Mr. Sulaiman semakin mendekat, keringat dingin mulai mengalir keluar dari pori-pori kami.
"Jacob! Kau gila?! Mundur woy!!" Seru Tito panik.
"s**l kau, Jacob!" Geram Kevin, kesal.
"Bagaimana, ini?!" Tanyaku panik sambil melirik-lirik posisi Mr Sulaiman.
Tito diam, terlihat ia sedang berpikir keras. “Kembali seperti semula!" Ucapnya.
"Apa?" Daniel melongo.
"Jangan tutupi aku lagi! Cepat! Aku pasti ketauan. Kalian juga akan kena getahnya nanti!" Lanjut Tito cepat.
"Tapi To.."
"Tidak apa Han. Nanti kau jadi kena masalah juga. Sayang namamu masih bersih-bersih jadi ikut kotor." Tito memotong ucapanku dengan terburu-buru.
Apa yang Tito ucapkan memang benar. Selama ini aku adalah murid teladan dengan nama bersih dan disenangi guru-guru. Sedangkan ia adalah murid dengan lebel nakal dan selalu terkena masalah. Orang tuaku juga pasti akan kecewa dan malu jika sampai dipanggil ke sekolah karena anak mereka berbuat nakal.
Jika aku menjadi Tito, tentu aku tidak mau melibatkan temanku sendiri ke dalam masalah yang disebabkan oleh kelalaianku sendiri. Tapi aku sungguh tidak tega membiarkannya tertangkap tanpa mencoba melindunginya sebisaku.
"Kau serius, To?" Tanya Daniel lemas.
Tito mengangguk cepat "Buruan!" Serunya dengan berbisik, "Kau juga Han!" Tambahnya lagi saat melihatku masih enggan bergeser kembali.
"Ti.."
"Sudah Han, kembali!" Daniel memotong ucapanku dan mendorongku pelan kembali ke tempat semula di detik terakhir.
"Tito! Kau sedang apa?!" Seru Mr. Sulaiman dan langsung mengagetkan kami yang sudah rapih di tempat masing-masing.
"Aduh, Pak! Saya sakit perut pak, sampai kaki saya lemas kalau berdiri." Tito bersandirwara sambil memegangi perutnya.
"Kalau begitu kenapa tidak ke UKS saja?" Tanya Mr. Sulaiman sambil memegang lengan Tito dan menariknya berdiri.
"Sakitnya baru muncul barusan, Pak. Tadi belum sakit.." Jawabnya sambil meringis.
"Loh! Kenapa kau tidak pakai topi?!"
"I.. itu Pak. Belum kering, kemarin tidak sengaja dicuci oleh ibu saya, Pak.."
"Wah.. Alasan saja kau! Oh.. jangan-jangan kau ini bukannya sakit perut, ya? Kau berjongkok begitu, karena mau bersembunyi dari saya, kan?!"
"Ah! Ya tidak lah, Pak! Perut saya sungguhan sakit nih! Aduh!" Tito berpura-pura kesakitan.
"Kau ikut saya ke ruang guru sekarang! Kau ini, ya.. Sudah banyak masalah! Kita ambil dulu tasmu di kelas." Mr. Sulaiman menggeleng-gelengkan kepalanya. Sedangkan Tito terlihat semakin pucat.
"Ta.. tapi pak, tas saya tidak ada di kelas."
"Lantas dimana?!"
Tito berjalan pelan ke arah koridor yang kami punggungi. Ternyata ia menyembunyikan tasnya di belakang antara tiang tembok dan tempat sampah. rasanya ingin sekali aku menengok ke belakang, namun terlalu takut untuk melakukannya. Kami tidak berdaya, hanya bisa mendengarkan percakapan antara Tito dan Mr. Sulaiman.
"Benar-benar kau, Tito! Sekarang kau ikut saya ke kantor!" seru Mr. Sulaiman kesal, lalu terdengar suara langkah kaki mereka yang semakin mejauh.
Upacara bendera hari ini terasa sangat lama dan berat. Hati dan pikiran kami tidak tenang membayangkan bagaimana nasib Tito di ruang guru.
Sebelumnya Tito sudah mendapat SP3 (Surat Peringatan), tandanya satu kali lagi ia melakukan kenakalan, maka ia akan mendapatkan hukuman skors. Lebih parahnya lagi, itu akan menjadi sebab kemungkinan besar ia bisa tinggal kelas.
***
"Bagaimana, ya nasib si Tito?" Gumam Kevin lesu.
"Pasti dihabisi sama guru-guru, lah! Apa lagi dia ditangkap oleh Mr. Sulaiman!" Decak Marcel.
"Semua gara-gara si anak baru s**l itu! Aku tidak tau, apa sih isi kepalanya? Batu?!" tambah Daniel geram sambil menatap Jacob yang duduk manis di kursinya.
Kami berkumpul di meja Tito dengan wajah khawatir, dan teman-teman lainnya sibuk mengutuk-ngutuk Jacob atas sikapnya. Sekarang, seluruh murid kelas sudah mengetahui kejadian ini melalui Marcel yang bermulut besar.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka dan Tito ada di baliknya dengan wajah pucat dan rahang yang mengeras karena marah.
"Tito!" Seru kami serentak lalu segera menghampirinya.
"Bagaimana, To? Mereka ngomong apa?" Tanyaku cepat.
"Kau tidak apa-apa kan, bro?" Tanya Kevin.
Tito tidak menanggapi satu pun pertanyaan dari kami. Melainkan berjalan melewati kami semua, melempar ranselnya asal, lalu menghampiri Jacob dan langsung menarik kerah anak itu dengan kasar hingga ia terangkat berdiri.
Jacob menatap kedua mata Tito dengan tajam. Tito pun jadi merasa ditantang hingga amarahnya semakin meluap.
"Apa?! Kau mau menantangku?!" Geram Tito, namun Jacob hanya diam.
Kami mengerumuni mereka berdua dalam bentuk lingkaran. Bedanya, kali ini tidak ada satu pun anak laki-laki yang berusaha menghentikan Tito lagi. Aku tau mereka berpikir Jacob pantas mendapatkan ganjarannya kali ini.
"Jawab!" Seru Tito sambil menghentakkan kerah Jacob ke belakang hingga tubuhnya terbentur meja dengan keras. Meski begitu, Jacob tetap diam.
"Dengar ya, baj*ngan! Kau akan menyesal atas kelakuanmu selama ini! Aku pasikan kau akan sangat menyesal!" Tambah Tito lagi, lalu melempar Jacob hingga ia terjatuh membentur meja dan kursi hingga mendarat keras di atas lantai.
Semuanya menahan nafas, termasuk aku. Tito tidak pernah bertindak seperti ini di dalam kelas. Kami semua saling menyayangi dan menghormati, seperti saudara.
Tito memang sering kali berkelahi. Namun ia tidak pernah menunjukkannya pada kami, terutama kepada para anak-anak perempuan. Biasanya, ia berkelahi di luar sekolah. Namun kali ini, Jacob sepertinya benar-benar telah keluar terlalu jauh dari batas kesabaran Tito.
Rasanya ingin sekali aku membantu Jacob berdiri, tapi jika aku melakukannya.. sepertinya akan menjadi masalah bagiku.
Jacob bangkit berdiri dengan wajah datar, merapihkan meja dan kursinya yang berantakan, lalu kembali duduk. Bagai tidak merasakan apa pun, bagai tidak pernah terjadi apa pun.
Tito berjalan cepat ke mejanya sedangkan kami semua mengekorinya.
"Sabar To.." Kataku pelan padanya.
Tito menatapku dengan tajam dengan kedua mata merahnya. Aku menelan ludah karna merasa ngeri setelah menyaksikan sisi lain seorang Tito yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ia benar-benar menyeramkan ketika marah.
Mungkin kali ini Tito akan mencekikku dan melemparku keluar jendela. Sekarang aku menyesali sikap sok baikku yang berusaha menghiburnya.
Tito menghela nafas pelan, terlihat otot-otot wajah dan rahangnya kembali normal. Begitu pula denganku.
Tito tersenyum tipis, meski seperti dipaksakan "Thanks ya, Han.." Ucapnya.
Bagai angin sejuk yang membuai keningku, aku tersenyum padanya dan mengangguk.
"Aku harus pergi sekarang." Tito bangkit berdiri dari tempat duduknya lalu mengenakan ransel yang tadi sudah diambilkan oleh Kevin.
"Kau.. mau kemana, bro?" Tanya Reno mengambang.
"Aku diskors selama tiga minggu." Jawab Tito singkat.
Kami hanya diam sambil mengangguk pelan dengan wajah sedih. Kami tidak kaget lagi jika akhirnya Tito mendapat hukuman skors.
Tito melangkah pergi menuju pintu kelas dan berpapasan dengan Ms Reni yang hendak masuk ke dalam kelas.
"Kau masih di sini?" Tanya Ms Reni.
"Kau masih berani mampir ke kelas dulu? Murid semacam dirimu memang tidak punya malu. Yah, bagus untuk saya dan murid kelas ini kalau kau tidak ada selama tiga minggu ini. Tidak ada pengacau." Tambah wanita mengesalkan itu.
"Mungkin menurut Miss, saya sampah di sekolah ini. Tapi Miss tidak tau, kalau Miss itu sampah paling busuk di hati murid-murid sekolah ini." Jawab Tito ketus, langsung melangkah pergi meninggalkan Ms Reni yang berwajah terkejut dan air mata yang sudah menggenangi kedua matanya.
Aku tidak perduli jika dianggap murid tidak tau diri atau sebagainy. Tapi menurutku kata-kata Tito itu benar dan Ms Reni pantas mendapatkannya.