02

1491 Words
Brian turun dari lantai atas, dan menemukan Jino tengah duduk di ruang tengah sembari menonton televisi. "Jeno mana?" tanyanya, seraya duduk di sebelah Jino. "Bantuin Thalia belanja, disuruh tante Lina," balas Jino, dengan mata tak lepas dari layar televisi. "Wah, kok mau dia?"                     "Ya maulah, mana berani nolak perintah orang tua?" "Kan bisa bikin alesan..." "Jeno gak takut sama Thalia," "Tapi si Thalia itu aneh banget gak sih? Udah tiga tahun sekolah, tapi masih gak punya temen dan milih menyendiri. Maksud gue, kok dia betah gitu?" ujar Brian. "Ya, mana gue tau. Emang aneh sih, soalnya setakut-takutnya gue sama orang, lama-lama juga gue bisa adabtasi dan punya temen di sekolah," kata Jino. "Si Thalia mah kayaknya gak takut sama orang, tapi emang gak mau jalin hubungan aja sama orang. Menurut gue sih. Dia gak pernah dateng juga kan ke arisan mama-mama kita, makanya gue agak kaget pas tau tante Lina punya anak, dan ternyata itu si Thalia," "Kita yang aneh gak sih? Suka dateng pas mama kita arisan?" "Ya enggaklah! Gue kan emang suka nganterin mama kalau tempat arisannya jauh. Lagian enak kalau kita ikut dateng, pasti ditraktir makan," "Iya sih..." gumam Jino. "Thalia gak akan bunuh Jeno kan ya? Setau gue orang yang gak punya ekspresi itu psikopat," Brian bicara ngawur. "Ngadi-ngadi lu." Ucap Jino. ••• Jeno pikir belanjanya mau ke supermarket, tidak tahunya ke pasar tradisional. "Emang kalau udah sore gini dagangannya masih ada?" tanya Jeno, sesaat setelah mereka masuk pasar. "Justru kalau sore, barang-barangnya masih baru dan seger, pedagang emang biasanya nyiapin dagangan pas sore. Yang gak ada daging-dagingan atau ikan, nanti tinggal ke freshmart kalau emang mau makan daging atau ikan," balas Thalia. "Lo sering ke pasar gini?" "Iya. Mamakan kerja, pulang capek, jadi gue yang biasanya nyiapin makanan," "Kenapa gak ke supermarket aja?" "Emang kenapa kalau di sini? Di pasar barangnya lebih murah, lengkap dan kondisinya jauh lebih bagus dari pada yang dijual di supermarket. Yang dijual di supermarket biasanya barang lama, sukanya udah kering," Jeno menganggukkan kepalanya mengerti. "Terus kenapa bawa ransel? Kalau di pasar tradisional masih dikasih kresek kan?" tanya Jeno, sembari menunjuk ransel berwarna merah yang ada di punggung Thalia. "Lebih enak bawa barang pake ransel." Balas Thalia, dengan kaki yang melangkah ke salah satu kios sayur, Jeno hanya mengikuti dari belakang. "Mau makan apa?" tanya Thalia, setelah ia sudah selesai memilih bahan makanan yang mau ia makan. "Eum, apa aja," balas Jeno. "Jawabnya yang bener, bilang apa aja, entar pilihan gue ternyata gak sesuai sama selera lo," kata Thalia. "Ya udah deh, jamur tumis sama tempe goreng," "Yang jualan tempe udah gak ada. Jadi sayur jamur aja ya?" Bibir bawah Jeno tanpa sadar maju ke depan. "Mau yang pedes banget atau biasa aja?" tanya Thalia lagi. "Sedeng aja," jawab Jeno. "Jino sama Brian gak ditanyain mau makan apa?" "Enggak usah, capek gue harus masak banyak menu, mereka ngikutin selera lo aja," 'Jino gak suka jamur,' batin Jeno. "Lo sendiri mau makan apa?" "Gue mau makan terong balado," 'Jino juga gak suka terong. Bisa-bisa dia gak makan nih,' "Kalau ditambah sayur bayem, boleh gak?" "Lo bantuin gue masak," "Iya deh, gue bantuin." Setelah bahan selesai dipilih, dibungkus dan dibayar, Thalia menyuruh Jeno memasukkannya ke dalam tas. "Berat deh kayaknya kalau lo bawa sendiri," kata Jeno, saat sedang meresleting tas. "Enggak kok, gue bisa," Jeno tiba-tiba melepas paksa tas ransel itu dari punggung Thalia, kemudian mengenakannya. Thalia langsung menoleh ke belakang, dan menatap Jeno dengan tatapan protes. "Apaan sih? Kan gue bilang gak usah!" protes Thalia. "Nanti lo makin pendek," ucap Jeno. Wajah Thalia seketika memerah karena kesal. "Emangnya gue pendek apa?! Gue tinggi!" sungut Thalia. "Bahkan masih tinggian d**a gue dari pada kepala lo," Thalia bungkam, kemudian ia pergi begitu saja meninggalkan Jeno. "Tha! Tunggu!" seru Jeno, sembari mengejar Thalia. ••• Sesuai perjanjian, Jeno membantu Thalia untuk memasak. Tapi Thalia hanya menyuruh Jeno mengupas bawang dan memotong-motong bahan makanan. Jino dan Brian yang sedari tadi hanya menonton sambil mengernyit, kemudian saling tatap. 'Kenapa setelah membantu belanja, Jeno juga membantu memasak? Dia diancam?' pikir mereka. "Jino sama Brian ngapain? Kalau kalian gak mau bantuin, gak usah nontonin," celetuk Thalia tiba-tiba, yang membuat Jino dan Brian terkejut. "Eu-eum, i-iya ini kita mau bantuin kok," kata Jino, yang membuat perutnya langsung disikut oleh Brian. Brian pun memberikan protes pada Jino, lewat tatapan matanya. "Ya udah kalau emang mau bantuin, tolong ulekin bumbunya, sama ada yang diblender," titah Thania. "Blendernya sama ulekannya ada di atas meja sebelah kompor." Yah, sepertinya Thania memang tidak takut orang seperti dugaan Brian. Karena kalau memang takut orang, ia tidak akan berani menyuruh-nyuruh orang yang tidak dekat dengannya. Dapur pun akhirnya ramai dengan suara alat masak yang saling beradu, serta suara bumbu yang dimasak. Tidak ada yang buka suara entah kenapa, mungkin karena leader-nya aka Thalia, hanya diam. Bahkan untuk memberi perintah, ia lebih sering menggunakan bahasa tubuh. Karena Jino, Brian dan Jeno pendatang baru di rumah ini, mereka tidak berani banyak tingkah. Apa lagi jelas mereka tidak dekat dengan Thalia. Jangankan dekat, kenal saja tidak, hanya tahu sekedar nama. Saat melihat Jeno sedang memotong-motong terong, Jino seketika histeris. "Huwaa! Kok masak terong?!" serunya. "Gue yang kepengen," sahut Thalia, yang membuat Jino seketika bungkam. "Kalau gak suka gak usah dimakan, gue kan masak banyak lauk," "Iyaa..." gumam Jino lirih. "Entah apa yang kalian pikirin tentang gue. Gue sih gak suka kalau kalian nganggep ini rumah kalian sendiri, tapi yaa... jangan kaku kayak gitulah, emangnya gue bakal bunuh kalian apa?" ujar Thalia. "Ya lo nyeremin, senyum dikit kek," sahut Brian. "Ngapain gue senyum ke kalian?" "Senyumkan ibadah," jawab Jino. Thalia tidak menjawab, namun menatap Jino dengan tatapan mengerikan, yang membuat Jino bungkam. Padahal bagi Jeno, tatapan serta ekspresi Thalia sama sekali tidak berubah dari sebelumnya. Tetap sama, datar. Selesai memasak, makanan pun disusun di meja makan. "Mama lo kapan pulangnya?" tanya Jeno. "Kayaknya malem banget, jadi kita makan duluan aja," balas Thalia. Mereka duduk di kursi masing-masing, Jeno yang pertama kali ambil nasi, baru disusul Jino dan Brian, sementara Thalia yang terakhir. Selama makan, Jeno, Brian dan Jino mengobrol, sementara Thalia melihat ponsel. Yah, gimana caranya mau akrab dengan Thalia? Kalau Thalia sudah membuat tembok duluan. Kalau diajak bicara, Thalia hanya jawab seperlunya. "Nanti selesai makan, cuci sendiri-sendiri ya piringnya," ucap Thalia, yang ketiganya balas dengan anggukan. "Di sekolah besok, kalian bersikap kayak biasanya aja sama gue," sambung Thalia. "Padahal bukannya asik ya, kalau lo akhirnya punya temen di sekolah?" tanya Brian. "Sadar dong kalian tuh banyak ekornya. Bukannya asik, malah bikin perkara. Lagian gue gak mau temenan sama siapa-siapa tuh," balas Thalia. "Udah biarin aja, suka-suka Thalia, tadi juga dia udah ngomong gitu ke gue," timpal Jino. Thalia diam, sembari melirik Jino sekilas. Jino pasti kesal padanya. Yah, tapi Thalia tidak peduli. Setelah lulus SMA, mereka juga akan berpisah. ••• Thalia duduk di balkon kamarnya, sembari menyesap gulungan tembakau, dan bermain ponsel. Jangan terkejut, Thalia memang perokok. Tapi hanya dirinya saja yang tahu. Sejak perceraian orang tuanya, hanya rokok yang mampu membuatnya merasa lebih baik. Kalau mau minum alkohol, toleransinya terhadap alkohol tidak begitu baik. Beruntung mamanya tidak pernah masuk ke kamarnya, jadi tidak bisa mencium sisa-sisa aroma rokok yang ada di kamarnya. Dari kamar sebelah, Thalia bisa mendengar suara ribut-ribut Jeno dan Brian yang sepertinya sedang main game. "Akhh! b*****t! Kalah lagi gue! Lo curang ya No?!" "Kok jadi nuduh gue dah?" Thalia mendengus. Rumahnya yang selalu sepi, mendadak jadi ramai. Entah butuh waktu berapa lama baginya untuk beradaptasi. Belum ada setengah hari, Thalia sejujurnya sudah merasa dongkol. Padahal ketiga laki-laki itu tidak terlalu berisik dan tidak membuat masalah, —atau belum. Thalia lebih suka sendirian, dengan suasana sunyi, yang hanya memperdengarkan suara napasnya. Entah sejak kapan ia begini, karena saat kecil sifatnya sangat bertolak belakang dengan sekarang. Suara pekikan tiba-tiba terdengar, yang membuat Thalia terkejut dan sontak menoleh ke sumber suara. Ada Brian yang rupanya tengah berada di balkon. Ia menatap Thalia dengan mata membola, dan sebelah tangan menutup mulutnya. "Lo ngerokok?" tanya Brian. "Iya, ini rokok bukan n*****a. Lebay banget reaksi lo," balas Thalia. "Siapapun yang liat pasti kaget lah!" seru Brian. Thalia tidak menjawab, dan memilih kembali merokok. Brian mendengus, Thalia benar-benar orang yang malas bicara ya, batin Brian. "Kok lo ngerokok sih?" tanya Brian. "Apa urusannya sama lo?" balas Thalia. "Ngapain lagian di sini? Bukannya tadi lo lagi main sama Jeno?" "Jeno lagi ke kamar mandi, ya udah gue cari udara seger aja sambil nunggu dia," Diam, Thalia tidak memberi respon lagi. "Minimal jawab oh kek, oh gitu kek, atau apalah, kayaknya lo males banget ngomong," ujar Brian. "Ya emang," balas Thalia. Tanpa Thalia tahu, Brian sedang mengarahkan ponselnya ke arahnya. Cekrik. Suara memotret, berhasil mengajutkan Thalia untuk yang kedua kali malam ini. Ia menatap Brian sambil melotot. "Lo foto gue?!" bentak Thalia. "Tante Lina pasti gak tau kan kalau lo ngerokok? Kalau mau rahasia lo tetep aman, ada syaratnya," Thalia menghela napas. "Lo ngapain sih? Lo mau apa?!" "Kita temenan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD