Chapter 2

1339 Words
Gabriel sudah menyuruh Ansel untuk menghubungi Edgar sejak dua hari yang lalu, dan sekarang ia akan berjumpa dengan Edgar, tidak seorang diri, Gabriel membawa Ansel ikut serta. Tujuan Gabriel menemui Edgar adalah untuk memberi sebuah test pada lelaki itu dan menilai sendiri apakah Edgar pantas menjadi bodyguard untuk adiknya. Gabriel dan Ansel sudah menunggu di sebuah lapangan khusus bela diri yang sengaja Gabriel sewa. Sudah sepuluh menit berlalu sejak jam perjanjian pertemuan, tetapi Edgar tak kunjung datang. “Di mana dia?” tanya Gabriel tidak sabaran. Hari ini, sengaja Gabriel mengosongkan jadwal, tetapi Edgar malah tidak kunjung datang. “Sabarlah, sebentar lagi pasti datang.” Ansel menyahut dengan kalem. Tiga menit kemudian seorang lelaki kekar datang menghampiri keduanya. Gabriel mengangkat alisnya. “Dia orangnya?” tanya Gabriel pada Ansel. Ansel mengangguk saja kemudian menarik Edgar agar berdiri di sebelahnya. “Nah Edgar, perkenalkan, dia Bosku. Gabriel Austen.” Edgar mengangguk samar lalu mengulurkan tangannya. “Edgar Addison.” Gabriel membalas uluran tangan Edgar. “Gabriel.” “So, Edgar, apakah kau benar menginginkan pekerjaan ini?” tanya Gabriel dengan serius. Untuk seperkian detik Edgar hanya diam hingga akhirnya mengangguk. “Ya, Tuan.” “Well, apa kau sudah tahu akan menjaga siapa?” tanya Gabriel lagi. “Adik anda, Tuan.” Edgar menjawab dengan santai dan tidak kaku. Gabriel mengangguk, pastinya Ansel sudah memberitahu Edgar masalah ini. “Tidak mudah bekerja denganku. Ada beberapa hal yang akan aku uji padamu, jika kau lolos, maka kau mandapatkan pekerjaan ini.” “Saya siap, Tuan,” ujar Edgar dengan yakin. Gabriel memanggil beberapa orang untuk menyiapkan perlengkapan Edgar. Hal pertama yang akan Gabriel uji adalah bagaimana cara Edgar menembak, lalu melakukan bela diri bersama orang yang ditelah di persiapkan untuk melawan Edgar. *** “Julia, apa Molly sudah diberi makan?” tanya Hazel pada Julia yang asik berkutat dengan cookies buatannya. “Sudah, Nona. Aaron telah memberinya makan lima menit yang lalu,” jawab Julia. “Aaron tidak sekolah?” tanya Hazel dengan heran. Setahunya anak Julia yang bernama Aaron ini telah masuk sekolah dasar. “Nona lupa? Ini hari sabtu, biasanya anak-anak libur,” jelas Julia. Hazel meringis samar. “Ah iya aku lupa. Apa yang sedang kau buat?” “Cookies, untuk camilan anda,” jawab Julia. Wanita berusia hampir empat puluh tahunan itu kembali melanjutkan pekerjaannya membentuk cookies itu lalu meletakkannya ke Loyang. “Aku ingin pergi keluar, bertemu temanku. Kalau Kak Gab pulang, beritahu dia ya? Sejak tadi ponsel dia tidak aktif,” kata Hazel memberi pesan. “Baik, Nona. Anda perginya sama Pak Josua bukan?” tanya Julia memastikan. Sesuai dengan titah sang Tuan Gabriel, Hazel hanya boleh keluar rumah dengan sopir. “Iya. Kalau begitu aku pergi dulu,” ucap Hazel. Hazel meraih tas kecil yang ada di meja makan lalu memasukkan ponsel dan memeriksa apakah ia sudah memasukkan dompet. Setelah semuanya beres, ia melangkah keluar dari mansion. “Mau ke mana Nona?” tanya Pak Josua. “Antarkan aku ke café de florist, Pak Jo.” “Siap!” Hazel langsung masuk ke dalam mobil, begitu pula Pak Josua. Diperjalanan, Hazel mengeluarkan ponselnya dan mengecek apakah ada pesan masuk dari teman-temannya. Dan ternyata ada, salah satu temannya mengatakan jika ia telah sampai. Sepuluh menit kemudian, mobil yang di kendarai pak Jo tiba di café. Langsung saja Hazel turun dan masuk, tapi sebelum itu ia menyuruh sang sopir untuk pulang saja dan tidak usah menunggu dirinya. Beruntung, pak Jo setuju dan langsung meninggalkan pekarangan café. Hazel mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru café. Hingga tatapannya terkunci pada satu tempat di sudut pojok café. Laila dan Saka telah menunggu dan tampak melambai padanya. Hazel menggerakkan kakinya menuju sahabat-sahabatnya itu. “Aku kangen banget sama kamu, Zel!” seru Laila sedikit heboh dan langsung berhambur ke pelukan Hazel. “Kami kemarin datang ke mansion, tapi kamu mengurung diri di kamar,” ujar Saka lalu menghela napas berat. Laila melepaskan pelukannya, tanpa ragu ia menangkup wajah Hazel lalu memeriksanya kemudian ia meneliti penampilan Hazel. “Syukurlah kamu baik-baik saja, Zel. Kami mengkhawatirkan mu.” “Aku baik-baik saja,” sahut Hazel kemudian tersenyum. Sengaja ia memoles wajahnya dengan senyuman lebar agar kedua sahabatnya ini tidak perlu khawatir padanya. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Ke mana pun itu, asal kita bahagia,” usul Laila. Tanpa pikir panjang Saka mengangguk. “Setuju.” Laila bersorak senang. “Kamu mau kan Zel?” Melihat wajah Laila dan Saka yang tampak sangat ingin dan berharap sekali, mau tak mau Hazel mengangguk setuju. Laila membawa Hazel duduk, karena mereka berdua sejak tadi berdiri. “Ingin pesan apa?” tanya Saka pada Hazel. Hazel melirik meja, di mana Saka dan Laila ternyata sudah memesan minuman lebih dulu. “Hazelnut latte.” Saka mengangguk. “Baik, akan aku pesankan. Kalian mengobrol lah dulu,” kata lelaki itu. Setelah kepergian Saka. Hazel menatap Laila dengan dahi yang mengerut. “Apa ada yang ingin kamu katakan padaku?” Laila mengangguk antusias. “Aku menyukai Saka, tapi aku tidak berani mengatakan perasaanku,” ujarnya. Hazel meneliti wajah Laila yang saat mengatakan menyukai Saka terlihat gembira sekali, tapi sewaktu mengatakan tidak berani, raut wajah sahabatnya itu berubah murung. Hazel mengusap punggung Laila. “Sebentar lagi kita akan liburan, aku akan memberimu waktu bersama Saka untuk berduaan nantinya. Bagaimana?” Kedua ujung bibir Laila melengkung dengan lebar. “Ide bagus! Ah, terimakasih Hazel!” seru Laila heboh sendiri. Hazel mengangguk saja. “Kalau begitu, kita harus memilih tempat yang romantis. Biar seperti honeymoon mu dengan Saka,” goda Hazel. Kedua pipi Laila bersemu merah, mendadak ia jadi salah tingkah. “Jangan menggodaku!” tukasnya sebal tapi malu-malu. “Sepertinya sangat seru, apa yang kalian bahas?” Saka datang dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat minuman hazelnut milik Hazel dan tiga potong kue yang berbeda rasa. Laila menegakkan tubuhnya dengan kaku. “Tidak ada apa-apa.” Sementara Hazel hanya terkekeh pelan lalu mengambil minuman miliknya. “Red velvet itu untuk Hazel, La,” ucap Saka ketika Laila hendak mengambil piring kecil berisi sepotong red velvet cake. “Aku kira untukku,” ringis Laila malu. “Untukmu yang tiramisu itu,” sahut Saka. Lelaki itu mengambil red velvet cake itu dan meletakkannya dihadapan Hazel. “Terimakasih.” Saka mengangguk. Sedangkan Laila memberenggut sebal karena Saka terlihat begitu perhatian ke Hazel. *** Pada pukul delapan malam, barulah Hazel pulang. Diantar oleh Saka dan juga Laila. “Habis dari mana saja kamu?” tanya Gabriel tanpa menoleh menatap Hazel. Hazel merasa hawa ruang tengah mendadak suram karena nada suara Gabriel. “Main, kak.” Gadis itu duduk di hadapan sang kakak dengan kepala tertunduk. “Kenapa nggak kasih tau? Kamu tahu gunanya ponsel bukan?” tanya Gabriel dengan tatapan menyelidik. “Pas mau pergi udah aku telpon, tapi ponsel Kak Gab nggak aktif,” ujar Hazel membela diri. “Tadi sore aku meneleponmu, kenapa tidak di angkat?” tanya Gabriel lagi. Hazel mengernyitkan dahinya lalu mengambil ponselnya yang ada di tas. Tatapan Hazel berubah menjadi memelas. “Tadi di bioskop, terus ponselnya dalam mode silent,” cicitnya. “Maaf udah buat kak Gab khawatir,” sesal Hazel. Gabriel menghembuskan napasnya pelan kemudian mengangguk. “Tapi jangan diulangi lagi ya?” “Iyaa.” Hazel bersiap-siap hendak naik ke lantai atas menuju kamarnya, tapi suara Gabriel menghentikan pergerakannya. “Tunggu sebentar, ada seseorang yang mau aku kenalkan padamu,” ucap Gabriel. Alis Hazel terangkat naik menatap sang Kakak. “Edgar, kemarilah!” seru Gabriel. Sontak saja kepala Hazel menoleh ke samping di mana seorang pria berjalan menghampiri keduanya. “Nah Hazel, dia adalah Edgar. Bodyguard barumu,” ucap Gabriel dengan senyuman lebar. “Halo, Nona,” sapa Edgar. Hazel memberi tatapan protes pada Gabriel. “Kenapa nyewa bodyguard? Aku baik-baik aja, kak!” protesnya. “Tidak perlu membantah. Pokoknya kamu seharian akan di awasi oleh Edgar, empat hari lagi aku akan ke Swiss. Jadi bersikap baiklah, okay?” Hazel menatap tajam pria bertubuh tinggi dan memiliki otot-otot yang sangat kekar di depannya. Tanpa mengucapkan apapun lagi, Hazel mengayunkan kakinya naik ke lantai atas menuju kamarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD