Bagian 9

1127 Words
Kift menatap kedua sahabatnya sejenak, lalu menghela napas ringan. Ia meletakkan gelasnya di meja, menyandarkan punggung ke kursi, dan berbicara dengan nada tenang, tetapi penuh keyakinan. “Perempuan itu ternyata istri dari karyawanku, Pras. Aku baru tahu setelah cari informasi tentang dia,” kata Kift sambil tersenyum kecil, tampak santai meski perasaan di dalamnya sedikit lebih dalam dari yang terlihat. Artur dan Allexe menatapnya, agak terkejut. Allexe yang biasanya serius mulai merubah ekspresi wajahnya, seakan mencoba memahami situasi ini. “Pras? Karyawan teknisi di perusahaanmu?” tanya Allexe, heran. Kift mengangguk pelan. “Iya, dia. Aku nggak tahu soal Nana sebelumnya, sampai akhirnya aku mulai mencari informasi tentang dia. Ternyata, dia istri Pras.” Artur mengangkat alis, menatap sahabatnya dengan tatapan mencurigakan. “Jadi, kamu tertarik sama istri karyawannya sendiri? Wah, ini makin seru!” Kift mengangkat bahu, tetap dengan sikap santai. “Kalau aku tertarik, ya, aku pasti kejar. Tapi ini bukan masalah besar. Kalau sudah suka, nggak ada yang bisa menghalangi. Aku santai aja, Artur, tapi pasti akan jadi milikku.” Allexe menyimak Kift dengan seksama. “Kamu yakin nggak bakal jadi masalah, Kift? Kamu tahu, itu bisa berisiko buat hubungan kerja.” Kift tersenyum tipis. “Aku tahu risiko, Allexe. Tapi kalau sudah keinginan, nggak ada yang bisa menghalangi. Dia cuma masalah waktu aja.” Artur tertawa, sedikit terkejut dengan ketegasan Kift. “Tunggu, tunggu… Jadi, kamu benar-benar yakin bakal dapetin dia?” Kift hanya mengangguk santai. “Tentunya. Aku cerdas, Artur. Kalau aku sudah targetkan, pasti akan jadi milik aku. Tapi semuanya tetap berjalan dengan cara aku.” Allexe memandang Kift dengan ekspresi serius. “Kamu benar-benar yakin nggak akan merusak pekerjaan atau citra kamu, kan?” Kift menatap Allexe, lalu tersenyum lebih lebar. “Tenang aja, Allexe. Semua tetap profesional, kok. Aku tahu apa yang harus dilakukan.” Artur, yang mulai tertarik dengan percakapan ini, menatap Kift dengan senyum nakal. “Ya sudah, kalau kamu yakin, kita dukung aja. Tapi kalau ada masalah, jangan bilang kita nggak kasih peringatan.” Kift hanya mengangguk ringan, tanpa terlihat ragu. “Aku tahu batasnya, Artur. Aku nggak khawatir.” Mereka semua melanjutkan makan dengan suasana yang sedikit lebih santai, meskipun Kift masih merasa perasaan itu menggantung di pikirannya, tapi dia tahu betul apa yang ia inginkan. *** Setelah makan, suasana di meja menjadi lebih santai. Kift, Allexe, dan Artur kembali melanjutkan percakapan mereka tentang bisnis sambil menikmati sisa makanan mereka. Kift mengangkat gelasnya, menyegarkan diri dengan tegukan terakhir. “Oke, kita lanjut ke topik tadi. Aku ingin pastikan bahwa ekspor ke China dan India bisa berjalan lancar. Jika kita berhasil mendapatkan koneksi langsung ke pembeli besar, kita bisa memperluas jaringan lebih jauh.” Allexe langsung membuka tablet dan memeriksa dokumen-dokumen yang ada. “Aku akan hubungi beberapa kenalan di China dan India. Aku yakin ada peluang besar di sana.” Artur mengangguk sambil menyesap minumannya. “Aku bisa bantu untuk mulai mencari distributor yang bisa bantu jalur ekspor langsung ke sana. Singapura masih jadi pilihan, kan?” Kift mengangguk, memikirkan langkah selanjutnya. “Ya, kita manfaatkan itu dulu. Tapi jangan lupa, masalah regulasi masih bisa jadi hambatan. Aku ingin pastikan kita aman di setiap langkah.” Allexe mengetik di tablet, mencatat dengan teliti. “Aku akan segera koordinasi dengan pihak yang lebih mengerti soal itu. Kita perlu mempersiapkan segala kemungkinan.” Percakapan mereka berlangsung serius, dengan setiap langkah yang dipikirkan matang-matang. Mereka sudah terbiasa bekerja dengan presisi dan disiplin tinggi, jadi meskipun ada sedikit obrolan ringan, semuanya tetap fokus pada tujuan. Setelah beberapa jam, meeting akhirnya selesai dengan kesepakatan yang cukup solid. Kift, Allexe, dan Artur saling berjabat tangan, menyelesaikan pembicaraan mereka dengan rasa puas. “Baik, kalau begitu, kita lanjutkan rencana ini. Aku akan menunggu laporan perkembangan dari kalian berdua,” kata Kift sambil berdiri dan merapikan jasnya. Allexe dan Artur ikut berdiri, mempersiapkan diri untuk kembali ke aktivitas mereka. “Tentu, kita akan mulai langkah-langkah yang sudah dibicarakan. Semoga bisa segera terealisasi,” ujar Allexe. Artur tersenyum, menepuk bahu Kift. “Jangan lupa, Kift, urusan pribadi juga harus dipikirin. Kalau kamu butuh saran soal itu, jangan ragu nanya.” Kift tersenyum kecil, mengangguk. “Aku tahu, Artur. Semua ada waktunya.” Setelah beberapa kali bertukar kata, mereka pun akhirnya berpisah, keluar dari restoran dengan perasaan puas atas jalannya meeting. Kift berjalan keluar dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih tertuju pada sosok Nana. Perasaan penasaran dan ketertarikannya semakin tumbuh, tapi ia tetap tenang, tahu betul bahwa apapun yang ia inginkan, akan ia raih dengan caranya sendiri. *** Setelah selesai dengan meeting, Kift melangkah keluar dari restoran dan melihat jam tangannya. Ternyata, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia terkejut, merasa seperti baru beberapa saat yang lalu selesai makan. Sekelilingnya mulai sepi, dengan sebagian toko-toko di dalam mall sudah tutup. Hanya beberapa pengunjung yang masih terlihat berjalan santai, sebagian besar menuju pintu keluar. Kift menatap ke sekitar, pikirannya melayang pada Nana. Ia teringat kalau tadi Nana mengatakan akan menonton film, tapi ia tidak sempat menanyakan di bioskop mana. Mall ini memiliki dua bioskop, dan entah kenapa, ia merasa sedikit penasaran apakah Nana sudah selesai menonton filmnya. Tapi, ia juga sadar, mungkin itu bukan waktu yang tepat untuk mencari tahu. Lagipula, ia yakin mereka pasti akan bertemu lagi nanti. Mungkin lain waktu, di kesempatan yang lebih baik. Ia menghela napas dan melangkah keluar dari mall, perutnya yang tadinya kenyang kini mulai terasa lapar lagi setelah beberapa jam. “Aduh, lapar lagi,” gumamnya. Tanpa pikir panjang, Kift memutuskan untuk mampir ke tempat langganannya, sebuah warung sate yang sudah ia kenal sejak lama. Tempat itu sederhana, tapi rasanya selalu memuaskan. Setelah membeli sate, ia melanjutkan perjalanannya pulang. Kift meletakkan makanannya di meja makan, menyandarkan tubuhnya sejenak di kursi. Lampu apartemennya yang redup menciptakan suasana tenang di ruang makan. Hanya cahaya dari jendela besar di balkon yang menyisakan sedikit terang, memantulkan lampu-lampu dari rumah-rumah di sekitarnya. Pemandangan sekitar terlihat damai, dengan lampu-lampu jalanan yang menyinari malam yang mulai larut. Ia duduk beberapa saat, hanya merenung, menikmati pemandangan yang jauh lebih tenang dibandingkan dengan obrolan serius yang baru saja ia lakukan. Pikiran tentang Nana masih berputar di kepalanya. Ia tak bisa menghindar dari rasa penasaran yang mulai tumbuh, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu terbawa. “Bakal seperti apa ya kalau aku bertemu lagi dengannya?” gumam Kift pada dirinya sendiri, seolah mempertanyakan apa yang akan terjadi jika mereka bertemu lagi dalam situasi yang berbeda. Suasana di apartemen terasa hening, hanya suara detak jam dinding yang mengisi keheningan malam itu. Kift menatap keluar, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan dari pemandangan yang menyelimutinya. Namun, pikirannya tetap terpusat pada satu hal—Nana. kift bangkit ia menutup balkon dengan kain korden setelah itu menyalakan lampu. setelah terang ia melepas kemejanya sambil berlalu ke kamar mandi untuk menyiram badannya dengan air dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD