03

1384 Words
Jangan tanya bagaimana ekspresi Thalia saat ini. Tetap sama. Flat. "Lo random banget," ucap Thalia sembari beranjak dari kursi yang didudukinya, dan berjalan ke pinggir balkon, untuk membuang abu rokoknya di luar pagar. "Emang apa bagusnya temenan sama gue? Sampe ngancem segala," "Gini ya, sekarang kita itu tinggal di satu atap, gak enak banget kalau kita kayak orang gak saling kenal gini," kata Brian. "Gue kenal lo kok, lo Brian,"                                       Ekspresi Thalia, akhirnya berpindah pada wajah Brian. "Bukan gitu maksudnya..." "Iya, iya, gue ngerti," "Lagian asik loh punya temen," Thalia tidak menjawab, dan malah menghisap rokoknya. "Terus maksudnya temenan, di sekolah juga temenan gitu?" tanya Thalia. "Ya iyalah! Namanya temenan kan dimana aja," balas Brian. "Tapi gue gak mau kalau di sekolah," "Kenapa sih?! Harusnya bangga dong punya temen ganteng dan famous, kayak gue!" "Justru itu masalahnya mini head," Brian secara otomatis langsung memegangi kepalanya. "Ck, jangan bawa-bawa kepala dong!" protes Brian. "Gini ya, lo itu bakal rugi temenan sama gue. Gue bukan orang yang bakal ngutamain temen, gue selalu mentingin diri gue sendiri, yah, atau lebih tepatnya egois. Gue gak akan kasih perhatian ke elo, selayaknya temen, tapi gue bakal selalu nuntut perhatian dari lo, karena gue merasa penting, tapi gue gak akan ngerasa lo itu penting," tutur Thalia. Brian mengangkat sebelah alisnya. "Serius lo seburuk itu?" "Iya," balas Thalia. "Gue kenal banget sama diri gue, dari pada lo ngebatin temenan sama gue, mendingan gak usah dari awal," "Ck, harusnya kalau tau diri lo seburuk itu, lo jangan kayak gitu dong," "Coba deh, lo lebih fokus belajar, jangan main game terus. Emang kalau ada yang nyuruh lo kayak gitu, dalam sekejab lo bisa berubah kayak gitu?" Brian terdiam mendengar perkataan Thalia. "Dan gue nyaman-nyaman aja kayak gini." Sambung Thalia. "Ta-tapi gue tetep mau temenan sama lo! Kalau lo gak mau, gue bakal kasih liat foto lo ngerokok ke mama lo!" seru Brian. "Terserah lo deh, entah apa yang ada di otak lo," "Dan gue bakal tetep deket-deket lo di sekolah." Thalia mendengus. Sumpah, Brian keras kepala sekali. "Lo mau temenan sama gue, karena lo penasaran ya sama gue?" tanya Thalia sembari menatap Brian dengan mata memicing. Brian hanya diam, karena... tebakan Thalia tepat sekali. Jeno tiba-tiba terdengar memanggil namanya dari kamarnya. Brian langsung menyahut dan masuk ke kamar Jeno lagi. Thalia menghembuskan asap rokoknya melalui mulut dan hidung. "Anj*ng-anj*ng betina itu bakal ngapain gue entar di sekolah? Dasar bangs*t, maksa banget." Gumam Thalia. ••• "BRIAN! CEPETAN! GUE MULES!" "SABAR DONG! GUE MASIH CUKURAN!" "ADUHH, NANTI LAGI LAH! KUMIS CUMAN TIPIS JUGA!" "JUSTRU KARENA TIPIS! KALAU GAK DICUKUR JADI JELEK!" "LO TUH TETEP JELEK! MAU DICUKUR ATAUPUN ENGGAK!" "b*****t LU JEN! GUE BAKAL LAMA-LAMAIN NIH!" "BRIAN!" Thalia membuka matanya, karena mendengar suara ribut-ribut di luar. Masih pagi, tapi sudah terjadi keributan di rumahnya. 'Kamar mandi kan ada dua...' batin Thalia kesal. Thalia bangkit duduk, dan mengambil kaosnya yang berserakan di lantai. Ia mengenakan bajunya terlebih dahulu, sebelum keluar dari kamar. Ia melihat Jeno tengah menempelkan jidatnya di pintu kamar mandi, sembari memegangi perutnya dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain mengetuki pintu. "Jen, di bawahkan ada kamar mandi," ucap Thalia. Jeno menoleh, ia sampai banjir keringat rupanya. "Ada Jino," balas Jeno. Brian tiba-tiba membuka pintu kamar mandi, yang langsung membuat tubuh Jeno jatuh ke depan. Dan Brian malah langsung menghindar saat tubuh Jeno jatuh, bukannya menahannya. "Akhhh! Gila lo?!" teriak Jeno. "Ya lu ngapain nempel-nempel pintu?" balas Brian. "Akh, udah cepet keluar lu!" Thalia memutar kedua bola matanya. Apakah, setiap hari rumahnya akan rusuh begini? Batinnya. Jino tak lama muncul dari lantai bawah, dengan rambut basah, dan handuk terlilit di pinggangnya, -tapi sudah pakai kaos. "Ribut banget dah," kata Jino. "DIEM LU JIN! GARA-GARA LO GAK MAU NGALAH SAMA GUE!" sahut Jeno dari kamar mandi. "Gue juga sakit perut tau," balas Jino. Jeno kemudian terdengar ngedumel di kamar mandi. 'Untung gue punya kamar mandi sendiri,' batin Thalia, sembari kembali masuk ke kamarnya, dan tak lupa menutup pintu. ••• "Kalian bakal berangkat bareng?" tanya ibu, sembari meletakan sarapan yang dimasaknya di meja makan. "Enggak Ma, aku mau berangkat sendiri," balas Thalia, sembari menopang dagunya. "Loh, kok gitu? Berangkat bareng dong. Jeno bisa nyetir loh, kalian berangkat bareng aja naik mobil, Mama kan ada tuh satu mobil yang nganggur, udah Mama panasin juga mesinnya," tutur ibu, yang membuat ketiga anak laki-laki itu memekik girang. Thalia melirik mereka sekilas dengan tatapan kesal, lalu berdecak. "Aku lebih suka ke sekolah pake skuter," ucap Thalia. "Lagian sekolah deket ini dari rumah, ngapain pake mobil segala?" "Habis sekolah Mama mau minta tolong kalian belanja bahan makanan buat beberapa hari ke depan. Jadi gak usah belanja tiap hari, kalau belanja banyak kan harus pake mobil. Sekalian jajan dehh..." "Belanja sayuran juga?" "Di kulkas kita sayuran bisa tahan semingguan kan?" Thalia menghela napas. "Aku tetep gak mau ke sekolah bareng mereka. Nanti pas pulang sekolah, baru aku pergi bareng mereka," "Ya udah, terserah kamu deh," Jino dan Brian ngedumel di dalam hati. Thalia sadar gak sih, kalau sikapnya itu bikin mereka jadi sungkan dan gak enak? Berbeda dengan Jino dan Brian, Jeno lebih 'bodo amat' dengan sikap Thalia. Toh, mamanya tidak keberatan, jadi ia tidak perlu sungkan dengan Thalia. Karena yang ia utamakan pandangan orang tua. Kecuali kalau Thalia itu gebetannya, sudah beda cerita. Selesai sarapan, mereka bergegas berangkat ke sekolah, sementara ibu Thalia ke kantor. Thalia pergi menggunakan skuter listrik hitamnya, sementara Jeno, Jino, dan Brian dengan mobil yang ibu Thalia pinjamkan. "Hah, baru kali ini berangkat sekolah gak dari subuh," ucap Jino, setelah baru menghempaskan bokongnya ke jok mobil. "Tapi kayaknya besok-besok kita berangkat gak usah pake mobil deh, bener kata Thalia, sekolahkan deket dari rumahnya, ngapain pake mobil?" ujar Brian. "Ck, ngapain dengerin dia? Lagian dia gak bermaksud nyinggung kita kan? Emang keinginan dia gak pake mobil," kata Jeno. Mobil mulai berjalan, dan menjauhi rumah. Meskipun Jeno sudah bisa nyetir, ia belum punya mobil sendiri. Orang tuanya baru akan membelikannya mobil, kalau lulus SMA dengan prestasi memuaskan. "Gue bilang gitu bukan karena gak enak sama Thalia kok," balas Brian. "Bensin mobil juga diisiinnya sama tante Lina kan? Kita tuh padahal nge kost di rumahnya, tapi diperlakuinnya kayak anak sendiri," "Iya ya, sampe dibikinin sarapan segala, padahal kalau anak kost umumnya, ibu kost mah gak ngurusin makan yang sewa kamar di rumahnya," balas Jino. "Jangan-jangan!" Jeno terkejut, karena Jino dan Brian tiba-tiba teriak. "Apaan sih, anj*ng?!" seru Jeno kesal. "Untung aja gue gak nabrak!" "Tapi ini kemungkinan loh!" Jino tidak menghiraukan protesan Jeno. "Apaan?" tanya Jeno malas. "Jangan-jangan sebenernya diantara kita ada yang mau dijodohin sama Thalia?" kata Jino menerka-nerka. "Wahh, lo cocok tuh Jin sama dia, entar jadi kayak raksasa dan kurcaci," balas Jeno. "Iih, gue gak mau!" tukas Jino. "Ya gak mungkin lah, b**o. Emang kita hidup di zaman apa pake jodoh-jodohan segala? Masih SMA lagi, ya kali..." tutur Jeno. "Ya kan bisa jadi, kayak di novel-novel remaja gitu lohh..." balas Jino. "Kalau tema ceritanya pernikahan, mau pemerannya remaja juga, bukan novel remaja dong namanya, gimana sih," timpal Jeno. "Tapi kawan-kawanku, gue punya berita," ucap Brian, yang mengalihkan pembicaraan Jino dan Jeno. "Apa?" tanya Jino dan Jeno berbarengan. "Gue sekarang temenan sama Thalia," balas Brian sembari tersenyum bangga. "Wah, gila, kok bisa?" respon Jino tak percaya. "Ya bisa ajalah, siapa yang gak mau temanan sama gue?" kata Brian. "Helehh, pasti lo nyogok atau ngancem kan?" tuding Jeno, yang sayangnya tepat sekali. Tapi Brian memilih tidak menjawab tudingan Jeno. "Kenapa lo temanan sama dia? Pasti lo yang ngajak duluan buat temenan kan?" tanya Jino. "Dia anaknya aneh, pendiem, misterius gitu, jujur ya gue penasaran," jawab Brian. Jino menganggukkan kepalanya setuju. "Iya sih emang. Eh, tapi gue denger-denger dia itu mantannya Han loh, "Hah? Serius?" tanya Brian. Jino menganggukkan kepalanya. "Gak tau pastinya sih, soalnya si Han kan gak pernah cerita apa-apa. Denger-denger aja gue dari cewek-cewek," "Lo ngapain dah nguping pembicaraan cewek?" tanya Jeno. "Gak sengaja kedengeran, lur," balas Jino. "Elehh, emang hobi lo aja dengerin orang ngobrol," kata Jeno. "Ya terus apa masalahnya hah?!" sahut Jino. "Woy udah, jangan berantem! Udah mau nyampe!" lerai Brian. ••• Han menghentikan petikan gitarnya, saat merasa ada yang memperhatikannya dari jendela. Ia kemudian menolehkan kepalanya ke arah jendela kelas, namun tidak mendapati siapapun. Hanya ada seorang gadis berambut kusut yang berjalan pergi menjauhi kelasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD