3

1616 Words
ABBY POV Pernahkah kalian percaya magic? Dulu aku sangat mempercayainya. Terutama karena semua film yang kutonton selalu berakhir dengan kisah yang bahagia dengan sedikit magic yang terjadi dalam hidup sang putri. Namun ketika akhirnya aku terpuruk dan keajaiban itu tidak pernah terjadi, aku tidak lagi berharap akan ada keajaiban dalam hidupku. Ibu peri baik hati dengan tongkat ajaibnya itu hanya ada di dunia Cinderella, bukan di duniaku. Namun rupanya, aku memiliki ibu periku sendiri dalam wujud keluarga Cromwell. Berkat mereka, aku kini memiliki lagi seorang ayah, seorang ibu, dan bahkan saudara. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki saudara, tetapi kini aku cukup bahagia bisa merasa memiliki dua orang saudara. “Abs!! Kau kenapa?” Aku membuka mata dan Diva sudah ada di hadapanku. “Aku merindukan Dad dan Mom,” jawabku pelan. Diva tersenyum dan duduk di sampingku lalu memelukku erat. “Mereka pasti lebih bahagia sekarang.” Aku mengangguk tanpa mengucapkan apapun. Aku tahu orang tuaku pasti melihatku dari atas sana, tetapi Devan? Diva melepas pelukannya dan merogoh kantong celana pendeknya. “Bagaimana kalau kita menari? Seperti dulu?” Aku tersenyum saat lagu itu mengalun. Aku dan Diva sangat suka menari. Memang kami bukan dancer profesional, tetapi kami selalu menikmati saat kami menari berdua atau saat kami menciptakan gerakan-gerakan baru. Kami selalu merasa lebih baik setelah kami menari. Diva kembali memelukku setelah kami melakukan 'kegilaan' kami. Dan ya, aku merasa jauuuh lebih baik. Diva adalah yang terbaik yang pernah aku miliki. Aku bersyukur Tuhan mengirimnya untukku. “Cepat mandi, kami tunggu di bawah,” katanya sambil keluar kamarku setelah kami selesai dengan 'kegilaan' kami. “Mandinya nanti saja ya??” Aku berteriak sebelum dia menutup pintu. Diva memutar bola matanya. “Dasar jorok!” Aku segera berlari ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Ini hari libur, mandi jangan terlalu sering. Nanti kecantikanku bisa luntur. Saat aku turun semua orang sudah berkumpul di ruang makan. “Pagi!” Aku mencium pipi mereka satu-persatu. Aku sudah sangat dekat dengan mereka sejak dulu. Papa dulu teman kuliah ayahku di London. “Tidurmu nyenyak, Sayang?” tanya Mama sambil menyendokkan nasi goreng untukku. “Sangat, Ma.” “Abs, setelah ini kita ke taman hiburan ya?” Ajak Diva kemudian. “Asyyyikkkk!!” teriakku penuh kegirangan. Walaupun umur kami sudah dua puluh lima tahun, tetapi kesukaan kami masih ke taman hiburan. Kami berdua seperti anak kecil kalau Dave bilang. Namun kadang, kegilaan itu perlu untuk membuatmu tetap 'waras'. “Mama dan Papa ikut kan?” tanyaku. Papa tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak, Sayang. Papa dan Mama ke taman hiburan nanti dengan anak-anak kalian saja.” “Tuh, Kak, cepat kasih cucu untuk Papa dan Mama,” cibir Diva pada Dave. “Dulu aku mau menjadikan Abby istriku, tetapi lihat sekarang, dia menjadi adikku. Aku harus mencari kandidat lain jadinya,” jawab Dave santai sambil tersenyum menatapku. Dave pernah memintaku menjadi kekasihnya saat dia baru pulang dari Jerman dulu, tetapi aku menolaknya. Aku sudah menganggapnya kakakku sejak dulu. Hatiku sudah habis terbawa oleh pria yang bahkan pergi tanpa pamit dari hidupku. Akan sangat tidak adil jika aku menerima cinta Dave tetapi hatiku milik pria lain. Aku tidak akan sejahat itu pada Dave. “Kau saja ya yang ikut kami,” rayu Diva sambil menggoyang-goyangkan lengan kakaknya dengan manja. “Oh, noooooo!!!” Aku dan Diva saling berpandangan. “KAKAKKKK... PLEASEEEE!!” teriak kami bersamaan. Dave memutar bola matanya kesal. Dia tidak akan pernah bisa menolak permintaan kami. Aku yakin itu. “Okay! Okay! You win!” ucapnya kesal. “Yeaaayyyyy!!” Aku dan Diva toast sambil cekikikan. Mama dan Papa geleng-geleng kepala melihat tingkah kami yang seperti bocah lima tahun. “Sudah sana kalian mandi!” perintah Mama kemudian. Aku dan Diva berlari naik ke kamar kami untuk bersiap dan mandi. Eh, aku saja sih yang mandi. Aku yakin Diva sudah mandi. Aku dan dia bagai dua kutub yang berbeda. Dia begitu rapi, bersih, dan sangat 'perempuan'. Jauh berbeda denganku. Akan tetapi, kami berdua sudah seperti satu jiwa dalam dua tubuh. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Aku sudah bilang itu kan? Pakaianku kali ini jatuh pada rok mini warna biru favoritku dan kaus lengan pendek warna putih. Tidak lupa kacamata hitam dan tas ransel mungilku. Saat aku turun, Diva dan Dave sedang duduk di ruang tengah. Ada dua orang lagi bersama mereka. Satu orang aku kenali sebagai Daniel-pacar Diva, tetapi satu orang lagi aku tidak mengenalnya. Pria itu tampan. Wajahnya sangat memukau seperti Adonis. Tubuhnya tinggi tegap. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Dan lihatlah bola matanya. Berwarna biru seperti samudra. Rasanya aku bisa menyelam di kedalaman matanya yang sangat biru itu. “Abbyyyyy!!” teriakan Diva menghentikan investigasiku ke wujud sempurna itu. Aku menyeringai ke arah mereka. “Kenalkan, ini temanku,” ucap Dave kemudian. “Abby,” kataku sambil menjabat tangannya yang besar dan hangat. “Damian.” Suaranya bahkan sangat seksi! “Jadi, aku tidak bisa menemani kalian hari ini. Ada meeting mendadak.” “Yahh, Kakakkk,” ucapku sambil cemberut, tetapi kemudian mataku menyipit curiga. “Meeting di hari Sabtu?” Dave menyeringai. “Meeting di luar, Sayang. Main golf.” Aku cemberut. “Lalu aku hanya menemani pasangan bahagia itu?” “Karena itulah Damian di sini. Dia akan menemanimu. Setidaknya kau tidak perlu menjadi penonton pasangan menyebalkan ini,” cibir Dave pada Diva dan Daniel. Daniel yang kutahu adalah juga sahabat Dave. “Tetapi aku tidak mengenal Damian, Kak,” bisikku di telinga Dave. Dave tersenyum sambil menepuk puncak kepalaku. “He is a nice guy, Dear. You'll like him,” ucapnya sambil mencium pipiku. Akhirnya kami berangkat berempat menaiki mobil milik Damian. Kami mengobrol akrab sepanjang perjalanan. Dave benar, Damian sangat menyenangkan. Baru sebentar saja berkenalan, kami sudah tidak canggung lagi. Mataku memandang berkeliling saat menyadari mobil Damian masuk ke arah tol luar kota. “Div, kita mau ke mana? Katanya ke taman hiburan? Bukan ke Ancol?” Diva dan Daniel menyeringai dari bangku belakang. “Tadinya memang mau ke sana. Tetapi aku pikir ke Trans Studio lebih asyik.” Damian yang menjawab pertanyaanku dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. Logatnya terdengar sangat lucu. Mataku berbinar seketika. “Serius?” Aku menguncang-guncang lengan Damian. Damian mengangguk dan tersenyum. Aku berjingkrak riang di kursiku. Tidak peduli Damian terus tersenyum dan menatapku. Tempat itu salah satu tempat yang paling ingin kukunjungi. Ini benar-benar mimpi yang terwujud nyata. Dua jam kemudian, kami sampai di indoor theme park terbesar di Indonesia itu. Aku menarik-narik tangan Diva dengan tidak sabar. Pertama, kami menuju ke wahana permainan di Studio Central. “Aku mau naik itu!” Tunjukku pada pendulum raksasa yang berputar-putar di ketinggian delapan belas meter. Giant Swing. Diva menatapku ngeri. Selalu begitu. Dia tidak akan pernah mau naik wahana seperti ini. Pernah satu kali kami naik kora-kora di Dufan dan begitu turun, dia pingsan! “Yang lain saja ya?” ajaknya coba menggoyahkan 'imanku'. Aku menggeleng keras kepala. Diva menekuk bibirnya. “Ayolah, Divvvv,” bujukku memelas. “Aku tidak akan mempermalukan diriku di depan kekasihku,” bisiknya di telingaku. Aku menatapnya dengan tatapan puppy eyes-ku. Dia selalu luluh dengan tatapan itu. “Denganku saja, Abby. Kasihan Diva sudah pucat begitu.” Suara seksi itu menampilkan senyuman lebar di bibir Diva. “Ta... tetapi ...” “Tidak ada tetapi-tetapian. Aku akan mencari mainan lain. Bye!” ucap Diva sambil menggandeng kekasihnya pergi. Aku menatap Damian sambil cemberut. “Kau menghancurkan rencanaku!” Pria tampan itu tertawa keras. “Dasar iseng,” ujarnya sambil mencubit hidungku, membuatku semakin mengerucutkan bibirku. Devan juga paling suka mencubit hidungku. Dulu, kami pernah berencana ke taman hiburan setelah dia lulus sekolah. Rencana yang tidak pernah terwujud sampai saat ini. “Ayo, Abby!” Suara Damian membuyarkan lamunanku. Dia sudah menarik tanganku untuk antri. Antrian tidak lama karena hari masih pagi. Tidak lama mesin raksasa itu hidup dan mulai bergoyang. Aku berteriak kencang. Ini lebih mengerikan daripada kora-kora!! Damian tertawa keras melihat mukaku yang pucat saat kami turun. Aku duduk di undakan tangga sebuah restoran. “Damiaan, jangan tertawaaaa!!” kataku kesal. Ini hal yang sangat memalukan! Bukannya berhenti dia malah makin keras tertawa. Dia mengeluarkan ponselnya dan memotret mukaku yang aku yakin pasti sangat jelek. “Kenapa di foto??” tanyaku sebal. “Akan aku tunjukkan pada Dave nanti,” jawabnya sambil tertawa. “Mau mencoba Kong Climb tidak?” tawarnya yang langsung kusambut dengan anggukan antusias. Dia tertawa dan mengacak rambutku pelan. “Cari Diva dulu.” Damian mengangguk, mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Daniel. “Ayo, mereka menunggu di sana.” Dia menggandeng tanganku. Aku memperhatikan tanganku yang digenggamnya dengan erat. Rasanya... hangat dan nyaman. Apa ini artinya? “Jelajah saja ya, Abs?” pinta Diva saat kami bertemu di depan wahana The Lost City. Aku memutar bola mataku. “Kau tidak akan bisa merayuku!!” Diva cemberut menatap kekasihnya. “Iya, Cara, nanti selesai panjat tebing baru jelajah ya.” Daniel menyarankan, membuatku semakin tersenyum lebar dan Diva makin cemberut. Namun akhirnya dia mengangguk juga dengan pasrah. Setelah puas di wahana The Lost City kami menuju ke Magic Corner. Mencoba semua wahana di sana. Aku tertawa puas melihat muka pucat Diva di wahana Dunia Lain. Akhirnya kami baru makan siang menjelang sore hari karena asyiknya kami bermain. Jam enam sore, kami memutuskan untuk pulang. Perjalanan pulang berlangsung hening karena Diva dan Daniel tertidur hampir sepanjang perjalanan. “Kau tidak tidur? Tidak lelah?” Aku menggeleng. “Aku senang sekali hari ini,” jawabku sambil tersenyum lebar. “Terima kasih ya sudah mau menemaniku dan Diva hari ini.” “ Anytime, Abby,” jawabnya sambil mengelus kepalaku. Jantungku melompat-lompat karena sentuhan tangannya dan senyum manisnya. Ya Tuhannnn, aku kenapaaaa...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD