Nana mengetuk pintu apartemen bernomor 657. Ia menundukkan pandangannya sambil memeluk berkas di d**a. Ia menghirup udara dalam-dalam. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki jangkung berbadan tegap. Lelaki itu baru saja mandi, hanya mengenakan handuk putih yang melilit di pinggang, sementara handuk kecil di tangannya digunakan untuk mengusap rambutnya.
“Masuklah,” katanya sambil tersenyum. Tak ada raut wajah yang menunjukkan niat buruk.
Nana menggeleng dan menyerahkan berkas yang dipegangnya. Namun, bos suaminya itu tidak menerimanya. Ia hanya melirik sekilas.
“Sopankah kamu memberikan berkas seperti itu? Aku menyuruhmu masuk, menungguku berpakaian, lalu aku akan menerimanya,” ujarnya lagi.
Nana mau tak mau melangkah masuk, membuat pria itu tersenyum. Dengan ragu, ia menuju kursi untuk duduk. Namun, sebelum sampai, ia sudah ditarik ke dalam pelukan bos suaminya.
“Akhirnya, yang kutunggu,” katanya sambil membuang handuk kecil di tangannya. Jari-jari besarnya mengusap pipi Nana dari belakang.
“Please, saya cuma mau membantu suami saya,” ucap Nana dengan suara bergetar.
“Ayolah, suamimu tidak akan tahu. Buat apa bersama pria berbadan kecil? Apa kamu puas selama ini, hm?” katanya dengan nada menyombong.
Nana meronta dan berbalik. Matanya menyiratkan kemarahan, tetapi tiba-tiba saja padam ketika ia menatap mata bosnya yang begitu memesona. Bila diperhatikan, senyumnya ramah, matanya bersih berwarna cokelat, hidungnya mancung, dan rambutnya adalah tipe yang Nana sukai.
Bosnya mengangkat tangan dan mengedikkan bahu.
“Sa-saya permisi…” Nana bergegas melewatinya. Namun, lelaki itu justru menangkap pinggangnya.