Part 2

787 Words
"Zee, Where are you?" Aku tersadar dari lamunan, saat suara Deki kembali masuk ke indera pendengaranku. "I am here, Ki!" ucapku kesal. >"Aku pikir kamu ketiduran." Aku mendengar suara tawa Deki yang membuatku mau tak mau ikut tertawa kecil. >"Cobalah untuk memaafkan dirimu sendiri. Bara dan istrinya sudah memaafkanmu, Zee," ucap Deki serius, yang mampu membuatku kembali terdiam. >"Zee?" "Apakah kamu nanti akan mengundang Bara dan istrinya di acara nujuh bulan Sandra?" tanyaku pada Deki yang sejak panggilan tersambung, memaksaku untuk menghadiri acara nujuh bulan kandungan istrinya. Aku bukannya tak suka Bara dan istrinya ada di sana, tapi aku masih malu. Benar-benar malu sampai aku bahkan tak berani hanya untuk sekedar bercermin. Aku benar-benar tak punya muka lagi di hadapan mereka berdua. >"Aku pasti mengundang mereka. Apakah... Kamu keberatan?" tanya Deki ragu. Aku tersenyum kecil tak sampai mata. Sepupuku yang satu ini, selalu saja memikirkan dan memanjakanku. Dia sudah menganggapku seperti adik kandungnya sendiri. Mungkin karena aku mirip dengan adik kandungnya yang meninggal saat kami duduk di bangku kelas enam SD. Dan mungkin karena aku sudah tinggal bersama dengannya sejak kami duduk di bangku SMP. Saat Papa menitipkanku pada Bunda Alisa - Kakak dari Papaku yang juga adalah Bunda dari Deki -, saat Mamaku pergi untuk selamanya. >"Zee?" "Aku enggak keberatan kok. Silahkan kamu undang mereka. Tapi... apakah aku harus hadir ke acara itu, Ki?" >"Harus! Pokoknya harus! Bunda udah nanyain kamu terus karena kamu jarang hubungi Bunda! Aku juga gak tenang kalau adik kesayanganku ini gak keliatan di depan mata! Cukup kamu kuliah di Aussie dulu selama tujuh tahun! Jangan menghilang lagi dari kami, Zee!" tegas Deki kembali, yang mampu membuat dadaku menyesak. Betapa beruntungnya aku, memiliki Kakak sepupu seperti Deki, dan Bude seperti Bunda Alisa. Dulu aku tidak menyadari jika aku masih memiliki orang-orang yang menyayangiku setengah mati. Dulu aku pikir, aku selalu tak berarti setelah Mama pergi. Papa lebih memilih berkeliling dunia untuk melukis berbagai macam tempat di sana. Papa kebetulan adalah pelukis terkenal yang namanya sudah mendunia. Karena pilihannya itu, Papa menitipkanku pada Bunda Alisa. >"Apakah kamu melupakan kami?" "Kamu ngomong apa sih! Mana mungkin aku ngelupain kalian! Kalian tuh keluargaku yang paling berharga! Cuma kalian yang aku punya..." lirihku. Dan tanpa sadar, air mata sudah mengalir di kedua pipiku. Isakan kecil mulai keluar, karena aku memang wanita yang cengeng cenderung manja sejak dulu. >"Zee! Jangan nangis! Kamu tau kan, kalau aku gak bisa meluk online!" panik Deki. Aku tertawa diantara tangisku, karena ucapan konyol sepupuku itu. "Hiks... Apaan sih kamu!" "Aku gak bercanda! Kamu jangan ketawa!" "Aku gak boleh nangis dan gak boleh ketawa? Kamu pikir aku itu patung?!" sarkasku yang ternyata malah membuatnya tertawa. >"Hahaha... Aku senang bisa denger kamu marah kayak gini." Aku kembali tersenyum diantara isakanku, karena dapat mendengar tawa Deki yang memang aku rindukan selama enam bulan pengasinganku di Malang. Aku mencoba meredakan tangisku, karena Deki kembali mengomel seperti kakek cerewet. >"Kamu belum bisa melupakan Bara?" tanya Deki setelah beberapa saat kami terdiam. Aku terdiam sejenak untuk mencari jawaban yang tepat. Kalau dibilang aku sudah bisa melupakan Bara atau belum selama enam bulan ini, aku harus jujur jika rasa cintaku untuk Bara masih ada. Apalagi dia adalah pria yang aku cintai selama kurang lebih tiga belas tahun. Tapi... Rasa malu-ku pada Bara dan istrinya jauh lebih besar. Aku bahkan tak ingin lagi bertatap muka dengan mereka. Aku merasa jijik pada diriku sendiri. "Aku... aku nggak tau, Ki... Yang pasti, aku belum sanggup buat ketemu lagi sama Bara," lirihku akhirnya. Terdengar helaan napas Deki di seberang sana. >"Tapi aku sangat berharap kamu datang, Zee. Kalau kamu menghindar terus, kamu malah gak akan bisa lupakan dia. Dan, Kembalilah tinggal sama Bunda..." lirih Deki. Aku terdiam sesaat... Kembali ke Jakarta? Kalau aku kembali ke kota itu, kemungkinan bertemu Bara dan istrinya sangat besar. Tapi kalau aku tidak kembali ke sana, bagaimana perkembangan galeri lukis milikku? Aku sudah meninggalkan galeri itu selama enam bulan. Galeri lukis impianku, karena aku memang mengikuti jejak Papa sebagai pelukis. Walaupun ada pekerjaku yang merawat galeri itu selama ini, tapi tetap saja aku harus mengelolanya sendiri. Lagi pula, benar kata Deki, kasian Bunda harus tinggal sendiri. Karena Deki sudah berkeluarga dan tinggal di rumah yang dibelinya sebelum menikahi Sandra. Urusan bertemu dengan Bara dan istrinya, sepertinya aku akan sekuat tenaga menghindar. "Oke aku akan kembali ke Jakarta," ucapku akhirnya dengan jantung bertalu kencang. >"Alhamdulillah... Aku senang! Aku bisa jemput kamu ke Malang—" "No! Aku bisa ke Jakarta sendiri. Kamu jemput aku di Bandara aja." >"Oke-oke... Terserah kamu. Yang penting kamu kembali bersama kami." Kami berbincang-bincang sebentar, sebelum Deki mematikan sambungan ponselnya. Aku masih terdiam selama beberapa menit saat sambungan telepon Deki sudah terputus. Apakah keputusanku untuk kembali sudah benar? Semoga saja iya... ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD