4

1096 Words
ABBY POV “Damian menitip salam untukmu,” bisik Dave pagi itu ketika aku tengah membantu Mama di dapur. “Kakak! Jangan menggodaku!” protesku dengan wajah memerah. “Aku tidak menggodamu, dia bilang sendiri padaku!” Aku melotot, lebih karena malu daripada karena marah. Setelah apa yang dibisikkan pria tampan itu kemarin, aku merasa takut. Takut jika Damian ternyata berniat mendekatiku. Oke, mungkin aku terlalu percaya diri bahwa pria seperti Damian akan menyukaiaku, tetapi tetap saja rasanya aneh ketika pria itu berkata bahwa kini aku memilikinya. Apa maksudnya itu? Mereka bukan siapa-siapa yang bahkan baru berkenalan kemarin. “Tidak usah bergosip!” “Dia…” “Maaa!!” kuputuskan untuk meminta pertolongan dari Mama. Aku tidak akan sanggup jika Dave menggodanya lagi. “David Orlando Cromwell!! Tempatmu bukan di dapur!! Keluar sanaa,” ucap Mama galak. Dave tertawa dan mengacak rambutku pelan. Namun suasana dapur yang tenang itu tidak berlangsung lama karena muncul lagi pengganggu lain yang memasuki dapur. “Absss!!” Diva muncul dan memeluk bahuku erat. “Damian menyukaimu!” Itu jelas bukan pertanyaan, dan tentu saja aku tidak tahu harus mengatakan apa. Mama berhenti dari kesibukannya memotong daging dan menatapku dengan mata berbinar. “Benarkah itu, Sayang??” Diva mengangguk dengan mantap seolah mendapat dukungan. Gadis itu sudah begitu bersemangat ingin bercerita tetapi aku menutup mulutnya dengan cepat. Tidak peduli jika aku baru saja mengupas bawang merah.           “Tidak, Ma, jangan percaya. Itu hanya gossip.”           “Gosip? Kata siapa? Damian sendiri yang mengatakannya padaku.” Dave kembali masuk ke dapur dengan seringaian lebarnya.  “Wah!” Mama menangkupkan dua tangannya. “Mama bisa menikahkan kalian berdua bersamaan kalau begitu!” mata Mama berbinar dengan riang.           “Mamaaa!!” Diva dan aku berteriak bersamaan dengan ngeri.           Menikah? Ya Tuhan, hal itu masih sangat jauh dari bayanganku. Terlebih karena aku tidak memiliki prospek calon suami.           “Kakak saja, Ma! Dia kan sudah tua!” Diva mencibir pada kakaknya sementara Dave melotot.           “Aku seumuran kekasihmu, tahu!”           Diva kembali mencibir sementara aku hanya terkikik melihat pertengkaran mereka. Pertengkaran abadi jika mama bilang.           “Sayang, setelah ini temani aku ya?” Dave merangkul bahuku.           “Ke mana?”           “Belanja,” jawabnya sambil menyeringai.           Aku menggeleng dengan ngeri. Berbelanja dengan Dave adalah bencana alam terdahsyat. Pria ini adalah pria yang luar biasa bawel jika menyangkut apa yang akan dia kenakan. Semua orang yang dekat dengannya hapal betul kebiasaan Dave yang satu ini. Dia bisa menghabiskan waktu dua jam hanya untuk memilih satu kemeja. Belum lagi berbagai pertanyaan tidak masuk akal yang diajukannya. Singkat kata, belanja bersama Dave tidaklah menyenangkan.           “Baby…” Dave cemberut menatapku.           Aku menghela napas. Aku terlalu menyayangi Dave untuk menolak permintaan pria itu. “Baiklah, nanti aku temani, tetapi belikan aku es krim, okey?”           “Penjual es krimnya akan aku belikan kalau kau mau!” Seringainya seraya mencium pipiku dan keluar dari dapur.           “Kau benar-benar tidak mau ikut?”           Diva yang sedang memakan sepotong apel menggeleng. “Aku ada kencan,” dia menyeringai dengan seringaian yang sama persis seperti milik Dave.            “Bukannya baru kemarin kalian bertemu? Tidak bosan?”           “Bosan?” Diva terkekeh. “Aku sarankan kau mencari pacar jadi kau akan tahu bagaimana rasanya berduaan dengannya.”           Aku menghela napas pelan. Mencari kekasih? Mencari pengganti Devandra? Apa aku bisa?     DEVAN POV Hari minggu bukanlah hari yang kusukai karena aku tidak bisa bekerja. Seperti biasa, aku hanya bermain game di taman belakang rumah. Aku lebih senang menghabiskan hari liburku di rumah. Main game, nonton DVD, atau bermain gitar.  Kadang aku pergi ke tempat kakak angkatku dan bermain dengan putri kecilnya. Atau berkumpul bersama ketiga sahabatku. Namun hari ini, ketiga sahabatku sudah ada acara sendiri-sendiri. Jadi aku memutuskan main game saja seharian ini. Mom dan Dad kemarin berangkat ke Perancis. Bulan madu entah yang ke berapa kalinya. Drrrttt...drrttt... Aku melirik ponsel dan melihat nama kakakku di layar. “Yes Ma’am?” “Nathan, ke rumahku sekarang. Antar kakak belanja.” Sejak aku diangkat anak oleh keluarga Alexander, keluargaku memanggilku Nathan, dan ketiga sahabatku memanggilku Andra. Aku tidak mau dipanggil Devan lagi. Itu hanya akan mengingatkan masa laluku yang menyakitkan. “Sekarang? Aku sibuk, Kak.” “Devandra Jonathan!” “Kak, Andra lagi seru nih main game.” “Ke sini atau kakak potong adik kecilmu!!” “Iya-iya aku ke sana sekarang,” kataku sambil menutup teleponku. Kakakku tercinta itu paling bisa memaksaku. Kalau aku menolak perintahnya dia pasti langsung mengoceh panjang lebar persis seperti Mom, dan aku malas mendengar ocehannya. Aku sampai di rumah Andrea lima belas menit kemudian. Kakakku dan si kecil Emily sudah siap. Hari ini kakakku yang paling bawel itu memintaku menemaninya belanja bulanan karena suaminya sedang urusan bisnis ke Amerika. Dia memintaku untuk menjaga Em selama dia asyik belanja. Kakakku itu shopaholic akut. Kalau sudah belanja tidak kenal waktu. Niatnya beli kebutuhan dapur bisa merembet ke baju, sepatu, perhiasan. Oh God... aku sudah membayangkan siksaan-siksaanku hari ini. “Hai, Papa,” suara kecil Em menyapaku. Ya, dia memanggilku Papa. Kata Andrea agar aku cepat ingin menikah. Alasan yang aneh. Pernikahan adalah urutan nomor paling bawah di daftar hidupku. “Hello, my Princess,” jawabku sambil mencium pipinya yang montok. “Hai, sist,” gantian aku mencium pipi kakakku. “Kau baik-baik saja, Babe?” Andrea menatapku dengan curiga. “Berapa lama kau tidur semalam?”           “Aku cukup tidur,” aku mengelak, “ayo kita berangkat.” Andrea terlalu menyayangiku hingga wanita itu selalu tahu bahwa selama ini aku tidak pernah baik-baik saja, tetapi Andrea cukup bijaksana untuk tidak bertanya. Itu juga yang selalu dilakukan Mom, memilih untuk tidak bertanya. “Ingat tujuanmu, Kak! Kau hanya perlu berbelanja bulanan, bukan yang lainnya,” aku mengingatkannya saat kami memasuki pusat perbelanjaan itu.           Kakakku mencibir. “Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, my dear.” Aku mendengkus kesal mendengar jawabannya. Aku mengikuti kakakku yang-akhirnya- asyik keluar masuk butik dengan Em di gendonganku. Ah, aku terlihat seperti seorang ayah saja. Menemani istrinya belanja dan menjaga putri kecilnya.  Tiba-tiba aku merindukan Abby. Saat membayangkan konsep keluarga, aku tidak bisa melihat bayangan lain selain Abby. Selalu begitu. “Papa, Em mau es krim,” suara si kecil membuyarkan bayanganku dan Abby sebagai keluarga. “Okeyy, baby. You'll get your ice cream.” Aku menghampiri kakakku yang masih asyik memilih baju dan mengatakan akan mengajak Em ke Cold Stone. Em menyantap Oreo Overload-nya dengan asyik. Sedangkan aku hanya memesan smoothie strawberry mango favoritku. Aku mengamati resto yang tidak terlalu ramai. Saat itulah aku melihatnya masuk ke tempat ini. Dia cintaku. Gadis kecilku. Abbyku!!                                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD