laki-laki ini akan jadi kakak barunya. Gadis kecil tidak pernah merasa punya saudara, tidak juga pernah ingat bertemu dan dikunjungi. Sementara, si anak lelaki yang diperhatikan hanya menundukkan kepala malu-malu. Ayah gadis kecil bilang, kakak laki-laki barunya ini tidak ingat apa-apa karena rasa sedih akibat kehilangan orang tua. Gadis kecil juga merasa iba sekaligus penasaran pada kakak barunya. "Tak ... " panggil gadis kecil dengan tidak sempurna, usianya yang masih tiga tahun membuat gadis kecil belum bisa bicara dengan lancar. Namun, Zen paham jika ia sedang dipanggil saat ini. Wajah Zen sedikit bersinar ketika mendengar suara lembut yang memanggil, pelan ia arahkan tangannya ke arah jari-jari kecil yang mengarah padanya. Jari-jari kecil itu menggenggam tangan Zen erat sebelum Zen goyang-goyangkan sembari tertawa. "Mia, Mia, hehe. Mia cantik sekali, sekarang kita sama-sama ya," ucap Zen pada gadis kecil, tidak peduli Mia bisa mengerti atau tidak ucapannya karena saat ini Zen tidak punya siapa-siapa, dan sekarang ia merasa lega karena kembali memiliki keluarga yang bisa ia andalkan. Zen tidak pernah berharap paman dan bibinya menganggapnya sebagai putra, ia sangat berterima kasih karena sudah diizinkan tinggal bersama mereka. Zen tidak begitu menyukai Jeffrey, sosoknya asing dan terasa menyeramkan. Karenanya, Zen begitu senang ketika Jeffrey berkata akan menitipkannya di rumah keluarga jauh Zen yang belum pernah ia kunjungi. Buruknya, hari damai untuk Zen tidak berlangsung lama, mungkin tepatnya hanya bisa ia nikmati selama tiga bulan saja. Dari pagi hari, Zen merasa tidak bersemangat untuk bermain di luar bersama Mia ataupun membaca buku dongeng kesayangannya. Zen pikir ia sakit, tetapi ia tidak merasa tubuhnya panas dan nafsu makannya baik-baik saja. Pada malam harinya, Zen tidak bisa tidur, padahal saat ini sudah lewat dari jam tidur yang ditetapkan. Zen takut, jika bibinya tahu ia pasti akan dimarahi. Rasa cemas dan terlalu banyak minum air putih sebelum naik ke tempat tidur membuatnya ingin ke kamar mandi, perlahan ia langkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur setelah melewati lorong gelap rumah dan kamar tidur utama. Zen berusaha sepelan mungkin agar bibi dan pamannya tidak terbangun dan tidak tahu jika ia masih belum tidur juga, sampai Zen tidak sengaja mendengar percakapan di balik kamar tidur utama. "Dia baru tiga bulan tinggal di sini, apa kau tidak terburu-buru? Aku khawatir Jeffrey akan datang dan menanyakan kabar anak ini." "Terburu-buru bagaimana? Kau dan aku tahu kita sama-sama butuh uang, Jeffrey juga bilang kalau terjadi apa-apa dengan anak ini dia tidak akan menyalahkan kita, sebaliknya dia akan berikan kita uang sebagai jasa terima kasih. Kita harus bayar hutang judi sialmu itu! Dan aku juga sudah muak terus berhemat dan menjaga anak yang tidak ada kaitannya denganku." "Baiklah, baiklah. Lalu kau mau bagaimana?" "Kita buat saja semuanya jadi kecelakaan, kabari Jeffrey dan minta uang pengobatan. Uangnya kita pakai untuk bayar hutang, kalau hanya luka-luka memar tidak perlu dibawa ke dokter. Kalau pun nantinya anak itu mati ... " Krak- Zen segera menutup mulutnya ketika ia tidak sengaja menginjak barang yang tidak tahu apa dan bagaimana ada di lantai. Zen melangkah perlahan ke arah belakang, pikirannya berkecamuk dengan detak jantungnya yang berdebar kencang. Meski usianya baru enam tahun, Zen tergolong anak yang cerdas. Ia sudah lancar membaca dan menulis, ia tidak ingat bagaimana orang tuanya mengajarkannya tetapi kemampuan yang ada tidak menghilang begitu saja. Zen mengerti situasi ia berada, bahaya singkatnya. Sejak awal Zen sudah tahu jika bibi dan pamannya tidak suka dengan kehadirannya, ia juga tahu jika bibinya ingin Zen cepat-cepat pergi dari sana. Namun, Zen selalu berpikir untuk giat belajar agar kelak ia bisa membuat paman dan bibi yang mengasuhnya bangga. Zen juga bercita-cita membelikan mereka rumah yang bagus, sayang, pikiran mulianya tidak pernah terwujud. "Kau ... kau dengar apa yang kami bicarakan tadi?" tanya si paman yang buru-buru mendekati Zen. Matanya melotot seolah ketahuan habis melakukan tindak kriminal, wajahnya tampak cemas dan mulai berkeringat. "Biar saja dengar, anak kecil tahu apa? Memangnya dia mengerti kita bicara apa? Kurung saja dia di kamarnya sekarang, kenapa cemas? Lawanmu itu anak usia enam tahun, bukan enam belas tahun. Bagaimana bisa aku punya suami bodoh sepertimu?" ejek si istri sembari berpangku d**a, ia melirik Zen dengan tatapan yang masih sama, penuh rasa benci. "Zen ... Zen tidak lakukan hal buruk, tidak nakal ... selalu jaga Mia ... kenapa?" lirih Zen kecil dengan suaranya yang hampir tidak terdengar, air mata sudah menumpuk di kelopak mata, tinggal menunggu waktu untuk segera tumpah. Tubuhnya gemetar, detak jantung masih tidak karuan, Zen masih tidak mengerti kenapa bibi dan pamannya berbicara seperti itu. "Berisik! Kau itu parasit! Parasit itu harus dibuang, kau paham? Harus dibuang!" bentak wanita paruh baya dengan rambut merah menyalanya yang terlihat berantakan. Zen tersentak karena teriakan bibinya, air mata yang harusnya jatuh tertahan, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin segera keluar. Sesuatu yang membuat telinganya berdengung dan pikirannya kacau, Zen tidak pernah merasa seperti ini, tetapi sekilas ia mendengar suara laki-laki tepat di telinganya. "Dengar Junior, kalau kau dalam bahaya, pilihannya hanya dua. Diburu atau memburu, kau itu putraku, jadi aku tidak akan senang kalau kau lemah." Zen spontan memegangi kepalanya yang terasa begitu sakit, ia berteriak keras dan semuanya menggelap. "Arzen, Arzen? Ayo bangun, makan malam sebentar lagi." Zen terkesiap, kali ini suara wanita yang membuatnya sadar. Zen kecil tidak mengerti apa yang terjadi, apa ia tertidur atau ia sudah berpindah ke surga pikirnya. Perlahan Zen mengedarkan pandangannya, ruangan sepi, dinding dengan cipratan noda darah dan lantai yang dibanjiri darah. Di ujung kaki Zen, tergeletak paman dan bibinya dengan mata terbuka. Salah satunya tampak memegangi pisau dan satu lainnya menggenggam ponsel. Zen mematung mendapati pemandangan tersebut, bau anyir darah dan raut wajah mengerikan membuat napas Zen tercekat. Perlahan terasa sebuah genggaman pelan di ujung pakaian Zen, Mia berdiri di sebelahnya, menatap Zen dengan tatapan polos tanpa tahu apa-apa. Zen masih berdiri dengan kedua kakinya meski sudah menahan gemetar sejak tadi, segera ia raih tubuh mungil itu untuk ia peluk dengan erat, benar-benar erat. Kini yang bisa ia lakukan hanya memeluk Mia dan menangis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD