2

872 Words
ABBY POV   Hari ini tanggal dua puluh November, hari ulang tahunku yang ke dua puluh lima. Aku tersenyum miris di kamar kostku. Sendirian tanpa siapa-siapa. Hari yang seharusnya menjadi yang paling membahagiakan, tetapi justru malah membuatku tidak ingin melewati hari ini. Sudah sepuluh tahun terakhir ini, hidupku terasa dijungkir balikkan takdir. Roda yang awalnya di atas itu tiba-tiba berputar ke bawah dan stuck di sana. Tidak pernah beranjak naik kembali. Takdir seakan-akan ingin bermain-main denganku setelah aku kehilangannya. Devandra Jonathan. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya sampai dia meninggalkanku tanpa pesan tepat di hari ulang tahunku sepuluh tahun lalu. Dia tidak datang ke ulang tahunku. Tidak bisa kutemui di sekolah. Tidak mau kutemui di panti tempatnya tinggal. Dan dia tidak meninggalkan petunjuk apapun padaku. Aku patah hati. Dia cinta pertamaku. Aku tidak peduli dia orang miskin dan yatim piatu. Yang aku tahu aku mencintainya. Bukan cinta monyet, karena sampai sekarang rasa itu masih ada, walaupun dia tidak pernah sekalipun mencariku. Yang kudengar terakhir saat aku mencarinya ke panti, dia akhirnya mau diadopsi setelah sekian lamanya dia menolak untuk diadopsi. Aku turut senang. Setidaknya kehidupannya akan lebih baik dan pendidikannya lebih terjamin. Devan anak yang pandai. Sangat disayangkan jika dirinya tidak bisa melanjutkan kuliah. Aku rela berpisah darinya asal dia lebih baik. Mungkin jika kami tidak bisa bersama saat ini, akan ada waktu ataupun kehidupan lain yang akan menyatukan kami. Akan ada saat lain di mana kami bisa bersama dan hidup berbahagia layaknya kisah pangeran dan putrinya yang sering kutonton. Aku merindukannya. Sangat merindukannya. Seakan belum cukup kesedihanku. Tiga tahun kemudian perusahaan Dad bangkrut karena di tipu rekan kerjanya. Mom yang tidak bisa hidup miskin, menderita depresi dan akhirnya meninggal, tepat di hari ulang tahunku yang ke sembilan belas.  Sesudahnya, Dad kerjanya hanya mabuk-mabukkan, hingga suatu malam di malam ulang tahunku yang ke dua puluh dua, Dad meninggal karena kecelakaan. Aku sebatang kara sekarang. Keluarga Dad di Inggris tidak mau mengakui dan mengurusku. Sejak aku kecil, aku tahu mereka tidak menyayangiku. Aku tidak tahu kenapa.  Miris, tetapi aku harus kuat. Seperti Devan. Dia yatim piatu tetapi mampu bertahan. Akupun pasti begitu. Sekarang aku melanjutkan kuliahku di fakultas ekonomi.  Memang bukan di kampus bonafide, yang penting aku bisa kuliah. Aku memang terlambat masuk kuliah karena selepas SMA aku harus bekerja dulu untuk mengumpulkan biaya untuk kuliah. Dad tidak menyiapkan dana asuransi pendidikanku. Jadilah aku harus mencari biaya kuliahku sendiri. Yah, sangat disayangkan orang kaya seperti Dad tidak merencanakan keuangannya dengan matang. Tahun ini, tahun terakhirku di kampus dan aku akan menyandang gelar sarjana ekonomi. Untuk membiayai hidupku aku bekerja part time di restoran milik ayah Diva, sahabatku. Hanya Diva yang aku punya sekarang. Sahabatku dari semenjak aku SMP. Biarpun kami tidak masuk SMA yang sama, tetapi persahabatan kami tidak pernah putus sampai sekarang, walaupun dia sempat melanjutkan kuliahnya di Inggris sekaligus menyelesaikan S2-nya. Sebenarnya Diva dan orang tuanya menawariku tinggal bersama mereka, tetapi aku menolak. Aku tidak mau hidup dari belas kasihan orang. Uang tabungan dan gajiku aku gunakan untuk membayar kamar kos kecil dan biaya hidupku sehari-hari. Ini cukup bagiku saat ini. Drrrrttt... drrtttt... Aku meraih ponsel bututku di atas kasur. Nama 'Diva' berkedip-kedip di layar. “Ha ...” “Abs, kau di mana? Aku mencarimu ke restoran tetapi kau tidak ada?”  “Di kos. Ada apa?” “Oh my gosh!! Kau lupa, Abs? Malam ini waktu kita untuk pajamas party!!” Aku menepuk dahiku dan tertawa garing. “Aku lupa.” “Sudah kuduga kau lupa! Siap-siap sekarang, aku akan menjemputmu!” Setiap ulang tahunku, setelah kepulangannya dari Inggris, kami berdua pasti akan begadang semalaman di rumah Diva. Tadi pekerjaanku di restoran sangat banyak hingga aku lupa kebiasaan kami itu. Tidak sampai lima belas menit, Diva sudah muncul di pintu kosku. Tempat kosku memang dekat dari restoran dan dari kampus, hingga aku bisa irit ongkos, tidak perlu naik kendaraan umum. Aku sudah siap dengan ransel di punggungku. Kebetulan besok hari Sabtu, jadi aku dan Diva berencana jalan-jalan besok.  “Happy Birthday!!!” Teriakan itu menyambutku begitu pintu rumah itu terbuka. Orang tua Diva, Jane dan John, juga kakak laki-lakinya, Dave, menghambur memelukku. “Selamat ulang tahun, Sayang,” ucap Mama sambil mencium pipiku. Aku merasa seperti kembali berumur lima belas tahun. Mereka selalu menganggapku keluarga mereka sendiri. “Ini untukmu.” Dave menyerahkan sebuah kunci untukku. “Apa ini?” tanyaku bingung. “Abby, Sayaaaaangggg, itu kunci kamarmu di rumah ini. Tepat di samping kamarku! Yeeaayyy!!” teriak Diva dengan girang. Apa? “Iya, Sayang. Mulai hari ini kau tinggal di sini, dan kau tidak perlu bekerja lagi di restoran,” kata Papa kemudian. “Ta... tetapi, Pa ...” “Sayang, kau selama ini selalu menolak ajakan Mama untuk tinggal di sini. Tolong jangan menolaknya sekarang.” Mama adalah ibu terbaik kedua yang pernah kukenal selain mommy-ku. Beliau sudah menyayangiku sejak dulu seperti beliau menyayangi Diva. Aku menatap keempat orang di depanku dengan mata berkaca-kaca. Diva dan Mama langsung memelukku erat. “Terima kasih, sudah menerimaku di keluarga ini,” ucapku dengan penuh rasa haru. Entah bagaimana caraku untuk membalas kebaikan mereka, tetapi yang jelas aku sangat bersyukur. Hari ini, di hari ulang tahunku yang ke dua puluh lima, aku mendapatkan keluarga utuh kembali. Terima kasih Tuhan.                                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD